Surabaya (ANTARA) - Di sebuah desa tidak begitu terpencil, terdengarlah obrolan mengenai relasi orang tua dengan anak yang menggambarkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu merupakan sebuah warisan.
Seorang bapak dengan lima anak, sebut saja ia bernama Ayah. Si Ayah bercerita bahwa anaknya yang sedang kuliah di rantau pernah menelepon untuk meminta maaf bersamaan dengan hari raya.
Si Ayah bercerita bahwa dia menjawab dengan ketus dan memotong bicara anak agar tidak perlu meminta-minta maaf. Toh setelah itu, si anak juga akan berbuat salah lagi pada orang tua.
Ketika si Ayah disebut "Tidak punya sifat romantis sama sekali pada anaknya", ia menukas bahwa kata-kata yang ia lontarkan pada si anak itu sudah "bagus" dan tepat. Saat masih kecil, dia justru mendapatkan perlakuan lebih "kejam" dari orang tuanya.
"Kok enak, anak sekarang dimanja-manja. Saya kerasi juga anak saya agar merasakan juga penderitaan orang tuanya dulu," begitu kira-kira argumen si Ayah.
Kekerasan pada anak umumnya memang "warisan" yang seolah-olah si korban harus meneruskan pola itu pada anaknya. Kekerasan ini tidak harus tentang fisik yang mudah terlihat dampaknya, namun juga verbal, yang bekasnya juga lebih mengerikan dan sulit terdeteksi.
Secara psikologis, kekerasan sikap seseorang, termasuk orang tua pada anak, merupakan endapan emosi yang tertanam di pikiran bawah sadar. Dalam bahasa psikologi, hal menjadi semacam sugesti yang dimasukkan pelan-pelan dengan pengulangan-pengulangan.
Ada dua pola yang menyebabkan warisan kekerasan itu terus tersemai dan tumbuh atau teraktual secara turun temurun.
Pertama, si korban memiliki "dendam" bahwa ketika dia dewasa, kekerasan yang diterimanya harus dilampiaskan. Pilihan termudah untuk pelampiasan itu ada pada anak.
Kedua, sikap orang tua yang keras pada anaknya, baik verbal maupun tindakan fisik, menjadi model percontohan bagi si anak bahwa menjadi orang tua itu harus seperti itu. Marah-marah, memukul, merendahkan anak dan lainnya.
Secara kasat mata, kekerasan dalam mendidik anak sangat "efektif" agar si anak patuh pada orang tua. Namun untuk pilihan model ini ada "harga mahal" yang harus dibayar. Si anak mengalami luka batin yang selalu membayang-bayangi perjalanan hidupnya, termasuk ketika si anak yang juga korban itu kelak menikah dan memiliki anak.
Anak yang mengalami kekerasan di masa kecil akan memiliki sifat rendah diri, merasa tidak diterima oleh lingkungan atau tidak berharga.
Dengan konsep diri seperti itu, anak, termasuk ketika dewasa, selalu ingin mendapatkan perhatian. Karena itu, ketika si korban kekerasan itu dewasa akan menjadi orang yang mudah tersinggung, termasuk pada anak-anaknya. Anak-anaknya diharapkan harus selalu mengikuti kehendak orang tuanya, tanpa peduli pada kondisi psikis si anak.
Vibrasi batin yang terluka itu tentu juga akan dirasakan oleh istrinya, sehingga sangat mungkin si istri juga akan memilih sikap keras dalam mendidik anak. Saat bersamaan, si anak juga belajar bahwa cara mendidik keluarga itu harus dengan kekerasan. Contoh itu sangat lengkap, yakni ayah dan ibunya.
Selain itu, ego diri juga mengambil kendali pada orang tua pemarah yang dulunya juga korban dari kekerasan orang tuanya. Ego menemukan ajang pelampiasan pada anak-anaknya.
Masalah ini sangat mirip dengan kasus semburit atau sodomi. Penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya pelaku sodomi juga korban di masa lalu.
Persiapan menikah
Memahami alur kekerasan pada anak seperti itu, maka persiapan memasuki dunia pernikahan menjadi sangat vital, yakni terkait pemahaman ilmu kejiwaan dalam mendidik anak, di dalamnya juga tentang bagaimana membangun relasi yang konstruktif antara suami dengan istri.
Adanya lembaga persiapan pernikahan yang (bisa) diinisiasi oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat akan membantu banyak calon pasangan untuk memasuki "belantara" berumah tangga.
Hal ini penting agar anak-anak muda yang memasuki jenjang pernikahan tidak terkaget-kaget ketika di dunia barunya itu akan banyak hal yang harus dihadapi. Anak rewel tidak mau makan atau rewel tidak mau sekolah adalah warna warni mendidik anak yang pilihan penyelesaiannya bukan dengan kekerasan.
Calon orang tua, termasuk yang sudah menjadi orang tua, perlu ditanamkan bahwa mendidik anak itu bukan tentang "menang-kalah", tapi "menang-menang".
Ketika si kakak bertengkar memperebutkan mainan dengan adiknya, secara naluriah kita akan membela si adik dengan meminta si kakak mengalah. Inilah yang disebut tentang "menang-kalah" itu. Pertengkaran selesai, namun menyisakan luka batin pada si kakak karena dikalahkan. Meskipun "menang", si adik sebetulnya juga dirugikan karena di balik kemenangannya itu, konsep keliru telah merasuk ke pikiran bawah sadar, bahwa ia harus selalu dimenangkan.
Lewat lembaga pranikah itu, setiap pasangan perlu dibekali mengenai hak-hak anak, bukan sekadar dipenuhi rezeki tubuhnya, tapi juga rezeki batinnya.
Keberadaan lembaga ini menjadi sangat vital, terutama di daerah perdesaan yang umumnya membudaya pernikahan di usia dini. Jangankan menikah di usia dini, mereka yang sudah masuk kategori usia matang untuk berumah tangga saja masih banyak yang terseok-seok menghadapi persoalan-persoalan keluarga.
Dengan penyediaan lembaga pranikah itu, kita berharap kekerasan pada anak segera distop dan pada ujungnya nanti, bangsa kita akan memetik buah, yakni munculnya generasi muda dengan kualitas jiwa bagus. Generasi yang kelak ketika memasuki rumah tangga akan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Rantai kekerasan yang yang telah dipotong akan terus melahirkan generasi yang tidak hanya menenteramkan keluarga, namun juga menjadi "lumbung" bagi lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas. Semoga!
Kita akhiri kekerasan pada anak
Oleh Masuki M. Astro Sabtu, 23 Juli 2022 12:29 WIB