Jember (Antara Jatim) - Pakar hukum yang juga Ketua Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi
(Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono
mengatakan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim memberikan peluang baik
dalam rangka melakukan reformasi peradilan.
"Sejumlah pakar hukum setuju bahwa RUU Jabatan Hakim yang diusulkan
oleh DPR dapat membenahi manajemen hakim di Mahkamah Agung," kata Bayu
usai menggelar temu pakar hukum `expert meeting` dari berbagai perguruan
tinggi di Indonesia yang digelar di Kabupaten Jember, Jawa Timur,
Selasa sore.
Sejumlah pakar hukum di antaranya dari Pusat Kajian Anti Korupsi
(Pukat) Universitas Gajah Mada, Pusat Studi Konstitusi Universitas
Andalas, Indonesian Corruption Watch, Puskapsi Universitas Jember,
Universitas Brawijaya, Universitas Udayana, Universitas Mataram, dan
Universitas Airlangga melakukan pertemuan untuk membahas RUU Jabatan
Hakim dan Pembagian Tanggung Jawab Manajemen Hakim Antara Mahkamah Agung
dengan Komisi Yudisial di Kabupaten Jember.
"Berdasarkan catatan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan
sejak tahun 2010 hingga 2016 tercatat 14 orang hakim yang diproses
secara hukum akibat terlibat praktik korupsi. Mereka melakukan dagang
perkara untuk mencari keuntungan yang tidak semestinya," tuturnya.
Dari jumlah hakim yang terlibat tindak pidana korupsi tersebut,
lanjut dia, menunjukkan ada persoalan serius terkait kualitas integritas
hakim di Indonesia dan salah satu sebab kondisi darurat integritas
hakim di Indonesia yakni adanya penyimpangan atas sistem "satu atap"
dalam manajemen hakim yang ditetapkan setelah era reformasi.
"Penyimpangan sistem satu atap yang dimaksud yakni praktik sistem
satu atap lebih menekankan pada kemerdekaan kehakiman secara kelembagaan
dibanding individual hakim, sehingga yang muncul saat ini adalah
kemerdekaan kehakiman individual berada di bawah subordinasi kekuasaan
para pejabat di MA, sebagai strata tertinggi dalam struktur kehakiman di
Indonesia, yang sangat berkuasa menentukan mulai dari rekrutmen,
pembinaan, hingga nasib karier para hakim," katanya.
Ia mengatakan pengawasan hakim yang dilakukan internal MA sendiri
kurang efektif karena keengganan dari sesama hakim sebagai kolega untuk
bertindak tegas, apalagi melakukan pemberhentian.
"Keberadaan Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawasan eksternal
sesungguhnya diharapkan lebih membuat pengawasan hakim menjadi lebih
objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih,
efektif dan efisien," ujarnya.
Dalam pertemuan para pakar hukum lintas perguruan tinggi tersebut
menghasilkan beberapa rekomendasi yakni (1) setidaknya terdapat lima isu
penting dalam institusi peradilan yang harus segera dibenahi di
antaranya praktik suap kepada hakim dan pejabat pengadilan; kurang
transparannya rekrutmen calon hakim; tidak jelasnya `merit system`;
adanya kekuasaan besar di Sekretaris MA untuk menentukan mutasi, promosi
hingga demosi.
Selanjutnya (2) RUU Jabatan Hakim RUU mengusulkan perbaikan pola
manajemen hakim dengan mengubah pola pengelolaan hakim pada satu entitas
(one roof system) yaitu MA menjadi tanggung jawab bersama ada pada
beberapa lembaga (shared responsibility system) yaitu antara MA dengan
KY yang sudah menjadi praktik universal yang diterapkan di banyak negara
seperti Austria, Belgia, Perancis, dan Jerman.
"Pola `shared responsibility system` diharapkan dapat mencegah dan
mengurangi pelanggaran etika dan hukum oleh hakim serta praktik judicial
corruption. Konsep sistem berbagi tanggung jawab dipandang merupakan
cara menyeimbangkan independensi pengadilan dengan akuntabilitas,"
tuturnya.
Rekomendasi ketiga yakni hakim sebagai pejabat negara harus
memiliki kualifikasi khusus dibandingkan PNS pada umumnya di antaranya
adalah memiliki pengalaman praktik hukum dalam jangka waktu tertentu (5
tahun) dan diperlukan proses rekrutmen yang ketat mengikuti pola seleksi
pejabat negara pada umumnya melalui pansel yang didalam nya melibatkan
unsur KY, Ombudsman, Komnas HAM, dan perwakilan masyarakat atau
akademisi.
"Rekomendsi berikutnya yakni perlu dilakukan penataan ulang
kewenangan pembinaan hakim, agar bukan lagi sebagai monopoli MA,
melainkan juga menerapkan mekanisme `check and balances` dalam
pelaksanaan proses promosi dan mutasi hakim untuk meminimalkan
`disorientasi` pembinaan dalam hal penempatan, promosi, dan mutasi
hakim," katanya.
Selain itu, perlu memberikan kewenangan kepada KY dalam pembinaan
hakim, khususnya mengenai promosi dan mutasi hakim karena sebagai
lembaga pengawas etik dan perilaku hakim, akan lebih tepat jika KY dalam
promosi dan mutasi juga memberi pertimbangan mengenai integritas hakim
yang bersangkutan.
Rekomendasi kelima, keberadaan KY perlu diperkuat dengan merumuskan
kembali sistem pengawasan yang lebih efektif dan mengikat agar tidak
`overlapping` dengan pengawasan internal oleh MA dan terakhir MA
sebaiknya menunda rekrutmen hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim.(*)
(Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono
mengatakan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim memberikan peluang baik
dalam rangka melakukan reformasi peradilan.
"Sejumlah pakar hukum setuju bahwa RUU Jabatan Hakim yang diusulkan
oleh DPR dapat membenahi manajemen hakim di Mahkamah Agung," kata Bayu
usai menggelar temu pakar hukum `expert meeting` dari berbagai perguruan
tinggi di Indonesia yang digelar di Kabupaten Jember, Jawa Timur,
Selasa sore.
Sejumlah pakar hukum di antaranya dari Pusat Kajian Anti Korupsi
(Pukat) Universitas Gajah Mada, Pusat Studi Konstitusi Universitas
Andalas, Indonesian Corruption Watch, Puskapsi Universitas Jember,
Universitas Brawijaya, Universitas Udayana, Universitas Mataram, dan
Universitas Airlangga melakukan pertemuan untuk membahas RUU Jabatan
Hakim dan Pembagian Tanggung Jawab Manajemen Hakim Antara Mahkamah Agung
dengan Komisi Yudisial di Kabupaten Jember.
"Berdasarkan catatan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan
sejak tahun 2010 hingga 2016 tercatat 14 orang hakim yang diproses
secara hukum akibat terlibat praktik korupsi. Mereka melakukan dagang
perkara untuk mencari keuntungan yang tidak semestinya," tuturnya.
Dari jumlah hakim yang terlibat tindak pidana korupsi tersebut,
lanjut dia, menunjukkan ada persoalan serius terkait kualitas integritas
hakim di Indonesia dan salah satu sebab kondisi darurat integritas
hakim di Indonesia yakni adanya penyimpangan atas sistem "satu atap"
dalam manajemen hakim yang ditetapkan setelah era reformasi.
"Penyimpangan sistem satu atap yang dimaksud yakni praktik sistem
satu atap lebih menekankan pada kemerdekaan kehakiman secara kelembagaan
dibanding individual hakim, sehingga yang muncul saat ini adalah
kemerdekaan kehakiman individual berada di bawah subordinasi kekuasaan
para pejabat di MA, sebagai strata tertinggi dalam struktur kehakiman di
Indonesia, yang sangat berkuasa menentukan mulai dari rekrutmen,
pembinaan, hingga nasib karier para hakim," katanya.
Ia mengatakan pengawasan hakim yang dilakukan internal MA sendiri
kurang efektif karena keengganan dari sesama hakim sebagai kolega untuk
bertindak tegas, apalagi melakukan pemberhentian.
"Keberadaan Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawasan eksternal
sesungguhnya diharapkan lebih membuat pengawasan hakim menjadi lebih
objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih,
efektif dan efisien," ujarnya.
Dalam pertemuan para pakar hukum lintas perguruan tinggi tersebut
menghasilkan beberapa rekomendasi yakni (1) setidaknya terdapat lima isu
penting dalam institusi peradilan yang harus segera dibenahi di
antaranya praktik suap kepada hakim dan pejabat pengadilan; kurang
transparannya rekrutmen calon hakim; tidak jelasnya `merit system`;
adanya kekuasaan besar di Sekretaris MA untuk menentukan mutasi, promosi
hingga demosi.
Selanjutnya (2) RUU Jabatan Hakim RUU mengusulkan perbaikan pola
manajemen hakim dengan mengubah pola pengelolaan hakim pada satu entitas
(one roof system) yaitu MA menjadi tanggung jawab bersama ada pada
beberapa lembaga (shared responsibility system) yaitu antara MA dengan
KY yang sudah menjadi praktik universal yang diterapkan di banyak negara
seperti Austria, Belgia, Perancis, dan Jerman.
"Pola `shared responsibility system` diharapkan dapat mencegah dan
mengurangi pelanggaran etika dan hukum oleh hakim serta praktik judicial
corruption. Konsep sistem berbagi tanggung jawab dipandang merupakan
cara menyeimbangkan independensi pengadilan dengan akuntabilitas,"
tuturnya.
Rekomendasi ketiga yakni hakim sebagai pejabat negara harus
memiliki kualifikasi khusus dibandingkan PNS pada umumnya di antaranya
adalah memiliki pengalaman praktik hukum dalam jangka waktu tertentu (5
tahun) dan diperlukan proses rekrutmen yang ketat mengikuti pola seleksi
pejabat negara pada umumnya melalui pansel yang didalam nya melibatkan
unsur KY, Ombudsman, Komnas HAM, dan perwakilan masyarakat atau
akademisi.
"Rekomendsi berikutnya yakni perlu dilakukan penataan ulang
kewenangan pembinaan hakim, agar bukan lagi sebagai monopoli MA,
melainkan juga menerapkan mekanisme `check and balances` dalam
pelaksanaan proses promosi dan mutasi hakim untuk meminimalkan
`disorientasi` pembinaan dalam hal penempatan, promosi, dan mutasi
hakim," katanya.
Selain itu, perlu memberikan kewenangan kepada KY dalam pembinaan
hakim, khususnya mengenai promosi dan mutasi hakim karena sebagai
lembaga pengawas etik dan perilaku hakim, akan lebih tepat jika KY dalam
promosi dan mutasi juga memberi pertimbangan mengenai integritas hakim
yang bersangkutan.
Rekomendasi kelima, keberadaan KY perlu diperkuat dengan merumuskan
kembali sistem pengawasan yang lebih efektif dan mengikat agar tidak
`overlapping` dengan pengawasan internal oleh MA dan terakhir MA
sebaiknya menunda rekrutmen hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim.(*)