Situbondo (ANTARA) - Sesuai Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba dan PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, serta UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi, setiap usaha pertambangan harus mengantongi izin.
Bagi pelaku usaha pertambangan yang tidak memiliki izin, maka dapat dipidana, tak terkecuali pengguna (kontraktor) material atau hasil tambang (batu, pasir dan batu/sirtu, tanah urugan) bisa dipidana, jika aparat penegak hukum tegas.
Di Situbondo, Jawa Timur, masalah pertambangan ilegal maupun pengguna hasil tambang ilegal tak kunjung usai. Padahal, aparat penegak hukum (polisi) telah beberapa kali melakukan sidak bersama instansi terkait lainnya ke lokasi pertambangan yang tidak mengantongi izin, namun aksi petugas tak memberikan efek jera.
Kendati petugas dari Polres Situbondo telah menyita satu unit alat berat ekskavator milik salah satu pengusaha pertambangan yang tak mengantongi izin, namun aktivitas pertambangan ilegal masih marak.
Bahkan pada suatu kesempatan, Kapolres Situbondo AKBP Awan Hariono menyatakan akan menyikat habis pelaku usaha pertambangan yang tak mengantongi izin jika masih beraktivitas. Di sisi lain, aparat penegak hukum semestinya juga menindak tegas pengguna (kontraktor) material hasil tambang tak berizin, karena semua telah diatur dalam undang-undang.
Sesuai UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 161 diatur bahwa setiap orang yang menampung/pembeli, pengangkutan, pengolahan dan lain lain dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Pengawasan bagi pelaku usaha pertambangan yang mengantongi izin juga harus menjadi perhatian, karena penambang berizin bisa terus melakukan aktivitas pertambangan, namun tidak sesuai dengan titik koordinat yang diajukan dalam perizinan.
Contohnya, material yang digunakan untuk pembangunan proyek di Pelabuhan Feri Jangkar sempat disoal beberapa organisasi kemasyarakatan, karena ditengarai urukan pasir dan batu yang digunakan, selain tidak sesuai spek, juga berasal dari lokasi tambang tidak sesuai dengan titik koordinat wilayah pertambangan yang diajukan dalam perizinan.
Selain itu, Dinas ESDM semestinya juga tidak mempersulit pengurusan perizinan pertambangan, karena selama ini banyak pelaku usaha tambang mengeluh dipersulit mengurus izin. Bahkan beberapa kali unjuk rasa mengenai pertambangan dilakukan oleh LSM di Situbondo.
Melihat perkembangan dunia pertambangan di Situbondo, sudah saatnya aparat penegak hukum, pelaku usaha tambang, Dinas ESDM, dan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya duduk bersama menyatukan persepsi untuk kepentingan pembangunan daerah.
Hal ini mengingat material pasir, batu, urukan, dan hasil tambang lainnya, sebagian besar digunakan untuk proyek pembangunan fisik yang anggarannya bersumber dari APBD dan APBN.