Surabaya (ANTARA) - Penanaman kembali pohon mangrove, cemara laut, hingga konservasi terumbu karang yang sebelumnya dimulai pada 2017 di pesisir Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa TImur, kini menuai hasil.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bangkalan, Moh Sahril dalam siaran persnya di Surabaya, Kamis mengatakan, penanaman mangrove dan metode konversi terumbu karang dengan memasang kubah beton berongga sebagai media transplantasi terumbu karang pada tahun 2017, kini telah menjadi rumah-rumah ikan.
Hal ini, kata dia, dapat membantu peningkatan tangkapan ikan nelayan, dan kawasan pesisir di Labuhan aman dari abrasi, melalui kegiatan konservasi mangrove dan terumbu karang pada tahun 2017.
"Jauh sebelumnya, kerusakan terumbu karang menjadikan kami kesulitan untuk mendapatkan ikan, sebab populasi ikan-ikan bernilai ekonomis lokasinya menyebar dan sulit ditebak," katanya.
Ia mengakui, dulu zona ikan seperti cumi masih liar, artinya masyarakat nelayan tidak mengetahui titik-titiknya, karena posisi ikan cumi menyebar dan tidak terpusat di satu titik.
Sahril menjelaskan, Taman Wisata Laut Konservasi Terumbu Karang kini menjadi favorit siswa hingga mahasiswa melakukan penelitian untuk kebutuhan makalah, skripsi, hingga sebagai camping ground.
Sahril mengakui, pelaksanaan konversi pada tahun 2017 dilakukan bersama Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO), dengan melakukan pemulihan dan transplantasi karang mulai 2017 dan 2019 di area seluas delapan hektare.
Manager WMO Field Sapto Agus Sudarmanto menyatakan, transplantasi dimulai melalui penanaman empat jenis terumbu dengan 480 fragmen atau bibit karang, dengan harapan mampu mempercepat regenerasi pertumbuhan terumbu karang yang semakin terdegradasi.
"Dampak saat ini adalah terjadi peningkatan spesies ikan dari 8 spesies menjadi 36 spesies ikan. Karena pertumbuhan terumbu karang sangat bagus dan semakin besar, ditambah modul beton berongga yang menjadi rumah ikan. Survival rate-nya naik sampai di angka 97 persen, sedangkan tingkat pertumbuhan nya bisa mencapai 19-22 centimeter per tahun," kata Sapto.
PHE WMO, kata dia, menggandeng Yayasan Sosial Investment Indonesia untuk mengukur pendapatan masyarakat melalui Social Return of Investment (SRoI) dan mengetahui sejauh mana hasil pemberdayaan kawasan pesisir dan pelestarian lingkungan.
“Hasil kajian SRoI, tingkat pendapatan kelompok masyarakat dari Rp1 menghasilkan Rp4,2. Hal itu diukur dari segi lingkungan, ekonomi, sosial masyarakat, termasuk dari segi alam baik dari peningkatan flora dan fauna," katanya.
Bahkan sebelum pandemi COVID, lanjutnya, berdasarkan data Desa Labuhan menyebutkan keberadaan Taman Wisata laut Konservasi Terumbu Karang mampu menurunkan Rumah Tangga Miskin (RTM) hingga di angka 95 persen.
“Ini luar biasa sekali multiplier effect-nya. Tidak hanya kelompok pengelola wisata saja tetapi ada muncul juga UKM, ibu-ibu katering, warung-warung yang di luar lokasi terdampak karena ada pengunjung ke Eco Eduwisata ini," katanya.(*)