Harga Gula Lokal Masih Terus Tertekan
Kamis, 4 Desember 2014 13:32 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Harga gula lokal pada 2015 diprediksi masih tertekan dan sulit naik karena melimpahnya stok hasil giling dan pengaruh rembesan gula rafinasi yang dijual ke pasar bebas sebagai gula konsumsi.
Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono kepada wartawan di Surabaya, Kamis, mengatakan stok gula lokal hingga akhir 2014 diperkirakan masih sekitar 1,5 juta ton, dari total produksi lebih kurang 2,4 juta ton.
"Dengan konsumsi nasional rata-rata 200.000 ton per bulan, hingga musim giling 2015 di beberapa pabrik gula yang dimulai sekitar bulan Mei, sisa stok hasil giling 2014 masih sangat besar," katanya.
Menurut Subiyono, melimpahnya stok gula mengakibatkan harga komoditas tersebut menurun, bahkan harga penawaran dalam beberapa lelang di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp8.500 per kilogram.
Harga yang rendah tersebut membuat banyak pabrik gula dan petani tebu tidak berani melepas stok saat dilakukan lelang, karena dipastikan merugi.
"Dengan kondisi yang ada sekarang, saya prediksi hampir semua perusahaan gula mengalami kerugian, karena ongkos produksi dengan harga jual gula tidak seimbang. Petani juga kelimpungan," kata Subiyono, yang juga Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero), perusahaan pengelola 11 pabrik gula di Jatim.
Khusus di PTPN X, Subiyono mengungkapkan stok gula di gudang yang belum terjual hingga akhir tahun ini diperkirakan masih 160.000 ton. Sementara total produksi gula salah satu BUMN sektor perkebunan tersebut pada 2014 sejumlah 470.000 ton.
"Tahun ini kami tidak merugi karena sebelumnya sudah melakukan berbagai langkah efisiensi pada kegiatan produksi. Tapi, keuntungan yang diperoleh juga sangat tipis," tambah Subiyono tanpa merinci proyeksi keuntungan yang dicapai.
Kasus merembesnya gula rafinasi yang dijual ke pasar bebas sebagai gula konsumsi, lanjut Subiyono, menjadi masalah klasik yang hingga kini perlu mendapat ketegasan dari pemerintah.
Sesuai peruntukkannya, gula rafinasi seharusnya untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Namun, di beberapa daerah, terutama di luar Jawa, gula rafinasi justru beredar secara bebas di pasar dan dikonsumsi masyarakat.
"Kenyataan yang terjadi selama ini, gula produksi dari Jawa yang jumlahnya melimpah justru sulit masuk ke luar Jawa. Akhirnya, selera konsumen ikut berubah dengan membeli gula rafinasi yang tampilannya lebih bagus dan harganya murah," papar Subiyono.
Terkait gula rafinasi, Kementerian Perdagangan berencana memperbaiki tata niaga gula rafinasi dengan melakukan revisi terhadap Surat Menteri Perdagangan kepada produsen gula rafinasi Nomor 111/M-DAG/2/2009 tentang Petunjuk Pendistribusian Gula Rafinasi.
Sekretaris Jenderal Kemendag Gunaryo menjelaskan revisi perbaikan surat tersebut diharapkan mampu memastikan bahwa gula rafinasi yang didistribusikan oleh distributor bisa mengalir tepat sasaran ke industri kecil menengah (IKM) pengguna rafinasi.
"Nantinya untuk memastikan bahwa gula rafinasi tersebut diserap industri makanan dan minuman. Namun, sementara ini masih belum boleh lewat distributor," ujar Gunaryo.
Kuota impor gula mentah pada 2014 lebih kurang 3 juta ton, namun harus dikurangi sebanyak 191.000 ton yang merupakan bentuk sanksi dari Kemendag akibat adanya perembesan gula rafinasi ke pasar konsumen, sehingga sisa kuota kurang lebih sebanyak 2,8 juta ton.
Hingga semester pertama tahun ini, realisasi impor gula mentah sudah mencapai lebih dari 2,1 juta ton, sementara untuk semester kedua menyisakan 635.000 ton. (*)