Berbicara soal program asuransi pertanian, negeri ini tertinggal dari sejumlah negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang sudah menerapkannya beberapa tahun lalu, seperti Filipina dan Vietnam, bahkan di benua hitam, Afrika, yang juga telah menerapkannya dan berhasil mengangkat tingkat perekonomian dan kesejahteraan petani di negeri itu.
Di Indonesia, asuransi pertanian baru saja dikenalkan, bahkan sampai saat ini pun masih mencari bentuk (model) yang pas untuk diterapkan di negeri ini, meski kebijakan yang diinisiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu mengacu pada amanah UU 19/2013.
Pada tahap awal, pemerintah menunjuk PT Jasindo untuk menjalankan amanah Undang-undang tersebut. Dengan bergulirnya asuransi pertanian yang sebagian besar pembayaran preminya disubsidi pemerintah ini, petani akan banyak diuntungkan, meski dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak mengalami kendala, terutama pemahaman bagi petani.
Bahkan, hingga saat ini pun masih banyak petani yang belum paham betul terkait asuransi pertanian tersebut. Oleh karena itu, intensitas keterlibatan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dalam melakukan sosialisasi kepada petani harus terus dipacu, termasuk para penyuluh atau pendamping petani.
Sebab, banyak keuntungan yang bakal diperoleh petani dari program asuransi tersebut ketika terjadi gagal panen. Dengan premi hanya sebesar Rp30 ribu per hektare setelah disubsidi pemerintah sebesar 80 persen, petani akan mendapatkan klaim sebesar Rp6 juta per hektare.
Ketika kita berbicara pasar asuransi, pada umumnya akan muncul dua masalah utama, yakni adverse selection alias ketidakseimbangan informasi dan moral hazard. Dengan demikian, ada kemungkinan asuransi pertanian akan sulit berhasil secara optimal, apalagi pada tahap awal ini premi yang harus dibayarkan petani disubsidi pemerintah dengan persentase cukup besar.
Subsidi premi yang cukup besar memungkinkan petani tidak berusaha maksimal dalam mengelola lahan pertaniannya, bahkan memang sengaja menanam komoditasnya di lahan yang kurang produktif. Perilaku seperti itu mungkin saja muncul, karena tanpa mengeluarkan banyak usaha, seperti membeli pupuk, mengairi sawah atau menanam dengan bibit berkualitas.
Dalam konteks asuransi pertanian, permasalahan tersebut sangat mungkin terjadi. Dengan tersebarnya sektor pertanian di berbagai wilayah, mustahil bagi perusahaan asuransi untuk mendapatkan informasi utuh terkait karakteristik petani. Dan, pada akhirnya, petani yang merasa kemungkinan gagal panennya kecil akan menolak untuk membeli jasa asuransi.
Hal ini akan membebani perusahaan asuransi, yang dipenuhi oleh pembeli jasa yang high risk, sehingga perusahaan asuransi terpaksa meningkatkan premi. Dan hal ini juga akan membebani petani yang memiliki risiko tinggi, karena premi yang harus dibayar akan semakin mahal.
Sebenarnya, subsidi premi yang terlalu besar tidak efektif untuk mendorong partisipasi asuransi. Pemilik lahan lebih tertarik meningkatkan layanan, yang pada akhirnya dapat memperbesar klaim atau meningkatkan coverage dari asuransi. Dengan semakin kecilnya biaya premi yang dibayarkan petani, akan semakin menggiring pemilik lahan ke perilaku moral hazard.
Pada akhirnya asuransi pertanian yang merupakan amanat undang-undang yang harus dijalankan. Berbagai permasalahan yang akan muncul setidaknya dapat diminimalisasi dengan sejumlah kebijakan, saeperti memperluas cakupan asuransi, tidak hanya untuk petani padi, tapi juga untuk pertanian lain. Hal ini dapat memperbaiki portofolio dari perusahaan asuransi.
Selain itu, besaran subsidi perlu ditinjau ulang. Menyubsidi premi hingga 80 persen dari total premi sama saja mempersilakan munculnya moral hazard. Sebagai perbandingan, pemerintah AS saja 'hanya' menanggung 60 persen dari total premi, itu pun sudah menyebabkan munculnya perilaku moral hazard. Hal tersebut perlu dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia ke depannya.
Permasalahan tersebut semakin besar karena berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh OJK, yang mendapatkan asuransi hanya lahan pertanian padi, sehingga memperkecil cakupan portofolio dari perusahaan asuransi, yang pada akhirnya memperbesar kalkulasi risiko (karena hanya bergantung pada satu produk). Sedangkan di sejumlah negara, seperti di Amerika Serikat, asuransi pertanian mencakup berbagai produk pertanian seperti jagung, gandum, dan lainnya.
Selain subsidi premi yang cukup besar, petani juga masih "dimanja" dengan asuransi gratis dari salah satu perusahaan asuransi, yakni AXA Mandiri. Meski jumlah petani yang dikover masih sebatas di satu kluster, yakni di Kecamatan Karangploso, Kabuapten Malang, paling tidak membuka peluang jaminan bagi petani untuk tidak mengalami kerugian lebih besar ketika terjadi gagal panen.
Berbeda dengan asuransi pertanian yang ditangani PT Jasindo yang preminya disbsidi pemerintah sebesar 80 persen, asuransi pertanian yang digagas AXA Mandiri bagi seribu petani itu benar-benar gratis karena menggunakan dana CSR. Hanya saja, lahan pertanian yang dikover masih sebatas lahan yang berada di daerah yang memiliki curah hujan tinggi (hujan berlebih).
Selain itu, klaim yang diberikan ketika terjadi gagal panen, juga bukan berbentuk uang, melainkan berbentuk kebutuhan petani, seperti pupuk, bibit dan peralatan pertanian. Semakin tinggi curah hujan di satu daerah pertanian, semakin besar pula klaim yang diberikan ketika terjadi gagal panen.
Namun, apakah asuransi peratnian ini sudah menjawab persoalan yang dihadapi petani dan perusahaan yang bergerak di bidang industri asuransi. ternyata belum, masih perlu regulasi yang lebih jelas dan pas untuk diterapkan di Indonesia agar petani dan industri jasa asuransi ada keberimbangan. Bahkan, industri asuransi juga menunggu regulasi yang tepat agar ke depan petani lebih akrab dengan asuransi.
Buktinya, sampai saat ini lahan yang terjangkau asuransi pertanian masih sangat minim, padahal pemerintah menargetkan sekitar satu juta hektare sudah terjangkau asuransi pada tahun ini. (*)