Malang, (Antara Jatim) - Direktur Pangaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir Dr Yudi Pramono mengatakan revisi, bahkan mungkin penggantian Undang Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sudah cukup mendesak untuk segera direalisasikan.
"Kalau dalam konteks sekarang, termasuk yang berkaitan dengan terorisme dan penyalahgunaan nuklir, revisi UU Ketenaganukliran sangat mendesak, sebab tidak ada pasal yang mengatur lebih rinci terhadap penyalahgunaannya," kata Yudi Pramono di sela konsultasi publik penyusunan RUU Perubahan UU Nomor 10/1997 tentang Ketenaganukliran di salah satu hotel di Malang, Jawa Timur, Selasa.
Menurut dia, peraturan dan pasal-pasal yang lebih rinci perlu segera dibahas sebagai antisipasi keberadaan nuklir itu sendiri, misalnya tidak diketahui keberadaannya. Saat ini juga perlu kesiapsiagaan kedaruratan, termasuk implementasi hukumnya, sanksi kriminalisasi dan pemidanaannya.
Sebenarnya, lanjut Yudi, bisa saja menggunakan UU Terorisme, tapi tidak seperti yang mengikuti ketentuan berlaku secara internasional. "Akan tetapi kewajiban kita harus menerapkan semua konvensi dan atau perangkat yang telah kita tandatangani dalam peratusan perundang-undangan," urainya.
Ia mengemukakan perkembangan terkini terkait RUU Perubahan UU Nomor 10/1997 itu sudah dibahas di Prolegnas. Artinya, saat ini sedang mengantre untuk segera direalisasikan. Komisi VII sekarang masih memproses RUU Sistem Iptek, Minerba dan Migas.
Jika tiga RUU tersebut sudah tuntas dibahas dan disahkan menjadi UU, lanjutnya, baru RUU tentang Ketenaganukliran ini dibahas dan dituntaskan. "Artinta sekarang ini kita masih mengantre untuk dibahas lebih lanjut, sehingga bisa segera disahkan menjadi UU," katanya.
Semenatra itu Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Prof Dr Jazi Eko Istiyanto mengemukakan pemanfaatan tenaga nuklir begitu luas, seperti di bidang kesehatan, industri dan penelitian.
Pemanfaatan tenaga nuklir di bidang kesehatan, bisa dimanfaatkan untuk radioterapi, kedokteran nuklir dan radiodiagnostik, sedangkan di bidang industri, seperti untuk radiografi, logging serta gauging. Semenatra itu pemanfaatan di bidang penelitian dipakai untuk perunut, pertanian, peternakan, dan produksi radioisotop.
"Sejak diberlakukan pada 1997, UU Nomor 10 ini belum pernah dilakukan perubahan maupuan penyesuaian, padahal selama hampir 20 tahun telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan ketenaga nukliran, baik secara nasional maupun internasional," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, sudah saatnya dilakukan perubahan (revisi) terhadap UU Nomor 10/1997 tersebut, lebih-lebih selama 20 tahun masih banyak aspek dari siklus ketenaganukliran yang belum terakomodasi, antara lain aspek pengadaan bahan nuklir, aspek pertahanan dan keamanan, serta pemanfaatan berbagai sumber radiasi.
Proses dan pembahasan RUU Perubahan UU Nomor 10/1997 itu akan melibatkan sejumlah instansi terkait, seperti Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), sejumlah Kementerian, Perguruan Tinggi (PT), serta instansi terkait lainnya.
"Sekarang kita menggali saran dan masukan dari berbagai kalangan di wilayah Malang, termasuk Universitas Brawijaya (UB), apalagi sistem yang ada sekarang ini cukup cepat, terutama potensi ancaman kerusakan lingkungan," ucapnya.
Menyinggung kondisi keamanan pemanfaatan nuklir di bidang kesehatan, Jazi mengatakan sangat aman, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir. "Di rumah sakit (RS) sudah kami lakukan stikerisasi, kalau di RS bersangkutan ada stiker hijau berarti aman, tetapi sebaliknya jika merah, berarti RS itu tidak aman," paparnya.(*)
Bapeten: Revisi UU Ketenaganukliran Mendesak
Selasa, 7 Maret 2017 17:26 WIB