Baru beberapa pekan lalu, dunia perkapalan kembali dibuat sedih oleh musibah tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Rafelia 2 di selat Bali dengan menewaskan sebanyak enam korban jiwa dan kerugian ratusan juta rupiah.
KMP Rafelia jenis Landing Craft Tank (LCT) yang
membawa penumpang 81 orang dan 27 kendaraan tenggelam di sekitar 250
meter dari bibir pantai Banyuwangi Beach itu tenggelam pada Jumat (4/3/2016) sekitar pukul
13.09 WIB.
membawa penumpang 81 orang dan 27 kendaraan tenggelam di sekitar 250
meter dari bibir pantai Banyuwangi Beach itu tenggelam pada Jumat (4/3/2016) sekitar pukul
13.09 WIB.
Tragedi ini menambah jumlah kesedihan dunia perkapalan nasional, sebab sebelumnya kejadian serupa juga telah terjadi dengan tenggelamnya KM Lintas Belawan saat berada di koordinat 05 46 S 112 07 E Perairan Masalembo, Rabu (17/2/2016) dini hari, meski seluruh penumpangnya selamat.
Sebelumnya lagi, KM Wihan Sejahtera juga mengalami hal serupa, yakni tenggelam di perairan Teluk Lamong, Tanjung Perak, Surabaya, setelah bertolak dari Terminal Jamrud Perak pada Senin (16/11/2015) pukul 08.00 WIB, namun bersyukur, kejadian itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Rentetan peristiwa itu terjadi dengan selang waktu yang tidak lama, hanya dalam hitungan bulan. Lantas, mengapa hal itu terjadi begitu cepat, apakah karena dunia perkapalan nasional tidak bercermin dari kejadian serupa dengan mengantisipasi agar tidak terulang kembali?, atau hanya menganggap "angin lalu" kejadian sebelumnya?.
Jawaban-jawaban secara ilmiah sudah banyak disampaikan para ahli perkapalan, bahkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pun mempunyai dugaan-dugaan penyebab kejadian itu.
Namun, apalah arti sebuah jawaban dan dugaan penyebab kecelakaan apabila tidak berdampak bisa menekan kejadian serupa, bahkan malah terjadi dan terjadi lagi.
Dalam setiap skema kehidupan, ada yang namanya proses, yakni tahapan yang dilalui satu demi satu untuk mencapai hasil atau tujuan.
Setiap proses wajib dijalani secara konsisten apabila kita menginginkan hasil atau tujuan itu menjadi baik, dan tidak boleh melanggar atau melangkahi satu proses pun.
Di dunia perkapalan atau di lingkungan transportasi lainnya pun demikian, yakni ada proses yang harus dilalui satu demi satu sebelum kapal itu berangkat atau berlayar.
Dan apabila kita menginginkan pelayaran itu berjalan baik, tentunya proses itu harus dilalui secara konsisten, tanpa melanggar atau melangkahi setiap proses atau tahapan yang ada.
Salah satunya, adalah dengan melakukan pengecekan penumpang, jumlah bobot barang, mesin kapal atau kondisi seluruhkan kapal, apa sudah memenuhi standar kelayakan pelayaran atau tidak, sehingga perlu dilakukan pengecekan. Dan itulah yang dinamakan dengan proses.
Menjalani proses secara ikhtiar atau konsisten itulah kunci jawaban utama menghasilkan pelayaran yang baik.
Tata Ulang
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi dalam sebuah tulisannya menyebutkan sistem keselamatan pelayaran nasional perlu ditata ulang, karena tidak ada check and balances di dalamnya.
Ia menjelaskan, dunia perkapalan saat ini perlu melakukan berbagai langkah untuk pembenahan agar tidak terulang dan terulang kejadian serupa.
Pertama, kata Rusdi perlu menyerahkan survei statutory seluruhnya kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia atau dikenal dengan istilah "mandatory survey" yang mencakup hull, machineries dan electricity.
Dengan pendelegasian penuh ke PT BKI akan jelas garis pertanggungjawaban para pihak terkait manakala terjadi kecelakaan kapal. Dengan kebijakan ini BUMN tersebut bisa makin mendapat 'leverage' di komunitas klasifikasi global (IACS).
Kedua, menyapih syahbandar dari Kemhub dan menjadikannya instansi independen. Dengan posisi syahbandar yang saat ini berada di bawah Ditjen Hubla jelas ia tidak akan bisa menjalankan pekerjaan dengan baik.
Ia sangat rentan "ditelepon" oleh pejabat Kemhub yang lebih tinggi posisinya agar memberikan dispensasi kepada kapal tertentu. Syahbandar hanyalah pejabat eselon II di Kemhub.
Independensi syahbandar sebetulnya memiliki akar dalam sejarah maritim nasional. Pada era 60-an, ketika suatu daerah tidak memiliki syahbandar, posisi itu bisa dirangkap oleh kepala daerah yang bersangkutan. (*)