Denpasar (ANTARA) - Tidak jauh dari kawasan wisata religi Makam dan Masjid Ampel di Surabaya Utara, ternyata ada jejak atau tapak tilas "Hoftbestoor" (Pengurus Besar) atau Ketua Umum PBNU yang pertama yakni KH Hasan Sagipoddin yakni makam dan Langgar/Musholla Gipo yang bisa dijadikan tapak tilas yang bernilai historis tinggi.
Betapa tidak, H Hasan Sagipoddin adalah Ketua Umum PBNU pertama pada tahun 1926-1929 semasa Rois Akbar Syuriah PBNU dipegang KHM Hasyim Asy'ari (kakek mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur) yang menjabat hingga 1947 (1926-1947).
Sementara itu, Langgar Gipo juga tidak kalah historis, karena langgar itu sering menjadi lokasi pertemuan para tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan Ir Soekarno serta tokoh-tokoh NU, apalagi Hasan Gipo merupakan sosok yang membiayai "Komite Hijaz" (embrio NU).
Bahkan, langgar atau surau atau musholla yang didirikan kakek buyut Hasan Gipo (Sagipoddin Bin Kamal Bin Kadirun) di Jalan Kalimas Udik I, Kelurahan Nyamplungan, Kota Surabaya, pada tahun 1834 itu menjadi tempat persinggahan jamaah haji lewat laut (semacam "asrama haji" pertama yang dekat dengan Kalimas).
"Langgar Gipo itu ada dua lantai. Lantai 1 untuk sholat dan juga diskusi para ulama dan tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan Bung Karno. Kalau tidak membahas soal pendidikan, ya membahas soal perjuangan kemerdekaan," kata Ketua Umum Ikatan Keluarga Sagipoddin (IKSA) H Wachid Zein dalam 'chatting' (obrolan) lewat Whatsapp (1/5/2020).
Dalam pembahasan terkait pendidikan itulah yang melahirkan Komite Hijaz dan Taswirul Afkar yang merupakan embrio berdirinya NU. "KH Hasan Gipo itu saudagar dan santri, karena itu dia dekat dengan para ulama, sehingga ditunjuk KH Wahab Chasbullah sebagai Presiden NU (Ketua Umum PBNU) yang pertama mendampingi KH Hasyim Asy'ari hingga tiga tahun," katanya.
Sebagai santri, ia juga sering menyumbangkan hartanya untuk pesantren dan organisasi. "Batu bata yang dipakai di Langgar Gipo itu mirip di Masjid Ampel, karena beliau juga memiliki peran pada pembangunan keduanya. Langgar Gipo sendiri ada dua lantai dan lantai 2 biasa digunakan jamaah haji menginap dengan daya tampung mencapai 300-400 orang," katanya.
Konon, Langgar Gipo juga menjadi tempat mandi bagi Pasukan Hizbullah untuk wilayah Gresik-Bojonegoro-Lamongan-Tuban-Madura, sedangkan tempat mandi Pasukan Hizbullah untuk Mojokerto-Sidoarjo-Jombang-Malang-Pasuruan-Probolinggo-Banyuwangi di Dresmo Dalam. Langgar itu memiliki gentong dan sumur yang dikeramatkan masyarakat setempat.
Tingginya nilai sejarah dari Langgar dan Makam Hasan Gipo itu agaknya revitalisasi langgar/musholla dan makam itu menjadi hal yang sangat penting guna melengkapi "kesejarahan" Kota Pahlawan Surabaya sebagai "basis perjuangan kemerdekaan".
Hingga kini, Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan pengecatan, pemasangan paving, dan pemasangan sejumlah lampu di dekat Langgar Gipo, namun konsep wisata sejarah yang bernilai edukasi serta ekonomis belum terbukti.
Tahun 2000-an, warga Kelurahan Nyamplungan sempat ingin "menghidupkan" Langgar Gipo itu untuk ibadah dan tempat pengajian, namun niat baik yang direncanakan masyarakat setempat itu belum mendapatkan izin dari ahli warisnya.
Saat ini, ahli waris Hasan Gipo yang tergabung dalam IKSA berharap Pemerintah Kota Surabaya atau Pemerintah Provinsi Jatim menjadikan Langgar Gipo dan Makam Hasan Gipo sebagai situs cagar budaya yang bernilai edukasi/sejarah dan wisata/ekonomis.
"Kami berharap beberapa aset peninggalan KH Hasan Gipo di Surabaya itu bisa dimanfaatkan untuk keluarga kami, juga untuk kegiatan NU, dan sekaligus destinasi wisata situs sejarah kota ini. Kami punya dokumen lengkap, aset mbah Hasan Gipo," kata H Wachid Zein.
Situs Makam Hasan Gipo
Jika Langgar Gipo berjarak sekitar 700 meter ke arah barat dari Masjid Ampel, maka situs makam KH Hasan Gipo justru berada di komplek Masjid Ampel atau di sisi timur dari masjid yang ramai dikunjungi masyarakat itu, terutama saat bulan Ramadhan.
Yang menarik, situs makam KH Hasan Gipo itu baru ditemukan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur bersama pengurus NU Surabaya setelah NU berusia 95 tahun, karena itu PWNU Jatim dan PCNU Surabaya langsung menziarahi makam KH Hasan Gipo (Ketua Umum PBNU pertama), lalu makam KH Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) di Makam Tembok dan KH Mas Alwi Abdul Aziz (pencipta nama NU) di Makam Rangkah.
"Untuk pertama kalinya, kami datang ke makam KH Hasan Gipo di sisi timur Masjid Ampel ini dalam rangka Hari Lahir Ke-95 NU pada 8 April 2018. Hasan Gipo merupakan tokoh NU yang kaya dan berperan penting dalam kelahiran NU," ujar Ketua PWNU Jatim HM Sholeh Hayat.
Menurut Sholeh Hayat, sebelum NU terbentuk, tokoh-tokoh NU membentuk Komite Hijaz untuk menemui Raja Arab Saudi yang keberangkatannya atas biaya KH Hasan Gipo. Selain berjuang dengan hartanya tanpa pamrih, Hasan Gipo juga berani menantang tokoh-tokoh PKI yang tidak percaya kepada Tuhan.
"Beliau menantang tokoh-tokoh PKI untuk berdiri di rel kereta api guna membuktikan bahwa keberadaan Tuhan dan Hari Akhir itu benar adanya, namun saat kereta api datang justru tokoh-tokoh PKI kabur ketakutan," katanya.
Senada dengan itu, Ketua PCNU Surabaya H Muhibbin Zuhri mengatakan teladan yang luar biasa dari KH Hasan Gipo adalah keikhlasan dalam berjuang untuk NU, baik harta maupun nyawa, sehingga keberadaan makamnya pun sulit ditelusuri, karena perjuangan tanpa pamrih itu.
"Saya merinding mengetahui sejarah beliau, karena keikhlasannya sangat luar biasa, sehingga NU berusia 95 tahun baru ditemukan makamnya, padahal 95 tahun itu bukan waktu yang lama, tapi sejarahnya sulit dilacak," tuturnya.
Terkait situs makam itu, Ketua IKSA H Wachid Zein menegaskan bahwa pihaknya baru dapat menemukan makam KH Hasan Gipo pada Agustus 2015 setelah melakukan berbagai ikhtiar, termasuk menelusuri keturunannya di Gresik.
"Karena itu, kami berterima kasih kalau NU Jatim mau menziarahi makam mbah buyut kami pada setiap tahun seperti hari ini, kami berharap NU mau memperjuangkan ketokohan KH Hasan Gipo untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, serta memperjuangkan Langgar Gipo dan Tanah Pemakaman Umum Rangkah," katanya.
Hasan Gipo atau Hasan Basri lahir di Surabaya pada tahun 1869 di Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia lahir dari lingkungan keluarga santri kaya yang bernama Dinasti Gipo, bertempat tinggal di kawasan perdagangan elite di Ngampel yang bersebelahan dengan pusat perdagangan di Pabean, serta dekat dengan sebuah pelabuhan sungai yang berada di tengah Kota Surabaya yang berdempetan dengan Jembatan Merah.
Dinasti Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Dinasti Gipo ini didirikan oleh Abdul Latief Sagipoddin (Tsaqifuddin) yang disingkat dengan Gipo. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, tsaqaf (pelindung) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo.
Dinasti Gipo adalah santri dan kerabat dari Sunan Ampel, karena itu keislamannya sangat mendalam. Sebagai pemuda yang hidup di kawasan bisnis yang berkembang pesat sejak zaman Majapahit itu, Abdul Latief Sagipoddin memiliki etos kewiraswastaan yang tinggi. Sagipodin menekuni perdagangan beras eceran, dengan kepandaian tersendiri dalam menaksir kualitas beras.
Menjelang dewasa, ia diambil menantu oleh seorang saudagar China, sehingga ia bisa melakukan impor beras sendiri dari Siam. Abdul Latief Sagipuddin ini menikah dengan Tasirah mempunyai 12 orang anak, salah satunya bernama H. Turmudzi, yang kawin dengan Darsiyah, mempunyai anak yang bernama H. Alwi, kemudian Alwi mempunyai sepuluh orang anak yang salah satunya bernama Marzuki. Dari H. Marzuki itulah kemudian lahir seorang anak yang bernama Hasan, yang lahir pada 1869 di Ampel yang kemudian dikenal dengan Hasan Gipo.
Jadi, Hasan Gipo itu merupakan generasi kelima dari Dinasti Gipo. Ia mendapatkan pendidikan cukup memadai di beberapa pesantren di sekitar Surabaya, juga sekolah di pendidikan umum ala Belanda. Meskipun mendapatkan pendidikan model Belanda tetapi jiwa kesantriannya masih sangat kental dan semangat kewiraswastaannya sangat tinggi, sehingga kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dipegang dinasti itu, hingga masa Hasan Gipo.
Tidak sedikit pertemuan para ulama, baik untuk bahtsul masail maupun untuk membahas perkembangan politik, yang dibiayai dan difasilitasi oleh Hasan Gipo. Sebagai sesama penerus Sunan Ampel dan sesama saudagar membuat Hasan Gipo sering bertemu dengan KH Wahab Hasbullah dalam dunia pergerakan.
Bahkan, Hasan Gipo-lah yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui para aktivis pergerakan di Surabaya, seperti HOS Cokroaminoto, dr Soetomo, dan "murid" HOS Cokroaminoto, seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti dan masih banyak lagi.
Pertemuan antara Hasan Gipo dengan Kiai Wahab serta kiai lainnya makin intensif. Ia kemudian terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914), walaupun tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya, ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916). Ia juga terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya.
Karena itu ketika Nahdlatul Ulama berdiri, dalam sebuah pertemuan terbatas yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan Bubutan Surabaya, maka ia langsung ditunjuk sebagai Hoftbestoor (Pengurus Besar) NU sebagai Ketua Tanfidziyah dan usul itu langsung disetujui oleh Kiai Hasyim Asy’ari. NU pun berkembang cepat di Jawa dan Kalimantan berkat jasanya.
Pada periode awal ini, selain menggiatkan bidang pendidikan dan pengembangan organisasi, maka NU sangat peduli dengan usaha pengembangan ekonomi dengan membentuk berbagai syirkah. Usaha impor sepeda dari Eropa dirintis sejak tahun 1935, karena untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dan tentunya sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi warga NU dalam mengembangkan jamiyah.
Aktivitas Hasan Gipo terus berlanjut hingga menjelang wafatnya pada tahun 1934, kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin. Ia mempunyai tiga orang anak, yang kemudian melanjutkan usaha bisnisnya.
Ya, Langgar Gipo dan makam Hasan Gipo agaknya memang perlu segera direvitalisasi untuk "menghidupkan" nilai sejarah terkait Kota Surabaya, baik dalam kaitan edukasi maupun ekonomis/wisata. Bagaimanapun, sejarah tanpa nilai ekonomis di dalamnya hanya akan menjadi cerita, namun sejarah yang ekonomis ansich juga bisa "membunuh" sejarah-nya.