Jakarta, (Antara) - Lembaga swadaya masyarakat Center of Indonesia Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke sejumlah negara dapat menghambat peran perempuan dan pertumbuhan inklusif.
"TKW memainkan peran yang sangat penting dalam menyediakan kebutuhan pokok keluarga," kata peneliti CIPS Roffi Uddarojat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah hendaknya menyadari kontribusi penting yang telah dibuat oleh tenaga kerja wanita (TKW) dan menghapuskan rencana untuk mengakhiri proses perekrutan pembantu rumah tangga wanita pada tahun 2017.
Penerapan moratorium, lanjutnya, mengandung arti bahwa perempuan tidak diakui sebagai potensi sumber keuangan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di daerah pedesaan.
Survei yang dilakukan CIPS menemukan bahwa pendapatan yang dihasilkan oleh para TKW selama bekerja di luar negeri digunakan sebagai modal awal dalam pengembangan usaha kewirausahaan dan memampukan partisipasi yang lebih besar terhadap pengembangan ekonomi di kawasan pedesaan.
Sebanyak 90 persen dari responden dari Indramayu, Purwakarta dan Wonosobo, mengatakan bahwa pendapatan dan keterampilan akan terus berkembang seiring dengan pengalaman bekerja di luar negeri yang memampukan mereka menjadi wirausaha di desa mereka.
"Keterampilan untuk menjahit, memasak dan mengasuh anak-anak, memungkinkan mereka untuk mendirikan usaha sebagai penjahit, pemilik warung makan dan mendirikan tempat pengasuhan anak di desa tempat mereka tinggal," ucapnya.
Pada tahun 2015, lebih dari 10,5 juta dolar AS dihasilkan oleh para TKW diperuntukkan bagi pembangunan untuk hunian yang tidak layak di wilayah pedesaan seluruh Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pemerintah daerah perlu didorong untuk mengirimkan TKI formal dibandingkan dengan informal.
"Kami ingin mendorong pemda dalam mengirimkan tenaga kerja sektor formal, bukan lagi informal," kata Dede Yusuf.
Menurut dia, bedanya TKI formal dan informal adalah mereka yang formal dinilai lebih berpendidikan, bersertifikasi, serta memiliki kontrak yang jelas.
Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri bergerak di sektor informal, sehingga TKI tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam menentukan kontrak kerja.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka mengingatkan pentingnya integrasi terkait kebijakan antarlembaga pemerintahan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kerap menimpa tenaga TKI.(*)
LSM: Moratorium TKI Hambat Peran Perempuan
Jumat, 16 Desember 2016 20:04 WIB