Denpasar (Antara) - Umat Hindu Dharma di Bali merayakan hari Suci Galungan, hari raya terbesar dalam memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) dengan penuh khidmat, Rabu.
Umat Hindu baik pria, wanita dan anak-anak mengenakan busana adat nominasi warna putih dan wanita menjunjung sesajen (sesaji) pergi ke Pura atau tempat suci keluarga (merajan) untuk mengadakan persembahyangan.
Suasana kota Denpasar dan daerah pedesaan di Bali tampak cukup semarak, karena sepanjang jalan dihiasi dengan penjor sebagai lambang kemakmuran.
Jalan-jalan raya sepanjang kota Denpasar tampak sepi dan lenggang, karena seluruh perkantoran instansi pemerintah dan swasta di Bali libur (fakultatif) selama tiga hari berturut-turut, 31 Oktober, 1 dan 2 November 2017.
"Umat Hindu pada hari Suci Galungan itu wajib melakukan introspeksi diri, agar sadar dan mengetahui kebenaran yang sejati, karena kebenaran itu tetap ditegakkan," kata Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Neger (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.
Dengan demikian umat Hindu diharapkan mampu meningkatkan sikap toleransi dan memantapkan kerukunan hidup antarumat beragama, yang selama ini hidup harmonis berdampingan satu sama lainnya.
Umat Hindu dalam merayakan Hari Suci Galungan dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat bimbingan, tuntunan dan perlindungan, dengan harapan tetap pada jalan yang benar sesuai ajaran Dharma.
Hari suci Galungan selain bermakna memperingati kemenangan Dharma atas Adharma juga memberikan keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, ujar Ketut Sumadi.
Suasana semarak berkat hiasan penjor (bambu yang dihias) berjejer sepanjang jalan yang dipajangkan di depan pintu masuk rumah tangga masing-masing keluarga.
Pajangan penjor penuh makna menambah kesemarakan daerah tujuan wisata Pulau Dewata yang memang tidak pernah sepi dari aktivitas ritual dan budaya.
Suasana semarak itu hampir terjadi di semua tempat, baik di perkotaan maupun pedesaan di Pulau Dewata dengan persiapan masing-masing keluarga yang dilakukan jauh hari sebelumnya, meskipun masyarakat di lereng Gunung Agung Kabupaten Karangasem masih harus berada di pengungsian dan tidak memasang penjor.
Hari Suci Galungan yang diperingati umat Hindu setiap 210 hari sekali juga bermakna memberikan keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengingatkan, umat Hindu dalam membuat penjor Galungan menekankan kesederhana sesuai maknanya.
Hakekat penjor Galungan memperhatikan kelengkapan termasuk ada komoditas hasil pertanian sebagai lambang kemakmuran dan tempat suci (sanggah) untuk sembahyang.
Penjor Galungan sangat berbeda dengan lomba penjor yang harus dibuat dengan baik dan semeriah mungkin. Hal itu ditekankan karena harga penjor yang dijual pedagang bervariasi mulai dari Rp250.000 hingga Rp2,5 juta per buah, tergantung kelengkapan ormanennya.
Untuk itu penjor Galungan menurut Ngurah Sudiana sebenarnya tidak perlu mahal dan saling jor-joran yang penting kelengkapan dan maknanya. Masyarakat yang tinggal dalam satu gang misalnya bisa membuat satu penjor secara gotong royong atau urunan membeli sebuah penjor untuk dipasang di depan gang. (*)