Surabaya (Antara Jatim) - Litbang Front Nahdliyin, Roy Murtadho, menilai Pembantaian 1965 merupakan peristiwa yang direkayasa oleh kapitalis global untuk "menjajah" Indonesia secara modern.
"Sejumlah algojo peristiwa itu yang kebetulan dari kalangan nahdliyin dari Mojokerto, Jombang, dan Ponorogo yang kami wawancarai menyebut ada 'perintah' militer," katanya di Surabaya, Rabu.
Dalam bedah film "Jembatan Bacem" serta diskusi bertajuk "IPT 1965 dan Pelanggaran HAM Masa Lalu" di FIB Unair Surabaya, ia menjelaskan saksi M dari Jombang bahkan menyebut kalau dirinya tidak membunuh, maka dirinya yang akan dibunuh.
"Itu pilihan yang sifatnya paksaan. Hal yang sama juga terjadi dengan saksi dari Ponorogo yang menyebut dirinya bersama rekan-rekannya melakukan pembantaian di hutan dengan ditunggui sekelompok militer," katanya.
Tidak hanya itu, sebuah buku yang ditulis tokoh NU yang juga peneliti sejarah asal Malang menyatakan para algojo dari kalangan nahdliyin umumnya mengerti fiqih (hukum agama).
"Mereka biasa mengaji, karena itu mereka tahu hukum agama, karena apa yang disebutkan dengan pembantaian itu tidak kultural atau alami, tapi semuanya ada yang merekayasa," katanya.
Menurut redaktur islambergerak.com itu, PKI mungkin saja bersalah, bahkan DN Aidit juga bersalah karena bergerak sendiri, namun tidak lantas semua orang dituduh komunis dan dibantai.
"Kalau cap PKI atau komunis itu dituduhkan secara tidak waras, maka ada hasil penelitian dari asing yang menyimpulkan ada konflik ideologis antara kapitalis dan sosialis dibalik semua itu," katanya.
Dalam pertarungan ideologis itu, kelompok kapitalis berada "di atas angin" dengan memanfaatkan kalangan militer dan penguasa untuk "menjajah" secara modern dengan memainkan regulasi, seperti kontrak karya dengan industri asing.
Senada dengan itu, dosen Fakultas Hukum Unair Surabaya Dr Herlambang Wiratraman yang juga Ketua Serikat Pengajar HAM Indonesia itu menegaskan bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965, sebenarnya tidak hanya terjadi di Jombang.
"Kalau film pembantaian di bawah Jembatan Bacem itu terjadi di Solo, maka tidak jauh dari sini atau tepatnya di Jembatan Fly Over di Buduran, Sidoarjo juga terjadi pembantaian terhadap tujuh orang karena tak mau menjual tanahnya," katanya.
Sementara itu, dosen ilmu sejarah FIB Unair Arya Wanda Wirayudha memaparkan hasil tentang konflik tanah di Surabaya pada kurun 1959-1967 yang ditandai kepemilikan sertifikasi dengan status berbeda antara palsu dan asli, bahkan ada pematokan tanah oleh PKI/BTI yang mendapat perlawanan dari kalangan NU/Ansor.
"Ada beberapa kondisi yang menyebabkan konflik itu, yakni kesulitan perekonomian, ketidakjelasan atas pengaturan tanah, kelambanan pelaksanaan land reform, perbedaan persepsi tentang penguasaan tanah, dan upaya menuntut keadilan atas penguasaan dan kepemilikan tanah," katanya. (*)
Front Nahdliyyin: Peristiwa 1965 Direkayasa Kapitalis Global
Kamis, 26 November 2015 5:10 WIB
Sejumlah algojo peristiwa itu yang kebetulan dari kalangan nahdliyin dari Mojokerto, Jombang, dan Ponorogo yang kami wawancarai menyebut ada 'perintah' militer