Buku ini buku lama, tetapi jangan langsung menyimpulkan sudah usang karena konten buku ini justru kaya makna dan pesan yang tak lekang oleh waktu.
Buku ini memang buku internal tentang sebuah organisasi, tepatnya perjalanan sejarah satu-satunya lembaga pers paling tua di negeri ini yang masih bertahan hingga sekarang, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Tapi buku ini juga mengisahkan perjalanan sejarah bangsa ini, jauh sebelum Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan eksistensi negeri ini ke jagat raya.
Di dalamnya, ada muatan idealisme, inovasi, kreativitas, patriotisme, dan tentang bagaimana sebuah lembaga pers beradaptasi melewati pergolakan-pergolakan zaman.
LKBN Antara didirikan pada 13 Desember 1937 sehingga kalau dijuduli "Lima Windu Antara", maka buku ini ditulis pada 1978 atau 40 tahun dari era sekarang yang serba digital.
Penulisnya, Soebagijo I.N, adalah wartawan kawakan kebanggaan Antara yang hidup pada zaman "para perintis pers nasional" dan Antara hidup menegakkan bagaimana pers mesti bertahan untuk mencerahkan masyarakat bangsanya.
Riset yang ekstensif, termasuk wawancara para pelaku sejarah, membuat buku ini kaya informasi namun dituturkan dengan kalimat cair mengalir seperti bercerita, meski mungkin ada beberapa hal yang kurang karena tak ada yang benar-benar sempurna dalam sebuah karya.
Dari buku ini, didapat informasi betapa pers nasional paling tua di Indonesia itu lahir di bawah atmosfer yang sangat tidak bersahabat, bukan saja oleh marginalisasi penguasa kolonial, tetapi juga skeptisme rekan sebangsa saat anak-anak muda idealis dan pemberani pimpinan Adam Malik menginisiasi apa yang kini dikenal sebagai LKBN Antara, delapan tahun sebelum Republik Indonesia lahir.
Sama halnya dengan Sumpah Pemuda, pemikiran anak-anak muda ini jauh di depan zamannya. Mereka idealis tetapi futuristik seperti seharusnya insan pers berpola pikir. Mereka memimpikan bagaimana bangsa sendiri melihat dirinya dari kaca matanya sendiri, tidak didikte media masa kolonial yang sangat bias terhadap pribumi.
Ma'loemat Persbureau Antara
Dalam buku setebal 235 halaman terbitan LKBN Antara 1987 ini terlihat bahwa hasrat membentuk sebuah kantor berita bahkan telah hidup sebelum Sumpah Pemuda 1928. Alpena, Nicork, HIPA, NIPA adalah nama-nama kantor berita sebelum Antara yang diusahakan wartawan pribumi, namun mati sebelum berkembang.
Jauh sebelum itu, pada November 1913, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara di tanah pembuangannya di Den Haag, Belanda, sudah mengusahakan apa yang disebut Indonesisch Persbureau. Tetapi baru pertengahan 1930-an impian itu dihidupkan sehidup-hidupnya oleh Adam Malik, A.M. Sipahoetar, Soemanang dan kemudian Pandu Kartawiguna.
Banyak sekali perintis bangsa terlibat langsung dan tidak langsung membidani Antara, termasuk sastrawan besar Sanusi Pane saat seseorang yang tak disebutkan Soebagijo mengusulkan nama "Antara" untuk kantor berita baru itu yang ternyata diambil dari nama mingguan yang diasuh Soemanang, "Perantaraan". Bahkan mengambil nama ini pun, mereka memikirkan filosofi dan aspek kepraktisan serta popularitasnya.
Di bawah cercaan Belanda dan sinisme rekan sebangsa, para pemuda idealis itu mewujudkan sebuah kantor berita yang merupakan salah satu paling tua di Asia ini.
Maka pada 13 Desember 1937, mereka pun mengeluarkan apa yang disebut "Ma'loemat dari Persbureau Antara". Di antara isinya adalah, "Setelah satoe setengah boelan dioesahakan, permoelaan dari persbureau Indonesia meroepakan correspondentiebureau dan kenjataan bahwa beberapa soeratkabar menjokong maksoed itoe, maka moelai hari ini ditetapkan berdirinja persbureau itoe dengan nama 'ANTARA', Alamat Buitentijgerstraat 30, Batavia, Telefon Bt 1725".
Awalnya dicibir, lambat laun Antara mendapatkan tempat istimewa dalam masyarakat, bahkan pada zaman pendudukan Jepang posisinya tak tergantikan, meski harus salin bentuk dalam nama Jepang. Tak apa-apa, setidaknya ini adalah bagian dari cara sebuah organisasi pers besar menyiasati zaman untuk bisa bertahan hidup.
Faktanya, Antara terus hidup kendati di bawah penderitaan tak terperi kolonialisme Jepang di mana wartawan-wartawannya diburu karena menyajikan perspektif lain dari yang diinginkan Jepang.
Suasana tak kalah mengerikan terjadi tatkala Belanda masuk kembali menjajah negeri . Pada era ini, wartawan-wartawan Antara dipaksa menajamkan pena di bawah kokang senjata dan hunus bayonet serdadu penjajah.
Tapi seperti umumnya para patriot bangsa, mereka tak mundur bekerja mempertaruhkan nyawa seperti dilukiskan Soebagijo pada halaman 64 buku ini: "Di berbagai medan pertempuran yang kemudian pecah, seperti halnya di Surabaya, Semarang, dan juga di Jakarta sendiri, selalu ada orang-orang Antara yang gugur sewaktu mereka menjalankan tugasnya sebagai wartawan Antara; mati ditembak NICA (Belanda) ataupun dianiaya, disiksa, sedang rumah kediamannya dibakar, dirampok."
Soekarno dan warisan idealisme
Ketika pusat pemerintahan dipaksa pindah ke Yogyakarta pada 1946, Antara ikut hijrah. Di kota ini, Antara diserahi tugas menyusun berita-berita dalam negeri untuk konsumsi luar negeri. Dan dari kota itu, mulai 1 Maret 1947 newscast internasional Antara disiarkan untuk pertama kali dalam Bahasa Inggris.
Beginilah kata pengantar untuk siaran itu: "This is the newscast of the Indonesian News Agency Antara of the Republic of Indonesia. The material in the newscast may be used free of charge and without any obligations."
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menyaksikan sendiri ketukan pertama huruf-huruf morse Antara. Soekarno terkagum-kagum, lalu berbisik kepada Hatta, "Boleh juga ya?". Soekarno yakin Antara telah menembus tirai blokade komunikasi demi mengabarkan apa yang berlaku di republik muda Indonesia kepada dunia.
Zaman terus berganti, dari Demokrasi Terpimpin Orde Lama sampai Orde Baru, dan Antara terus bertahan kendati terus ditarik-tarik penguasa dari zaman ke zaman, terutama pada periode panas era 1960-an. Orde Baru pun demikian. Pada zaman ini nyaris tak ada yang tidak di bawah pengaruh rezim, apalagi Antara sudah diidentikan dengan negara dan kepentingan nasional.
Tapi dalam kondisi seperti itu pun, tetap hidup salah satu karakter yang abadi yang menjadi kebiasaan Antara, yakni tradisi bertukar pikiran, sekalipun dihadapkan kepada pandangan-pandangan yang berbeda sangat diametral satu sama lain seperti terjadi pada masa 1962-1965.
Kini, 80 tahun setelah Adam Malik cs menginisiasi terobosan besar di zamannya, LKBN ANTARA menghadapi tantangan yang tak kalah hebatnya, yakni lanskap bisnis media dan paradigma jurnalisme yang berubah besar mengikuti berubah cepatnya kebiasaan manusia masa kini dalam mengakses informasi.
Demografi pembaca sudah sedemikian berubah di mana orang masa kini bukan hanya sangat otonom dalam menghubungkan dirinya dengan informasi tetapi juga mereka dapat menulis, menyunting, mengaudiovideokan, dan menyebarkan sendiri informasi yang dulu menjadi domain ekslusif media massa. Saat bersamaan, idealisme tumpang tindih dengan kapital dan orientasi politik, apalagi hampir sebagian besar lembaga pers dimiliki pemodal yang acap bergenggam erat dengan kekuasaan dan kelompok kepentingan.
Ini atmosfer yang tak kalah menantangnya dari masa sewaktu Adam Malik cs mendirikan kantor berita ini.
Tapi demi mencegah degradasi spirit dan kualitas, sekaligus untuk takzim kepada para pendiri yang sudah mewariskan idealisme, inovasi, kreativitas dan kecintaan kepada profesi, sekaligus Tanah Air, LKBN Antara era sekarang wajib meneladani, bahkan menjiplak idealisme, inovasi dan tekad bertahan hidup para pendirinya seperti tergambar dalam "Lima Windu Antara: Sejarah dan Perjuangannya", sekalipun karakter zaman telah sama sekali berubah. (*) (ANTARA 2017)
------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara, Antara TV dan portal www.antaranews.com.