Hari Anak Sedunia diperingati setiap tanggal 20 November. Hari Anak diperingati tidak saja sebagai upaya mengingatkan kesadaran bersama masyarakat dunia akan pentingnya perlindungan anak, tapi lebih dari itu adalah menggugah kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan dan menjaga kesejahteraan anak.
Anak adalah masa depan. Anak adalah generasi penerus kehidupan di muka bumi.
Pengertian anak cukup beragam, tergantung dari sudut mana mengartikannya. Pengertian anak bisa ditinjau dari aspek agama, sosilogis, aspek hukum maupun aspek ekonomis.
Anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Jadi, tumbuh kembang mereka perlu dan bahkan harus mendapat perlindungan yang baik. Anak merupakan generasi penerus dari generasi yang ada saat ini. Untuk mendapat generasi penerus yang baik, tentu anak harus disiapkan menghadapi dunianya kelak yang bisa jadi tidak sama dengan dunia saat ini.
Namun begitu, harus diakui jika perlindungan terhadap anak agar anak bisa tumbuh kembang secara ideal, sering terkoyak oleh konflik politik, kemiskinan bahkan konflik-konflik domestik (rumah tangga dan lingkungan sekitar) yang berdampak terhadap tumbuh kembangnya.
Contoh, konflik di Suriah dan Myanmar yang menyebabkan anak-anak menjadi korban dan terlunta-lunta. Di dalam negeri, kasus yang belakangan membuat terbelalak banyak pihak adalah NW (25) orang tua yang tega menganiaya dan menyebabkan anak kandungnya GW (5) meninggal di Kebun Jeruk, Jakarta, hanya gara-gara hal sepele, rewel.
Sejumlah kalangan telah mencoba memberikan batasan mengenai kekerasan terhadap anak. Namun, secara umum, kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupun mental.
Memang, pemerintah telah menelurkan produk perundang-undangan yang muaranya untuk memastikan diperolehnya tumbuh kembang anak yang baik untuk mencapai kesejahteraanya. Tapi, hal itu tidak cukup jika akar masalah dari kekerasan terhadap anak terselesaikan, seperti terpenuhi kebutuhan secara ekonomi dan non-ekonomi masyarakat.
Kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupun mental. Kekerasan tidak hanya yang kasatmata secara fisik, tapi juga yang tidak kasatmata atau nonfisik seperti kata-kata kasar yang dapat mempengaruhi emosional anak.
Kini, zaman telah berubah. Teknologi informasi telah mewarnai perubahan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Teknologi informasi telah mengubah gaya hidup masyarakat. Teknologi informasi pula telah menggeser norma-norma di masyarakat.
Perubahan-perubahan itu perlu penyikapan yang sangat bijak. Sebab, kekerasan terhadap anak bisa jadi juga bermula dari penggunaan fasilitas berbasis teknologi informasi. Konten dalam internet sangat beragam. Ibarat pisau bermata dua. Satu sisi bisa sangat bermanfaat, tapi di sisi lain bisa membahayakan dan bahkan membunuh.
Langkah preventif tentu akan lebih baik ketimbang harus menangani kasus-kasus yang telah menimpa kepada anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai salah satu lembaga bentukan pemerintah dalam perlindungan anak, tentu akan sangat terbantu jika ada peran aktif masyarakat luas. Melindungi dan mensejahterakan anak adalah tugas kita semua, tugas kita bersama. Selamat Hari Anak Sedunia... (*)