Surabaya (ANTARA) - Tim Hukum Pasangan Cawali-Cawawali Surabaya Eri Cahyadi dan Armuji (Erji) menganggap permintaan paslon Machfud Arifin dan Mujiaman (Maju) untuk melakukan pemungutan suara ulang Pilkada 2020 di seluruh wilayah Kota Surabaya tidak berdasar.
"Petitum (tuntutan) pemohon (Machfud-Mujiaman) pada sidang sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, Selasa (26/1), kami nilai sangat tidak berdasar, tidak memenuhi kaidah hukum, dan tidak masuk akal," ujar kuasa hukum Eri-Armuji, Arif Budi Santoso di Surabaya, Rabu.
Arif mengatakan, dalam petitumnya Machfud-Mujiaman tidak menerangkan tentang perselisihan hasil perolehan sebagai objek perkara yang semestinya menjadi syarat formil permohonan sengketa pilkada di MK.
"Di petitum mereka sama sekali tidak mendalilkan perselisihan hasil perolehan suara dengan pihak terkait yaitu Eri-Armuji. Di dalamnya juga tidak ada argumentasi tentang kesalahan penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yaitu KPU, dan tidak ada hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon sebenarnya berapa, tidak dijelaskan sama sekali," kata Arif.
Dengan demikian, lanjut dia, patut dipertanyakan gugatan ke MK dilayangkan oleh Machfud-Mujiaman hanya karena kalah dalam pilkada, bukan karena terkait pelanggaran maupun kesalahan mulai pemungutan hingga penghitungan suara.
Arif menambahkan, Machfud-Mujiaman dalam permohonannya juga tidak melakukan bantahan terhadap hasil perhitungan suara yang ditetapkan KPU Surabaya alias pihak termohon. Sesuai hasil rekapitulasi KPU, Eri-Armuji meraup 597.540 suara, sedangkan Machfud-Mujiaman 451.794 suara, dengan total suara sah 1.049.334. Terdapat selisih lebih dari 145.000 suara.
"Mereka sama sekali tidak membantah hasil penghitungan suara. Yang dilakukan hanya menyampaikan contoh-contoh peristiwa yang dipenuhi prasangka, tanpa ada kaitan dan signifikansinya dengan perolehan suara," ujarnya.
Ia juga menyoroti soal tuntutan pemungutan suara ulang di seluruh Surabaya alias pilkada ulang. Padahal, di setiap tingkatan, Machfud-Mujiaman memiliki saksi, mulai tingkat TPS sampai kota.
"Semua tahapan rekapitulasi tidak ada pihak yang menyampaikan keberatan. Jadi mengapa sekarang menuntut?" ujarnya.
Selain itu, kata dia, pihak Machfud-Mujiaman tidak menyampaikan dalil yang jelas, misalnya, mengapa di TPS A sampai Z, harus dilakukan PSU. Termasuk apakah pemohon telah mengajukan keberatan sesuai mekanisme hukum pemilu? dan apakah ada rekomendasi dari pengawas pemilu yang memerintahkan termohon untuk melakukan PSU di seluruh kota? Itu semuanya tidak diuraikan," kata Arif.
Bahkan Bawaslu Surabaya hanya pernah merekomendasikan satu PSU di TPS 46 Kelurahan Kedurus, Karang Pilang, karena kesalahan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam memberikan nomor ke sejumlah surat suara
"Dengan demikian, jelas bahwa memang antara posita (rumusan dalil) dan petitum pemohon itu tidak nyambung. Jadi ini ada kesan asal menggugat saja, tanpa menyajikan argumentasi yang layak dipertanggungjawabkan," katanya.
Kuasa hukum Machfud-Mujiaman, Veri Junaidi sebelumnya mengatakan selisih suara dalam hasil Pilkada Surabaya 2020 terjadi karena adanya kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon Eri-Armuji.
Menurut dia, ada dua garis besar pelanggaran TSM di Pilkada Surabaya yakni keterlibatan Pemkot Surabaya dan Wali Kota Surabaya periode 2015-2020 Tri Rismaharini dan kecurangan secara TSM itu tidak diproses secara benar oleh penyelenggara dan pengawas pemilu.
"Sehingga proses penegakan hukum, dan proses yang semestinya dijalankan tidak dapat menyelesaikan proses penegakan hukum di kasus-kasus tersebut," ujarnya.