Surabaya (ANTARA) - Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr. dr. M. Atoillah Isfandiari, M.Kes menyebut vaksin COVID-19 produksi Sinovac mempunyai beberapa keunggulan meskipun memiliki efikasi sebesar 65,3 persen.
"Efikasi vaksin sebesar itu bisa dibilang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya," kata Dr Atoillah di Surabaya, Kamis.
Epidemiolog Unair yang akrab disapa Ato ini mengatakan vaksin Sinovac menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan.
Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety atau keamanan yang sangat tinggi.
"Beda dengan vaksin lain walaupun efikasinya 90 persen tetapi menggunakan teknologi baru yaitu mRNA. Teknologi baru di sisi lain dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis, jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru," katanya.
Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih, seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.
"Vaksin dari perusahaan China tersebut masih memungkinkan jika disimpan di dalam lemari pendingin biasa," ujarnya.
Ato juga menuturkan bahwa dikeluarkannya izin pakai darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena melihat semakin banyak korban COVID-19 berjatuhan.
Sementara waktu ideal yang dibutuhkan adalah enam bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek samping pasca-uji klinis dilakukan.
"Jadi, uji klinis fase tiganya sudah selesai sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca ujinya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai kesatu sampai ketiga laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan," tuturnya.
Angka efikasi melebihi standar WHO
Sementara itu, angka efikasi vaksin Sinovac yang diumumkan BPOM, menurut Ato, juga terbilang tinggi sebab standar yang diberikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 50 persen. Jadi, paling tidak, angka efikasi yang diumumkan telah melampaui.
"Diumumkannya angka efikasi vaksin tersebut menjadi salah satu bentuk kejujuran ilmiah sebagai upaya menyakini bahwa efikasi diperoleh melalui uji klinis yang sesuai dengan asas good clinical practice (GCP)," ujarnya.
Selain itu, sambungnya, diumumkannya angka efikasi vaksin juga merupakan bagian dari menjunjung tinggi kejujuran ilmiah secara bertanggung jawab.
"Kalau tidak jujur bisa saja akan dilaporkan nilai yang lebih tinggi akan lebih tinggi. Tapi dengan angka segitu itu artinya bahwa aplikasi itu diperoleh secara bertanggung jawab," ucapnya.
Ato yang menjabat Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair ini mengatakan vaksin hanya bisa diberikan kepada orang yang sehat karena vaksin berbeda dengan obat.
Ia menerangkan bahwa obat untuk mengobati orang sakit, sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit.
"Sehingga vaksin itu harus diberikan kepada orang yang masih sehat. Kalau sudah sakit bukan menjadi target dari vaksin karena yang bersangkutan sementara sudah punya antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu," ucapnya.
Perihal penggunaan vaksin Sinovac, Ato mengatakan agar saat ini diprioritaskan paling tidak untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali. Sehingga, vaksinasi diberikan pada orang sehat, bukan orang sakit.
"Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan," katanya.