Surabaya (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) selama dua tahun terakhir telah mendirikan sebanyak 950 rumah keadilan restoratif di 38 kabupaten/ kota wilayah provinsi setempat.
Rumah keadilan restoratif yang ke- 950 di wilayah Jatim diresmikan di kampus Universitas Surabaya (Ubaya), Senin.
"Pendirian Rumah Keadilan Restoratif merupakan amanat Undang-undang," kata Kepala Kejati (Kajati) Jatim Mia Amiati, saat meresmikan rumah keadilan restoratif di Kampus Ubaya, Senin.
Kejaksaan Agung menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kajati Mia menjelaskan penerapannya diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang diterbitkan pada 22 Desember 2020.
Sejak itu Kejati Jatim tercatat telah menerapkan penanganan keadilan restoratif terhadap sebanyak 175 perkara yang diterima dari hasil penyidikan kepolisian.
Kajati Mia memaparkan sebanyak 147 perkara di antaranya diselesaikan dengan cara keadilan restoratif sepanjang tahun 2022. Sebanyak 28 perkara lainnya diselesaiakan dengan cara keadilan restoratif di awal tahun 2023.
Menurutnya ketika Jaksa melihat bahwa suatu perkara tidak cukup layak untuk diteruskan ke pengadilan maka bisa dilakukan penghentian penuntutan dengan menerapkan keadilan restoratif.
"Tentu ada persyaratan-nya. Di antaranya pelaku bukan residivis. Selain itu tidak ada mens rea atau niat jahat dari pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kemudian ancaman pidana-nya tidak lebih dari 5 tahun," ujarnya.
Kajati Mia berharap pendirian rumah keadilan restoratif dapat menjadi alternatif penyelesaian perkara tindak pidana.
"Mekanisme atau tata cara peradilan pidana di rumah keadilan restoratif difokuskan menjadi proses dialog dan mediasi dengan melibatkan beberapa pihak yang didorong menciptakan kesepakatan atau penyelesaian perkara secara damai," tuturnya.
Dari sebanyak 950 rumah keadilan restoratif yang telah didirikan Kejati Jatim di 38 kabupaten/ kota wilayah provinsi setempat, 625 di antaranya berada di lingkungan sekolah, serta enam di lingkungan kampus.
"Tujuannya agar tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekolah atau kampus dapat diselesaikan secara damai tanpa harus melalui proses pengadilan," ucap Mia.