Perekonomian Jalan di Tempat bukan Sebuah Akhir
Senin, 8 Desember 2014 13:42 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Desember tahun 2015 menjadi awal diberlakukannya perjanjian kerja sama perdagangan antarnegara di kawasan Asia Tenggara dengan nama masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) atau sering disebut "ASEAN Economic Community (AEC)".
Sejumlah pendapat baik positif maupun negatif bermunculan dari masyarakat awam hingga pengamat ekonomi tatkala menanggapi bagaimana kelak dampak MEA 2015 terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi sampai sekarang ada beberapa faktor pendukung ekonomi nasional seolah belum siap menyongsong MEA 2015.
Salah satunya di Jawa Timur, sebagai daerah yang digadang-gadang mempunyai potensi perekonomian terbesar kedua di Tanah Air setelah Jakarta. Akan tetapi, dari kondisi perekonomian yang terlihat di provinsi tersebut terutama jelang akhir tahun 2014 justru menunjukkan situasi di luar dugaan pasar. Faktor penyebabnya, perekonomian Jatim mempertontonkan grafik yang kian turun atau dengan kata lain mengalami perlambatan.
Hal itu tampak dari kekhawatiran Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) ketika kebijakan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah diketok palu oleh pemerintah. Penaikan harga komoditas tersebut yang dilakukan saat harga minyak dunia anjlok memiliki pengaruh besar akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Jatim pada masa mendatang.
Akibatnya, dari perkiraan awal pertumbuhan ekonomi Jatim sebesar 5,91 persen pada tahun 2014 maka hingga akhir tahun ini pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut mengalami revisi. Pemprov Jatimpun tidak segan mempublikasikan seberapa besar perubahan proyeksinya yakni hanya tercapai di kisaran 5,7-5,8 persen.
Meski demikian, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Hadi Prasetyo, ketika ditemui dalam Rapat Koordinasi Wilayah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jatim di Surabaya, tetap menunjukkan keoptimisannya.
Walau pertumbuhan ekonomi Jatim diperkirakan di bawah target pertumbuhan ekonomi sebelumnya, Hadi meyakini, angka tersebut masih akan lebih tinggi dibandingkan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, dengan pengurangan subsidi BBM maka semua kegiatan yang menggunakan komoditas itu sudah dipastikan akan menaikkan harga.
Lalu, hal itu lantas memunculkan dampak berkelanjutan seperti terjadi penurunan produktivitas sektor riil yang mengakibatkan produksi turun. Penurunan produksi menyebabkan pendapatan tenaga kerja juga menurun. Akhirnya, lambat-laun daya beli masyarakat kian rendah. Sementara, selama ini sektor penggerak ekonomi Jatim masih didominasi dari sektor konsumsi.
Oleh sebab itu, Pemprov Jatim melakukan serangkaian upaya untuk mengantisipasi kondisi tersebut. Di samping tiga kartu sakti yang dikeluarkan pemerintah pusat, Jatim juga sudah memiliki jaring pengaman sosial seperti Jamkesda dan Jalinkesra.
Selain itu, apabila biasanya beras untuk rakyat miskin (raskin) hanya diberikan 13 kali dalam satu tahun maka Pemprov Jatim mempunyai terobosan untuk tahun ini ditambah dua kali hingga menjadi 15 kali dalam satu tahun. Bahkan, pemerintah daerah itu juga sedang membahas lebih lanjut tentang pemberian subsidi ongkos angkut seperti yang biasa dilakukannya saat Lebaran atau ketika harga komoditas bahan pokok meningkat.
Sementara, momentum penaikan harga BBM subsidi yang berdekatan dengan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota (UMK) atau yang dikenal upah minimum pekerja (UMP) dirasakan Pemprov Jatim memang menyulitkan sejumlah pihak.
Salah satunya pengusaha yang selama ini menanamkan investasinya secara besar-besaran di Jatim. Dengan kenaikan UMK bisa menyebabkan investasi terutama industri padat karya mengalami perlambatan.
"Kalau investasi padat modal ya tidak terpengaruh. Tapi lama-kelamaan di sektor padat modal akhirnya tidak menyerap tenaga kerja dan ini bukan solusi mengurangi angka pengangguran," tukas Hadi.
Sinergi Pengusaha
Menanggapi perekonomian Jatim yang laksana jalan di tempat, Wakil Gubernur Jawa Timur (Wagub Jatim), Saifullah Yusuf meminta seluruh pengusaha di Jatim terutama anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim menyiasati perlambatan ekonomi agar tidak pada akhir tahun 2014.
"Perlambatan ekonomi ini memang tidak bisa dihindari oleh masyarakat di Jatim. Apalagi setelah kebijakan penaikan harga BBM subsidi untuk solar dan premium diberlakukan pertengahan November lalu," kata Wagub Jatim Saifullah Yusuf, ditemui saat menutup Musyawarah Provinsi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, di Surabaya.
Walau begitu, pria yang akrab disapa Gus Ipul itu memiliki keoptimisan besar bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Gubernur Jatim Soekarwo tidak akan tinggal diam dengan perlambatan ekonomi tersebut.
Hal itu terlihat dari kesiapan Pemprov Jatim memberikan paket khusus untuk menyiasati perlambatan ekonomi di provinsi ini. Oleh karena itu peran pengusaha di Jatim sangat diperlukan untuk membantu pemerintah daerah.
Ia mengimbau, seluruh pengusaha di bawah naungan organisasi seperti Kadin Jatim itu bisa memaksimalkan usahanya. Dengan cara itu diyakini target pertumbuhan ekonomi Jatim tahun ini terpenuhi dan diharapkan bisa melebihi target pertumbuhan ekonomi 2014 mengingat tahun depan sudah memasuki kerja sama perdagangan MEA 2015.
Bagi pengusaha, saat ini kalangan tersebut sudah waktunya memperkuat pasar dalam negeri dan meningkatkan penguasaan pasarnya di luar negeri. Untuk mengawali targetnya maka idealnya sebelum MEA diberlakukan, pengusaha sudah menguasai pasar perdagangan ASEAN. Berikutnya mereka juga perlu mengambil untung dari MEA tahun depan, sehingga bisa menjadi tuan di rumah sendiri dan tidak terlindas akibat terkena dampak buruk MEA.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Pusat Harmonisasi Kebijakan Perdagangan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, optimistis kebijakan pemerintah melalui MEA tahun 2015 menjadi peluang Indonesia untuk meningkatkan perekonomian nasional.
"Kerja sama perdagangan melalui MEA 2015 bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Jangan kemudian membayangkan, pada saat membuka mata pada tanggal 1 Januari 2016 penjual bakso di depan rumah dari Myanmar atau tukang cukur dari Thailand," ucap Djatmiko, ditemui saat acara Seminar Nasional "Peran Serta Strategi Kadin Jatim dan Provinsi Jatim dalam pelaksanaan AEC 2015" dalam rangka Musyawarah Provinsi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim.
Ia menyatakan, akan lebih indah agar MEA 2015 dapat ditelaah tidak hanya dari aspek liberalisasi perdagangan. Apalagi ada aspek yang jauh lebih besar lagi dari aspek tersebut yaitu aspek fasilitasi dan reformasi ekonomi, di mana kedua aspek ini mencapai 75-80 persen dari pemberlakuan MEA.
Sementara, selama ini masyarakat telah anggapan yang bisa dikatakan salah kaprah dengan diberlakukannya MEA 2015. Pada umumnya mereka menilai dengan diberlakukannya MEA maka seluruhnya akan sangat terbuka baik sektor jasa, perdagangan hingga investasi.
Di sisi lain, pemberlakuan kebijakan tersebut tidak serta merta menghilangkan aturan-aturan yang selama ini sudah diberlakukan. MEA 2015 tetap mewajibkan barang impor untuk memenuhi seluruh aturan dan kebijakan yang telah diberlakukan di antaranya prosedur impor, pembebasan bea masuk, kesesuaian standar dan persyaratan teknis (SNI). Kemudian, labelling, sertifikasi, kelaiakan produk, dan karantina.
Di samping itu, aturan tentang SNI masih saja tetap diberlakukan. Penerapan aturan SNI ini juga lebih banyak diberlakukan pada produk yang masih belum diterapkan. Untuk jenis kualifikasi profesi, hanya ada delapan profesi yang telah disepakati pengaturan saling pengakuan atau "Mutual Recognition Arrangements" (MRAs) yaitu jasa teknik rekayasa, jasa keperawatan, arsitektur, pemetaan, profesi pariwisata, akuntansi, jasa medis dan dokter gigi. Meski begitu, ada enam kriteria yang disediakan dalam kerangka MRAs.
"Seperti kriteria pendidikan, ujian, registrasi dan pemberian lisensi, pengalaman pendidikan profesional lanjutan dan kode etik. Kami harap dengan diberlakukannya MEA maka Indonesia harus bisa menjadi tuan di rumahnya sendiri dan menjadi tamu di berbagai negara," paparnya.
Tantangan 2015
Melihat adanya indikasi perlambatan ekonomi di Jatim, Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IV Jatim, Soekowardojo,menyebutkan, bagaimana kondisi perekonomian Jawa Timur, nasional, serta tantangan perekonomian yang dihadapi saat ini.
Perekonomian Indonesia pada triwulan III/2014 kembali tumbuh melambat sebesar 5,01 persen (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II/2014 yang sebesar 5,12 persen (yoy). Penyebabnya, dikarenakan melambatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan Jakarta karena menurunnya kinerja sektor konstruksi.
Meski demikian, terdapat tanda-tanda awal pemulihan ekonomi nasional sebagaimana tercermin pada perekonomian Jawa yang tumbuh relatif stabil dan perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang tumbuh lebih baik dari perkiraan. Untuk di Jawa Timur perekonomian tumbuh sebesar 5,9 persen (yoy) atau lebih rendah dari pola umumnya. Hal itu disebabkan melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga.
Sementara dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi terutama didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, keuangan dan jasa. Pada masa mendatang terdapat beberapa risiko jangka pendek yang mempengaruhi prospek perekonomian yang harus diantisipasi seperti Risiko Global (perlambatan ekonomi Tiongkok dan normalisasi The Fed).
Kemudian, Risiko "Current Account Deficit" (harga komoditas ekspor menurun dan external demand melemah), Risiko Fiskal (penyerapan anggaran rendah dan reformasi subsidi terkendala), serta Risiko Inflasi yang dipicu kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan UMP 2015 dan penurunan produksi pangan menurun.
Dari sisi inflasi, sampai dengan Oktober 2014 inflasi Jawa Timur masih relatif terkendali di kisaran 4 persen + 1 persen.
Namun, penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.000/liter yang efektif berlaku sejak 18 November 2014 juga diproyeksi mendorong tingkat inflasi. Kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2014 ini diperkirakan akan meningkatkan inflasi di kisaran 2,1 - 2,3 persen dengan dampak kenaikan terbesar di Jember. Dengan begitu, pada akhir tahun 2014 inflasi Jatim diproyeksi berada di kisaran 7-7,3 persen.
Penyesuaian harga BBM ini selayaknya dapat disikapi dengan baik sehingga dapat mengendalikan ekspektasi inflasi masyarakat. Kenaikan harga BBM bukanlah tanpa sebab.
Beberapa urgensi yang mendasari penyesuaian harga BBM bersubsidi di antaranya perlu pengelolaan keuangan negara yang lebih sehat. Lalu, dapat dialokasikannya anggaran subsidi energi kepada kegiatan yang lebih produktif, dapat mengurangi defisit fiskal, dapat meminimalkan defisit transaksi berjalan, dan memperbaiki fundamental ekonomi.
Terkait MEA 2015, BI Wilayah IV Jatim juga meminta pemerintah segera mempercepat upayanya memperbaiki beberapa faktor penunjang peningkatan perekonomian khususnya menjelang diberlakukannya MEA 2015. Apalagi ada beberapa catatan bagi pemerintahan baru saat ini.
Seperti di sektor perdagangan dikarenakan daya saing Indonesia masih rendah dibanding negara Asean lainnya. Di sektor itu peringkat Indonesia masih menempati di posisi 34. Angka tersebut kalah dengan Singapura yang menempati posisi kedua. Kemudian, Amerika Serikat berada di peringkat ketiga dan Jepang di nomor enam.
"Berikutnya di sektor jasa, kami menilai daya saing transportasi, kesehatan dan turis juga masih sangat rendah. Memang maskapai penerbangan Indonesia memang sudah cukup banyak tetapi jika dilihat dari sisi armada yang beroperasional justru jumlahnya masih terbatas dan belum ada bandara internasional di Indonesia yang sudah memiliki klasifikasi bintang," ujarnya.
Kemudian, dari sisi kualitas kesehatan yang sudah cukup baik hanya terlihat di kota besar. Indikatornya, mutu pelayanan kesehatan itu baru bisa dirasakan dengan harga yang sangat mahal. Hal itu tampak berbeda dengan layanan kesehatan di daerah. Sementara, dari aspek tenaga kerja dan infrastruktur kesehatan juga sangat disayangkan kualitasnya masih rendah.
Dari sisi sektor pariwisata, tingkat kunjungan wisatawan asing pun bisa dikatakan minim. Hal itu disebabkan pengelolaan daerah tujuan wisata kurang dilakukan dengan manajemen profesional. Kondisi itu dipicu pengembangan daerah wisata baru terbatas dan promosi yang kurang agresif.
Oleh karena itu, lanjut dia, hal yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Dari seluruh negara anggota ASEAN, kini produktivitas tenaga kerja Indonesia nisbi rendah karena rendahnya peningkatan kualitas pengembangan dan pendidikan SDM.
Khusus dari ketersediaan infrastruktur di Indonesia, memang menunjukkan perbaikan walaupun masih berada di bawah rata-rata. Pada tahun 2013-2014 rangking Indonesia berada di posisi 82 dengan skor 4,0. Pencapaian ini lebih baik dibanding tahun 2013 di peringkat 92 dengan nilai 3,7. Tapi dibandingkan negara kawasan, Indonesia hanya lebih baik dari Filipina sedangkan untuk akses internet, kecepatan internet di Indonesia menduduki tiga terendah di ASEAN.(*)