Gubernur Jatim Tak Setuju Pengosongan Kolom Agama
Selasa, 11 November 2014 17:55 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, mengaku tidak setuju dengan adanya wacana pengosongan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP).
"Menurut saya, tetap perlu adalah kalau kolom agama di KTP itu, karena itu identitas. KTP itu merupakan 'single identity number', ya harus ada," katanya saat dikonfirmasi di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan, terkait dengan wacana tersebut dirinya mempersilahkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim untuk menanggapi masalah ini.
"Untuk wacana tersebut, silahkan tanya kepada MUI saja. Kalau untuk masalah olahraga silahkan tanya kepada KONI," ucapnya.
Menanggapi wacana tersebut, Wakil Ketua MUI Jatim, Nadjib Hamid mengatakan, selama ini pihaknya belum pernah diajak koordinasi dengan MUI pusat terkait wacana tersebut.
"Menurut hemat saya, negeri ini masih banyak persoalan yang jauh lebih penting untuk dicarikan solusi, daripada pemerintah mengeluarkan isu-isu yang tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim ini mengaku memang sesuatu hal yang dilematis terkait dengan adanya wacana tersbeut.
"Satu sisi kalau dihapus merupakan hak azasi manusia, tapi di sisi lain merupakan implementasi dari Pancasila yang agamanya jelas. Terserah masyarakat mau memeluk enam agama yang mana dan sudah diakui negara," tukasnya.
Sebelumnya (10/11), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP).
"Kolom agama itu pasti ada karena sudah ada di Undang-undang (Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan). Tidak ada niat kami untuk menghapus itu," katanya.
Setelah mengikuti Rapat Kerja dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) di Kampus IPDN Cilandak, Jakarta Selatan, ia menjelaskan kebijakan pengosongan kolom agama tersebut diberlakukan oleh warga Negara Indonesia yang menganut aliran kepercayaan non-agama resmi, karena selama ini mereka "dipaksa" menuliskan satu dari enam agama resmi Pemerintah di KTP.
Akibat paksaaan bagi penganut kepercayaan atau keyakinan untuk mengisi kolom agama di KTP, kata Tjahjo, banyak warga yang memilih untuk tidak memiliki KTP, sehingga hal tersebut menghambat kegiatan pencatatan kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kemendagri. (*)