Tumpukan kotak minuman sari apel itu tersusun rapi bertingkat di salah satu sudut etalase toko cenderamata (buah tangan atau oleh-oleh) Kota Batu, Jawa Timur.
Tumpukan itu, terlihat berdampingan dengan makanan ringan lainnya yang juga merupakan buah tangan khas kota setempat.
Para pembeli silih berganti datang dan pergi membawa satu hingga dua kotak atau lebih oleh-oleh dari toko itu, untuk diberikan kepada sanak saudara sebagai "hadiah" wisata dari kota yang dikenal dengan sebutan "Kota Apel".
Roda aktivitas ekonomi yang terjadi antara Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) dengan para pembeli di Kota Batu tersebut, juga terjadi di beberapa daerah lain di Jawa Timur.
Aktivitas ekonomi di lingkungan kecil itu tanpa disadari membawa provinsi yang dipimpin Pakdhe Karwo ini memperoleh beberapa penghargaan, karena mendapat pengakuan ekonominya mampu bertahan ditengah gempuran ekonomi global.
Bahkan, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), pergerakan ekonomi yang terjadi di Jatim tidak setinggi daerah lain, dan dianggap lebih baik dibandingkan dengan ekonomi nasional.
Sesuai data BPS, keberadaan industri UMKM Jawa Timur pada triwulan III 2015 tidak terpengaruhi gejolak ekonomi global, bahkan mengalami pertumbuhan 0,96 persen dibanding triwulan sebelumnya, atau naik 9,51 dibanding tahun 2014.
Hal ini disebabkan industri UMKM di Jatim, baik kecil atau besar mempunyai daya tahan tersendiri, dan merata dalam menghadapi setiap gejolak ekonomi, artinya industri UMKM sangat kuat.
Kekuatan ini, juga didukung penuh Pemprov Jatim dengan membuat sistem bernama "Jatimnomics", yakni jaringan perdagangan dengan berbagai provinsi yang ada di Indonesia, atau menyebarluaskan produk UMKM secara internal dengan kerja sama seluruh provinsi di Indonesia, tanpa mengutamakan ekspor atau impor terlebih dahulu, dengan prioritas memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Konsep ini terbukti mampu melepaskan ketergantungan mata uang asing di Jatim terhadap rupiah.
Tidak hanya itu, hal ini juga membuat ekonomi tumbuh tapi gini-ratio (tingkat kesenjangan) pun rendah.
Sesuai data Pemprov Jatim, konsep ini membuat pertumbuhan Jatim mencapai 5,86 persen pada tahun 2014 dan 5,44 persen pada tahun 2015, tapi gini-rationya hanya 0,37 persen di tengah ekonomi yang tumbuh.
Prioritas pemenuhan pasar dalam negeri inilah yang seharusnya juga menjadi rujukan nasional, sehingga secara ekonomi Indonesia tidak terlalu mengalami ketergantungan kepada asing.
Ketergantungan dan mengandalkan impor sebagai salah satu fokus perdagangan nasional, tanpa melihat bahwa negeri sendiri mampu memenuhi, membuat pemerintah pusat seolah kehilangan jati diri di hadapan asing.
Impor kita akui memang boleh, tapi selayaknyalah wajib melihat dulu dan percaya pasar dalam negeri sanggup memenuhi semua kebutuhan penduduknya.
Karena di sinilah surga dunia, semua kebutuhan ada, Tuhan menciptakan semua potensi ada dalam negeri ini, sekarang tinggal bagaimana pejabatnya bersyukur dan mau memanfaatkan potensi itu dengan kebijakan yang bijak dan memihak kepentingan dalam negeri, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan.
Seperti salah satu lirik lagi dari band Koes Plus, "Tongkat, kayu dan batu pun bisa jadi tanaman"..
Mudah-mudahan, ekonomi kita di tahun 2016 lebih kuat dengan kepercayaan diri memanfaatkan potensi dalam negeri, sehingga tidak lagi tergantung pada asing yang terbukti hanya membodohi bangsa ini.. (*)