Surabaya (Antaranews Jatim) - Prof Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa dikukuhkan menjadi guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ke-478 dan merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran aktif ke-111 setelah meniliti penyakit kusta.
Melalui penelitian berjudul "Kusta Melawan Kesejahteraan, Menantang Ilmuan (Menuju Penghentian Transmisi M.Leprae dengan Kolaborasi Lintas Sektor dalam Academic Health System Melalui Penjegahan Dini Disregulasi Ilmunitas", Prof Cita Dikukuhkan menjadi guru besar oleh Rektor Unair Prof M. Nasih bersama dua guru besar lain di kampus setempat, Sabtu (26/1).
Prof Cita mengatakan alasannya meneliti kusta karena kusta merupakan penyakit sepanjang sejarah peradaban manusia. Namun sampai saat ini transmisi penyakit tersebut belum bisa dihentikan terbukti dari masih stabilnya kasus baru, kasus kusta anak, dan kasus kecacatan.
"Penyakit ini bukan hanya masalah fisik namun juga masalah sosial dan ekonomi dengan adanya lingkaran setan kecacatan stigma diskriminasi kemiskinan penderitaan dan perburukan kecacatan, bisa dikatakan kusta melawan kesejahteraan manusia," kata kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Dia mengungkapkan, sejauh ini banyak riset telah dilakukan dan kemajuan pesat pada bidang imunologi dan mikrobiologi namun masih belum berhasil memutus rantai transmisi, maka kusta juga dapat dikatakan menantang ilmuwan.
Mengenai kusta yang terjadi pada anak, menurut Prof Cita hal itu terjadi karena disregulasi sistem kekebalan yang berkelanjutan. Berbagai faktor yang berpengaruh pada disregulasi kekebalan adalah infeksi, stress, trauma, merokok, imunisasi, nutrisi dan lain-lain.
"Jadi sesungguhnya disregulasi ini bsa dicegah, namun, karena stigma dan diskriminasi maka penderita kusta tidak tersentuh layanan kesehatan sehingga terdapat lingkaran setan yang saling terkait antara kecacatan, stigma, diskriminasi, kemiskinan, perburukan kecacatan dan stigma, penghindaran layanan kesehtan serta disregulasi kekebalan berkepanjangan," ujarnya.
Adapun riset yang selama ini banyak dilakukan, namun transmisi belum berhasil diputus. Dia menilai, riset ilmuwan terutama mengeksplorasi aspek kuratif dan diagnostik dan kurang memperhatikan promotif, preventif dan rehabilitatif. Padahal aspek tersebut yang berpotensi tinggi dalam menghentikan transmisi kusta melalui pencegahan dini disregulasi kekebalan terutama di daerah endemis kusta.
"Melalui kolaborasi lintas sektor AHS sinergi antara universitas, RSP dengan berbagai penyedia layanan kesehatan dapat dilakukan. Kelemahan Puskesmas (inovasi program, red) diatasi dengan kolaborasi bersama universitas," katanya.
Sementara kelemahan perguruan tinggi adalah menjangkau daerah endemis dapat diatasi dengan kolaborasi bersama puskesmas dan Pemerintah daerah. Kelemahan puskesmas dan universitas seperti ketersediaan dokter ahli dan riset kusta dapat diatasi dengan kolaborasi bersama Rumah Sakit.
"AHS dapat memfasilitasi hambatan birokratis dengan menginisiasi perjanjian kerja sama antarinstitusi seperti pemda, institusi pendidikan, dan institusi pelayanan kesehatan, agar sistem pelayanan kesehatan menggunakan sistem rujukan berjenjang tidak menyulitkan program pemberantasan kusta. Puskesmas dikembangkan jadi pusat kegiatan promotif-preventif kusta serta memiliki standar minimum layanan kusta nasional," ucapnya.
Dengan dilakukan upaya penghentian transmisi kusta dengan kolaborasi lintas sektor AHS melalui pencegahan disregulasi kekebalan, dia berharap masalah kusta di Indonesia dapat diatasi.(*)