Surabaya (Antara Jatim) - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Syafii Maarif menegaskan bahwa
gerakan ISIS sebenarnya hanya "alat" yang digunakan negara lain untuk
mengobok-obok negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Islam.
"Tetapi, hal itu terjadi karena kesalahan kita sendiri, sebab kita
tidak siap dengan perbedaan, sehingga kita mudah berkelahi dan hal itu
yang dimanfaatkan (sebagai alat) orang lain," katanya di Gedung PW
Muhammadiyah Jatim, Surabaya, Jumat.
Dalam pengajian rutin bertajuk "Merawat Kebhinnekaan untuk
Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin" itu, ia menjelaskan kalangan
radikal ada yang beralasan bahwa mereka tidak terima dengan umat Islam
yang dihina di Palestina dan sebagainya.
"Itu bukan faktor penyebab, karena para radikalis itu bukan
memerangi Israel, melainkan justru membantai sesama Islam yang kebetulan
menjadi oposisi di Mesir, Irak, Syiria, bahkan sampai sekarang tak
selesai dan korbannya sesama Muslim," katanya.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 itu, umat
Islam harus kembali kepada Al Quran, karena Al Quran itu ternyata sangat
toleran dan mudah menerima perbedaan dibandingkan dengan umat Islam itu
sendiri.
"Surah Yunus menyebut jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi, seluruhnya, maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya," katanya.
Artinya, kata dia, Tuhan itu tidak tersinggung dan bahkan
menghendaki pluralitas atau kebhinnekaan (perbedaan), karena itu tidak
boleh ada upaya memaksakan agama, sebab ketidaksiapan menerima perbedaan
akan justru menjadi "alat" pihak lain untuk mempermainkan.
"Kalau ada umat Islam yang suka kekerasan berarti dia tidak `iqra`
pada Al Quran. Warga Muhammadiyah juga belum siap berbeda, padahal
pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan memiliki dokumen Muhammadiyah tanpa
azas, tapi warga Muhammadiyah sekarang berdebat soal azas, apakah azas
Pancasila atau azas Islam," katanya.
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UGM Yogyakarta itu mengatakan
perbedaan, kebhinekaan, atau pluralitas itu penting dan diajarkan Islam,
namun perbedaan itu bukan untuk memicu konflik, melainkan untuk
memahami.
"Memahami itu bukan meyakini lho, karena banyak orang yang salah
paham terhadap pluralitas, karena pluralitas dinilai akan menyamakan
agama atau ajaran agama, padahal pluralitas itu sebatas menerima dan
memahami, tidak lebih. Itulah Rahmatan lil Alamin," katanya.
Senada dengan itu, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Ahmad
Jainuri menilai kebhinnekaan atau pluralitas itu masih sulit diterima
oleh sebagian warga Muhammadiyah, karena pluralitas dikira menyamakan
semua agama, padahal hanya memahami.
"Kita punya semangat Tunggal Ika, sehingga kita hanya fokus pada
persoalan internal dan kurang sosialisasi dengan warga non-Muhammadiyah,
yang berbeda dengan warga NU yang mirip diaspora yang ada dimana-mana,
meski ada kesan ada posisi yang dipaksakan," katanya.
Dalam acara itu, Prof Jainuri menyitir Surah Al Maidah ayat 48 dan
Al Hujurat ayat 13 yang mempertegas bahwa manusia memang diciptakan
berbeda-beda untuk satu tujuan yakni saling memahami.
"Ada dua cara untuk merawat potensi berbeda itu yakni dialog dan
memahami universalitas Islam. Dialog itu untuk menunjukkan perbedaan,
tapi tidak boleh main klaim, sedangkan Universalitas Islam itu harus
dipahami, sebab Islam itu ajaran untuk rahmat bagi semesta, berkembang
sepanjang masa," katanya. (*)
Syafii Maarif: ISIS Hanya "Alat" Obok-Obok Islam
Jumat, 19 Februari 2016 20:16 WIB
Itu bukan faktor penyebab, karena para radikalis itu bukan memerangi Israel, melainkan justru membantai sesama Islam yang kebetulan menjadi oposisi di Mesir, Irak, Syiria, bahkan sampai sekarang tak selesai dan korbannya sesama Muslim