Surabaya (ANTARA) - Polda Jawa Timur mengimbau tersangka kasus hoaks Asrama Mahasiswa Papua Surabaya hingga berujung kerusuhan di Papua, Veronica Koman untuk segera memenuhi panggilan kedua yang suratnya telah dilayangkan.
"Kami kirim ke dua alamat rumah di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Hubinter juga akan mengirimkan surat kepada alamat yang ada di luar negeri melalui KBRI. Kita sudah temukan alamatnya," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan saat jumpa pers di Surabaya, Selasa.
Luki mengungkapkan, pada panggilan pemeriksaan pertama, sama sekali tidak ada respons dari Veronica, maupun dari pihak keluarga.
Sedangkan pada panggilan kedua ini, Luki mengimbau agar Veronica mau mendatangi penyidik untuk dilakukan pemeriksaan yang dijadwalkan pada 13 September 2019.
"Waktunya kalau dilihat dari surat yang kami layangkan itu sekitar tanggal 13 September 2019. Tapi karena jauh, kami bisa beri toleransi mungkin sampai minggu depan," katanya.
Jika Veronica tidak juga memenuhi panggilan, bukan tidak mungkin dirinya akan dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Bahkan, jika Veronica tetap tidak mengindahkannya, bukan tidak mungkin polisi akan mengeluarkan red notice.
"Semoga tidak sampai keluar red notice. Kalau sampai keluar red notice yang bersangkutan ini akan tidak bisa ke luar berpergian kemana-mana lagi. Kan ada 190an negara yang saat ini sudah bekerja sama dengan kita. Ini akan menghambat aktivitas yang bersangkutan sebagai pegiat HAM," ujarnya.
Sebelumnya, Polda Jatim menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks, terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan Surabaya, pada 17 Agustus 2019.
Akibat perbuatannya, Veronica dijerat dengan pasal berlapis yakni UU ITE KUHP Pasal 160 KUHP. UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis dan Ras.(*)
Polda Jatim imbau Veronica Koman penuhi panggilan kedua
Selasa, 10 September 2019 14:36 WIB
Semoga tidak sampai keluar red notice. Kalau sampai keluar red notice yang bersangkutan ini akan tidak bisa ke luar berpergian kemana-mana lagi. Kan ada 190an negara yang saat ini sudah bekerja sama dengan kita. Ini akan menghambat aktivitas yang bersangkutan sebagai pegiat HAM