Hiruk pikuk peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 yang puncak peringatannya dipusatkan di Batam pada 9 Februari dengan mengusung tema besar "Pers Sehat, Bangsa Sehat" itu mulai terasa gebyarnya di kalangan media. Berbagai kegiatan sebagai rangkaian HPN mulai terasa, termasuk di daerah. Namun, di tengah euforia gebyar HPN yang dirangkai dengan berbagai kegiatan itu, sudahkah para pemilik media memikirkan nasib dan tingkat kesejahteraan seorang wartawan sebagai pilar pengetahuan bagi masyarakat luas, sebab seringkali kita dengar keluhan dan protes terbuka awak media yang menuntut gaji (pendapatan) minimal sesuai kebutuhan hidup layak (KHL). Wartawan, bisa "menekan" pengusaha dan memperjuangkan hak-hak buruh melalui tulisannya, sementara nasib dan hak-hak wartawan itu apakah sudah ada yang memperjuangkannya?. Profesi wartawan yang bekerja tidak mengenal medan, tidak mengenal waktu demi memperoleh informasi dan ditularkan pada publik, sudahkah terlindungi hak-haknya?. Jika hak-hak dasar profesi wartawan, khususnya yang di lapangan, sudah terpenuhi, pasti tidak akan muncul unjuk rasa, protes dan tuntutan-tuntutan lain yang bersentuhan dengan kesejahteraanya. Faktanya, masih sering kita temui hal-hal demikian, bahkan masih ada seorang wartawan yang tidak menerima haknya hingga berbulan-bulan. Apakah kondisi ini menjadi sebuah potret sebagian perusahaan media di Tanah Air?. Kondisi ini tak terbantahkan dengan pernyataan Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) M Ridho Eisy belum lama ini yang mengatakan 20 persen dari sekitar 500 anggota serikat itu belum mampu menggaji wartawannya sesuai dengan upah minimum (UMK) daerah masing-masing. Menurut M Ridho, rata-rata perusahaan yang tidak mampu membayar gaji sesuai upah minimun adalah media massa kecil yang bukan merupakan anggota grup besar dan menengah. Kendala yang dihadapi mereka rata-rata belum mampu menjalankan bisnis dengan media massa yang didirikan, sehingga tidak mampu membayar upah secara layak. Di luar anggota SPS, ada ribuan media massa baik cetak, elektronik, ataupun online yang belum mampu membayar gaji wartawan sesuai upah minimun, bahkan banyak yang belum sesuai ketentuan pendirian media massa. Meski demikian, SPS hanya akan memberikan teguran ataupun pembinaan pada media massa yang menjadi anggota SPS terlebih dahulu, sejumlah 500 itu. Meski banyak wartawan digaji lebih rendah dari standar UMK, sebagai jurnalis tetap dituntut bekerja secara profesional dengan tanggung jawab yang sangat besar. Rendahnya gaji sebagian wartawan itu dikhawatirkan memunculkan jurnalis yang pragmatis, rentan terhadap suap dan tidak independen terhadap kekuatan di luar profesinya. Cukup ironis memang penghargaan terhadap jurnalis saat ini. Jurnalis yang selalu dengan semangat menulis perjuangan buruh yang menuntut kenaikan upah minimum, nyatanya upah jurnalis lebih minimalis, apalagi jurnalis yang ada di daerah yang berstatus kontributor. Mereka tanpa mendapatkan jangkauan perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan, ongkos transportasi, uang makan, tunjangan prestasi, serta fasilitas pendukung kerja, apalagi bonus, jauh!. Memang tidak semua perusahaan media memperlakukan jurnalisnya dengan tidak layak dan tanpa fasilitas. Ada perusahaan yang memberikan gaji di atas UMK dan memenuhi seluruh kebutuhan jurnalisnya, namun jumlahnya tidak banyak. Melihat kondisi jurnalis yang masih memprihatinkan itu, beberapa waktu lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengusulkan gaji minimal bagi wartawan yang bertugas di Jakarta sebesar Rp5,7 juta. Berdasarkan survei AJI terhadap 192 jurnalis dari 48 media di tujuh kota, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Solo, dan Palu, masih ditemukan jurnalis yang digaji di bawah standar UMK. Bahkan, AJI menemukan realitas di Bali, jurnalis hanya digaji antara Rp1 juta hingga Rp2 juta. Gaji tersebut di luar tunjangan prestasi, bonus tahunan dan asuransi, namun ada sejumlah media, gaji tersebut adalah gaji murni tanpa tunjangan apapun. Padahal, tuntutan perusahaan terhadap jurnalisnya semakin tinggi. Jurnalis juga dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian, namun perusahaan media cenderung tidak mau peduli, yang penting kemampuan jurnalisnya meningkat. Pelatihan atau workshop secara berkala bagi jurnalis, terutama yang di daerah juga sangat jarang dilakukan, apalagi untuk mengadakan pelatihan perusahaan media harus mengeluarkan sejumlah dana. Untungnya, banyak mitra kerja para jurnalis di daerah banyak yang mau membantu dan mendukung berbagai kegiatan jurnalis dalam kapasitas meningkatkan kualitasnya melalui berbagai pelatihan sesuai pos masing-masing, seperti perekonomian, pendidikan, lingkungan maupun seni dan budaya. Selain itu, organisasi kewartawanan, seperti AJI, Perwatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga memfasilitasi kegiatan yang mampu meningkatkan kualitas dan pengetahuan wartawan. PWI misalnya, melalui program-program yang dituangkan dalam Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI). Ada pula, Safari Jurnalistik yang memberikan kesempatan bagi jurnalis untuk menimba ilmu yang berkaitan dengan dunia jurnalistik. Bahkan, untuk mengukur kemampuan dan profesionalisme seorang wartawan diadakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), namun apakah wartawan yang sudah mengantongi kartu UKW itu tingkat kesejahteraannya secara otomatis meningkat, ternyata belum sampai kesana, meski posisi tawar dengan mengantongi kartu UKW pada awalnya diharapkan mampu memberikan nilai lebih dalam peningkatan kesejahteraan masing-masing jurnalis. Alangkah indahnya, bila ada pembeda gaji untuk wartawan yang sudah mengikuti UKW dan tidak, sebab kompetensi itu bukan seperti membeli kacang goreng. Kita semua berharap, seiring dengan semakin meningkatnya kualitas, kemampuan, keahlian dan profesionalisme seorang jurnalis, maka tingkat kesejahteraan mereka juga meningkat. Dengan kesejahteraan itu, maka profesi wartawan menjadi profesi yang membanggakan dan tidak ada lagi istilah "wartawan abal-abal dan wartawan bodrex". Selamat Hari Pers Nasional...! (*).
Sudahkah Wartawan Kita Sejahtera?
Minggu, 8 Februari 2015 6:24 WIB