Pulau Kangean, Sumenep (ANTARA) - Suliyadi dan Ramudin adalah warga yang masih setia merawat warisan leluhurnya untuk menangkar ayam bekisar yang menjadi ikon Pulau Kangean di Kabupaten Sumenep, Madura, bahkan Jawa Timur.
Suliyadi (57) bercerita, sekira 20 tahun lalu, puluhan warga di Desa Daandung, Kecamatan Kangayan, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, masih senang menangkarkan ayam bersuara "cukir" itu. Menangkarkan ayam bekisar memang tidak mudah. Bekisar dihasilkan dari persilangan antara ayam hutan jantan dengan ayam kampung betina. Penduduk loka biasa menyebut ayam hutan itu dengan ayam taratah.
Selain perawatan ayam hutan yang rumit dan harus hati-hati, mendapatkannya juga tidak mudah. Pembudidaya mendapatkan ayam yang bisa terbang itu dengan membeli pada pemburu. Penangkap ayam hutan itu harus berburu ke hutan dengan memasang jebakan atau jerat.
Bagi pemburu, tidak mudah untuk mendapatkan ayam taratah. Ia harus sabar berhari-hari menunggui jebakan yang dipasang untuk mendapatkan ayam taratah jantan. Karena itulah harga ayam taratah jantan tergolong mahal, antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per ekor.
Hanya orang dari daerah tertentu yang biasa menangkap ayam taratah di hutan. Salah satunya, asal Desa Torjek, Kecamatan Kangayan.
Ketika penangkar mendapatkan ayam taratah jantan, ia tidak langsung mengawinkan dengan ayam betina kampung, karena si ayam memerlukan penyesuaian keadaan. Ayam jantan perlu beradaptasi dari kehidupan bebas di hutan dengan di dalam kurung.
Agar tidak stres, si ayam taratah jantan dimasukkan ke sangkar yang digantung di ketinggian dan sangkar diselimuti dengan kain, biasanya sarung bekas.
Suliyadi yang kini memiliki tiga ayam jantan hutan itu juga harus menyediakan ayam hutan betina untuk merangsang birahi ayam taratah jantan tetap terjaga.
Meski berada di sangkar berbeda, ayam taratah betina selalu didekatkan dengan ayam jantan. Untuk menjaga kesehatan ayam hutan, Suliyadi harus sering menjemurnya setiap tiga hari dengan sangkar diletakkan di tanah. Sementara kesehariannya sangkar ayam digantung layaknya burung.
Suliyadi harus berhati-hati ketika menurunkan sangkar ayam taratah agar tidak kabur, karena ayam taratah memiliki kemampuan terbang dengan cepat, layaknya burung.
Karena habitatnya di hutan, ayam taratah itu masih terlihat liar dan selalu bergerak mengitari bagian pinggir kurung. Kesetresan ayam jantan taratah itu akan bertambah ketika di jemur karena sering didekati oleh ayam jantan kampung yang tergoda untuk bertarung.
Sekitar tiga pekan dipelihara dalam sangkar, ayam taratah jantan sudah bisa dicoba untuk dikawinkan dengan ayam betina kampung. Proses ini lagi-lagi tidak mudah dan butuh keahlian khusus. Hal ini karena ayam taratah jantan sejatinya hanya mau kawin dengan ayam betina jenis taratah juga.
Ayam betina kampung juga bukan yang sembarangan. Suliyadi sudah paham ciri-ciri ayam betina kampung yang bagus untuk dikawinkan silang. Salah satu cirinya, tembolok atau kantung makanan di bagian dada ayam harus berada di tengah dan tentu si ayam betina harus sehat.
Maka, Suliyadi dan penangkar yang lain harus bersiasat dengan mendekatkan ayam taratah betina ke taratah jantan. Saat birahi taratah jantan memuncak, ayam taratah betina langsung diganti dengan ayam betina kampung.
Beruntungnya, hampir tidak pernah terjadi kegagalan dalam pengawinan itu. Setelah beberapa hari dari pengawinan, biasanya ayam betina kampung sudah bertelur, dengan jumlah rata-rata 10 butir dalam sekali perkawinan.
Apakah 10 telur semuanya bisa menetas menjadi ayam bekisar dan bersuara "cukir"? Belum tentu. Hanya ayam bekisar jantan yang mengeluarkan suara merdu dan kemudian menjadi piaraan masyarakat di kota-kota besar.
Dari 10 telor hasil perkawinan silang ayam taratah jantan dengan betina kampung itu biasanya melahirkan enam jantan dan sisanya betina.
"Kalau yang anakan betina itu tidak ada harganya. Seringkali saya jadikan bonus bagi pembeli bekisar jantan," kata Suliyadi, tertawa.
Meskipun baru anakan, ayam bekisar itu sudah bernilai tinggi. Umur 10 hari saja sudah dibanderol Rp500 ribu hingga Rp750 ribu. Hanya saja membeli anakan bekisar sebelia itu ibarat membeli kucing dalam karung karena bisa jadi ketika dewasa suaranya kurang merdu.
Baru ketika membeli yang berusia sekitar tujuh bulan, seorang pembeli sudah bisa memprediksi ayam bekisar itu bersuara bagus atau tidak. Harganyapun sudah melonjak menjadi Rp2,5 juta untuk yang kualitas rendah dan bisa sampai Rp10 juta untuk kualitas bagus. Bahkan untuk yang dewasa sudah di atas Rp15 juta. Tentu ketika di kota besar nilainya naik berkali lipat.
Penangkar tidak berhenti hanya menghasilkan 10 telur dari satu ayam betina. Setiap pekan Suliyadi bisa mengawinkan ayam taratah jantan dengan betina kampung lain atau bergilir. Karena itu dalam satu bulan Suliyadi bisa memiliki 40 telur hasil persilangan itu.
Untuk permintaan ayam hias bersuara "cukir" itu, Suliyadi mengaku masih tetap tinggi. Berapapun ia menetaskan telor, selalu habis terjual. Bahkan ketika masih berupa telor, sejumlah pengepul sudah memesannya dan seringkali membuat uang muka atau panjer dengan harga Rp250 ribu per butir. Hanya saja ketika sudah menetas, yang dibayar hanya bekisar jantan.
Dengan pengalaman dan rutinitas mengawinkan silang itu Suliyadi mengaku tidak ada masalah dengan biaya. Untuk pakan ia hanya perlu menyediakan jagung bulir, sedangkan untuk yang anakan diberi pakan jagung giling.
Secara penghasilan, sehari-hari ia juga berjualan ikan yang dibeli dari nelayan setempat.
Berbeda dengan Ramudin yang mengaku tidak memiliki biaya untuk menangkar bekisar lebih banyak lagi. Ia kini hanya memiliki satu ekor taratah jantan di rumahnya tanpa ada taratah betina. Karenanya ia kesulitan untuk mengawinkan taratah jantan dengan ayam betina kampung.
"Dulu saya punya banyak taratah jantan, sekarang tinggal satu ini," katanya saat ditemui di rumahnya yang sederhana.
Sementara Kepala Dinas Kominfo Pemkab Sumenep Ferdiansyah Tetrajaya mengatakan untuk menjaga kelestarian ayam bekisar khas Pulau Kangean itu, pemda biasa menyelenggarakan lomba-lomba, meskipun frekuensinya tidak sebanyak dulu ketika bekisar masih menjadi idola. Apalagi dalam dua tahun ini lomba-lomba itu juga terdampak oleh pandemi COVID-19.
"Untuk pembinaan tentu tetap dilakukan. Ketika ajang lomba dan penggemar mulai menggeliat, maka tentunya permintaan akan bekisar akan bertambah dan pada akhirnya penangkar akan menjadi lebih berdaya lagi," katanya.
Melihat perkembangan zaman yang ikut mempengaruhi gaya dan pola hidup generasi muda, masalah penangkaran ayam bekisar ini tidak boleh diserahkan kepada warga penangkar di Pulau Kangean. Campur tangan pemerintah agaknya masih diperlukan, agar generasi lama penangkar bekisar ini ada regenerasi. Bagaimana menjaga populasi ayam taratah di hutan dan membina anak-anak muda di Kangean agar punya kepedulian dan ketertarikan untuk membudidayakan ayam bekisar akan menjadi pekerjaan besar pemerintah di masa depan. (*)