Jakarta (ANTARA) -
"Kita harus mengerahkan sekarang taktik teknologi dan kemampuan kumpulan drone dalam jumlah besar, drone Kamikaze dan sistem autonomus, sistem-sistem robotik di udara, di laut, dan di darat," kata Prabowo saat memberikan sambutan pada acara Seminar Nasional "Tantangan TNI AU dalam Perkembangan Teknologi Elektronika Penerbangan" di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa.
Prabowo juga berharap di masa mendatang kekuatan pesawat nirawak atau unmanned aerial vehicle (UAV) yang dimiliki TNI AU dapat menjadi benteng pertahanan bagi kedirgantaraan Indonesia.
"Nanti ibaratnya ada satu pesawat tempur, katakanlah F-15 kita, katakanlah Rafale kita, tapi di sekelilingnya Rafale kita atau di sekeliling F15 kita mungkin ada 15 drone. Jadi, satu pilot dikawal oleh 15 drone yang semua drone punya rudal anti-pesawat. Jadi, satu skadron akan menjadi 10 skadron atau 15 skadron dengan harga yang tidak sebesar 15 skadron. Jadi, ini nanti juga akan meningkatkan kemampuan kita dengan cepat," jelasnya.
Dia juga mengatakan perlunya memperkuat sistem satelit untuk mengantisipasi serangan udara.
"Jadi kalau satu (satelit) ditembak, ada pengganti; dua ditembak, ada pengganti lagi; dan lain sebagainya," imbuhnya.
Dia menjelaskan pertahanan udara di masa mendatang memiliki tantangan yang luar biasa. Oleh karena itu, konflik antara Ukraina dan Rusia adalah sebuah peristiwa yang harus diambil pembelajaran bagi kekuatan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ukraina, menurut Prabowo, berhasil memberikan pembelajaran kepada seluruh dunia bahwa kekuatan pesawat nirawak, yang memiliki kemampuan membawa rudal-rudal mematikan, dapat melakukan serangan ke titik-titik pertahanan Rusia.
Oleh karena itu, dia berharap TNI AU mampu menghadapi sistem perang udara yang terus mengalami perubahan seiring dengan cepatnya perkembangan dunia teknologi saat ini.
TNI AU ke depan akan mengoperasionalkan pesawat tempur dengan kemampuan modern, seperti jet tempur Dassault Rafale buatan Prancis serta jet tempur KFX/IFX yang sedang dikembangkan di Korea Selatan.
"Kita juga harus kembangkan doktrin latihan yang memadai dan kita harus gunakan semua informasi publik yang ada. Kemudian, kita harus juga sekarang meningkatkan teknik-teknik penyesatan untuk melawan demokratisasi intelijen," ujarnya. (*)