Jember (ANTARA) - Rumah Teduh Jember bersama lembaga dan komunitas, juga pegiat antikekerasan mengampanyekan gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rangka memperingati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, dengan menggalang tanda tangan petisi di depan lapangan Universitas Jember, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu.
"Dalam rangkaian 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan, kami menggelar sebuah gerakan kecil yang dilakukan melalui musikalisasi puisi, juga penandatanganan petisi menolak kekerasan terhadap perempuan," kata Koordinator Rumah Teduh Linda Dwi Eriyanti di Jember.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) atau 16 Days of Activism Against Gender Violence) dimulai dari 25 November hingga 10 Desember, dimulai dari 25 November karena bertepatan dengan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, dan diakhiri 10 Desember berbarengan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kampanye 16 hari yang harus terus diserukan di tengah masih banyaknya masyarakat yang belum tahu pada 16HAKTP, sementara kekerasan terhadap perempuan masih kerap terdengar terjadi," tuturnya.
Mengutip data dari Komnas Perempuan, lanjut dia, kekerasan terhadap perempuan tahun 2017 mencapai 13.384 kasus, sedangkan mengacu data yang masuk ke Sistem Informasi online Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, jumlah pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berjumlah 12.867 pada tahun 2018.
"Kekerasan terhadap perempuan, juga anak itu antara lain berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, juga tindak kekerasan seksual. Tindak kekerasan itu pun terjadi di ruang publik, dan ranah privat yang merupakan fenomena yang masih terjadi di Indonesia, setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun," katanya.
Ia menjelaskan tindak kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi di Kabupaten Jember dan LBH Jentera Perempuan Indonesia menerima pengaduan kekerasan terhadap perempuan 3 - 5 kali per hari di Kabupaten Jember pada tahun 2019.
"Komunitas Rumah Teduh Indonesia mengingatkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terjadi. Masyarakat juga harus melihat kalau korban tindak kekerasan bukan hanya perempuan, dan anak, namun juga laki-laki," ujarnya.
Linda mengatakan pada peringatan 16HAKTP tahun 2019, pihaknya kembali menyerukan kepada pemerintah (presiden dan DPR) untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
"Tahun ini, RUU PKS kembali masuk ke prolegnas, namun kami belum tahu sejauh mana progresifitas pembahasan RUU itu, sementara korban kekerasan seksual terus berjatuhan dan kesalahan pelaku selalu ditimpakan kepada korban," katanya.
Menurutnya, trauma, depresi, meninggal dunia, dan menderita gangguan jiwa yang dialami oleh para korban kekerasan seksual terus bertambah setiap tahunnya, bahkan ada berita nenek diperkosa kemudian dianiaya dan seorang santri yang diperkosa gurunya hingga hamil yang terjadi di Jember.
"Kami dari Komunitas Rumah Teduh mengajak masyarakat mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang," ujarnya.