Surabaya, (Antara Jatim) - Pada 19 Desember 2015 arus pelayaran Indonesia kembali berduka, karena tenggelamnya Kapal Motor (KM) Marina Baru 2B di Teluk Bone, Sulawesi Selatan yang membuat 66 orang meninggal, 40 orang selamat, sisanya belum ditemukan dari 106 penumpang.
Sebelumnya, di Jawa Timur musibah serupa juga terjadi berurutan di tahun 2015 seperti Kapal barang yang tenggelam di utara Pulau Masalembu, Sumenep dan bocornya lambung Kapal Motor (KM) Srimunah di Pelabuhan Rakyat Tanjung Perak akibat menabrak dinding dermaga yang membuat kapal karam dan berhenti berlayar.
Selain itu, musibah tenggelamnya KM Wihan Sejahtera di Teluk Lamong, Surabaya yang membawa lebih dari 100 penumpang juga menjadi catatan pelayaran Indonesia selama 2015. Alhamdulillah, tenggelamnya kapal itu tercatat tidak membawa korban meninggal.
Rentetan musibah pelayaran itu menurut Direktur "The National Maritime Institute" (Namarin) Siswanto Rusdi dalam beberapa artikelnya disebutkan terjadi karena buruknya manajemen keselamatan pelayaran yang ada di beberapa pelabuhan Indonesia.
"Belum lama ini tepatnya pada 16 November 2015, KM Wihan Sejahtera tenggelam di Teluk Lamong, Surabaya. Dan kita terhenyak lagi dengan kecelakaan KM Marina di Teluk Bone. Kapal itu tenggelam karena buruknya manajemen keselamatan pelayaran nasional," ucapnya.
Menurut dia, tenggelamnya KM Wihan Sejahtera yang mempunyai panjang 140 GT berangkat dari Surabaya menuju Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur dimungkinkan terjadi karena dua faktor.
Pertama, kata Siswanto, karena kurangnya manajemen keselamatan pelayaran yang saat ini berlaku, dan kedua murni kelalaian Anak Buah Kapal (ABK) atau perusahaan tempat mereka bekerja.
Meski demikian, Siswanto menjelaskan kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia juga bukan hanya semata-mata disebabkan kelalaian ABK dan perusahaan mereka yang cenderung lebih mencari keuntungan dengan mengabaikan aspek keselamatan pelayaran.
Namun, pemerintah selaku regulator juga memiliki andil dalam sistem keselamatan pelayaran dan pengelolaannya yang dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan.
Pada level operasional, ucap Siswanto, keselamatan pelayaran dijalankan Syahbandar, yang bekerja di pelabuhan BUMN maupun swasta, atau dikenal dengan istilah terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS).
Syahbandar, secara administratif berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, dan berwujud dalam bentuk pengawasan pembangunan baru kapal berbendera Indonesia di galangan dalam negeri maupun di delapan penjuru mata angin.
Oleh karena itu sebagai solusi, Siswanto mengusulkan perlu dilakukan penataan ulang arus pelayaran, karena salah satu penyebab kecelakan bisa akibat kurangnya "check and balances" atau pemeriksaan secara tegas dan berimbang dalam sistem pelayaran yang ada pada level operasional.
"Penataan ulang manajemen keselamatan pelayaran yang saya usulkan mencakup beberapa hal. Pertama, menyerahkan `survei statutory` seluruhnya kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia, sehingga akan jelas garis pertanggungjawaban para pihak terkait manakala terjadi kecelakaan kapal," imbuhnya.
Kedua, menjadikan Syahbandar sebagai instansi yang independen atau berdiri diluar kementerian perhubungan, sebab dikhawatirkan rentan adanya praktek atau "ditelepon" pejabat Kemhub yang lebih tinggi posisinya untuk memberikan dispensasi kepada kapal tertentu, karena posisi Syahbandar hanya pejabat eselon II a di Kemhub.
"Independensi syahbandar sebetulnya memiliki akar dalam sejarah maritim nasional. Pada era 60-an, ketika suatu daerah tidak memiliki Syahbandar, posisi itu bisa dirangkap oleh kepala daerah yang bersangkutan," ungkapnya.
Bertindak Tegas
Sementara itu sebagai upaya antisipasi meminimalisasi agar tidak terjadi lagi peristiwa tenggelamnya kapal, Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya mulai berupaya bertindak tegas.
Salah satunya, memeriksa secara ketat setiap angkutan atau manifest kapal yang akan berangkat, termasuk manifest jumlah penumpang, sebab pada saat kejadian tenggelamnya KM Wihan Sejahtera, jumlah manifest penumpang yang terdata simpang siur.
Kepala Bidang (Kabid) Keselamatan Berlayar Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya Guritno mengatakan upaya nyata tindakan tegas yang pernah dilakukan instansinya adalah menurunkan paksa lima truk dan satu unit mini bus dari kapal, karena melebihi muatan yang ditentukan dan tidak sesuai prosedur pelayaran beberapa pekan lalu.
"Lima truk kami turunkan paksa, tiga di antaranya berukuran besar dengan muatan melebihi kapasitas kapal, ditambah satu mini bus yang diturunkan paksa pada Minggu (20/12)," paparnya.
Ia mengatakan, truk angkutan itu diturunkan paksa karena melebihi muatan dan untuk memberi pemahaman mengenai kepatuhan keselamatan dan keamanan pelayaran.
"Rencananya, tiga truk dan satu mini bus tersebut akan menumpangi KMP Kirana IX tujuan Makassar, Sulawesi Selatan, Sementara dua truk lainnya diturunkan paksa hari ini dari KMP Tunas Wisesa di Dermaga Jamrud Selatan dengan tujuan Banjarmasin, Kalimantan Selatan," ucapnya.
Guritno yakin, dengan adanya tindakan tegas dan kepatuhan semua pengguna jasa kepelabuhanan akan merasa aman, dan bisa menekan terjadinya musibah tenggelamnya kapal.
Selain itu, sebagai upaya tambahan Guritno mengaku Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya juga berencana menertibkan sejumlah izin kapal, termasuk mencabut izin PT Trimitra Samudra jika terbukti bersalah dalam manifest penumpang KM Wihan Sejahtera.(*)