Kecemasan Masa Depan Industri Gula Nasional
Senin, 29 September 2014 18:09 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Orang bijak bilang, manusia boleh saja berkelit dan mencari siasat, tetapi zaman akan selalu berkata jujur. Perubahan demi perubahan hadir mengiringi kehidupan.
"Saat ini, kita berada di persilangan jalan besar yang menuntut kita untuk ikut berlari dalam gerbong perubahan zaman atau terus diam di tempat dan menyaksikan diri kita semakin tertinggal."
Begitulah kira-kira industri berbasis tebu dalam negeri di masa kini menghadapi sekian tantangan perubahan.
Industri tebu telah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun silam, dan pernah membawa Indonesia menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba pada dekade 1930-an.
Produksi gula Indonesia saat itu mencapai sekitar 3 juta ton per tahun, sebuah angka yang tidak pernah lagi bisa dicapai hingga saat ini.
Negara-negara produsen utama gula dunia seperti Brazil, India, Australia, atau Thailand, dulu berada di bawah Indonesia. Tapi kini, negara-negara itu menyalip dan Indonesia lagi-lagi harus menelan pil pahit ketertinggalan.
Pada 2007, industri gula Brazil mencapai kejayaan dengan mengembangkan produksinya hingga menembus angka 29 juta ton dan menjadi raksasa gula dunia atau melaju 4.000 persen dibanding dekade 1930.
Kinerja memukau juga dibukukan India dengan produksi sekitar 14 juta ton atau naik 1.300 persen. Demikian pula, Tiongkok mencetak 11 juta ton gula (naik 2.100 persen), Australia 5,5 juta ton (naik 500 persen), dan Thailand 5 juta ton (naik 900 persen).
Bagaimana dengan Indonesia? Produksi gula nasional tak pernah ada kemajuan dan justru turun menjadi hanya 2,59 juta ton.
"Dulu kita eksportir gula terbesar di dunia, sekarang kita menjadi salah satu negara importir gula," ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Ir Subiyono MMA, dalam bukunya "Sumbangan Pemikiran Menggapai Kejayaan Industri Gula Nasional".
Buku yang diterbitkan PT Perkebunan Nusantara X (Persero) pada pertengahan 2014 itu, bisa dibilang curahan kegelisahan Subiyono melihat masa depan industri berbasis tebu di Indonesia.
Subiyono yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PTPN X, sebuah perusahaan pelat merah (BUMN) sektor perkebunan yang mengelola 11 pabrik gula di Jawa Timur, paham betul situasi yang sedang dihadapi industri tersebut.
Lahir dan tumbuh besar serta kini berada di lingkungan pertanian, khususnya subsektor perkebunan, membuat mantan Kepala Dinas Perkebunan Jatim itu banyak berkiprah dan bersentuhan langsung dengan industri berbasis tebu.
"Hampir semua pelaku industri tebu dan pihak-pihak yang menaruh perhatian pada sektor ini, kini mencemaskan masa depan dunia pertebuan. Inilah masa-masa penuh tantangan yang sangat krusial untuk menentukan wajah masa depan industri tebu di Tanah Air," tulis Subiyono.
Untuk mengantarkan industri padat karya ini kembali ke gerbang kejayaannya, harus ada imajinasi baru yang dikerjakan. Tidak bisa lagi industri gula nasional hanya menjalankan aktivitas bisnis secara datar-datar.
Tawarkan Konsep
Berbekal pengalaman mengeluti dunia pertebuan dan memimpin PTPN X selama hampir dua periode hingga saat ini, Subiyono mencoba menawarkan sejumlah konsep dan gagasan untuk mengajak pelaku industri tebu nasional bergerak maju.
Salah satu strategi yang ditawarkan penulis adalah "diversifikasi", selain juga efisiensi dan optimalisasi sebagai pendorongnya. Ketiganya tidak bisa diletakkan dalam ruang berbeda-beda, mengingat irisan ketiga strategi itu sangat tipis.
Guna bisa mencapai diversifikasi atau hilirisasi produk turunan tebu secara maksimal, maka efisiensi dan optimalisasi dalam kegiatan giling mutlak harus dilakukan.
"Jika efisiensi dan optimalisasi giling tidak bisa dilakukan, tentu jangan pernah mencoba hilirisasi produk tebu nongula," tegas Subiyono.
Selama ini, efisiensi dan optimalisasi giling memang menjadi tantangan utama industri gula dalam negeri. Permasalahan inefisiensi membentang dari sisi budi daya (on farm) hingga pengolahan di pabrik gula (off farm).
Dari sisi budi daya, misalnya, produktivitas tebu rata-rata negara produsen gula dunia sekitar 90 ton per hektare, sementara di Indonesia hanya 62 ton per hektare. Sedangkan rendemen dunia rata-rata 12-14 persen, Indonesia masih di bawah 10 persen.
Kemudian dari sisi optimalisasi, kapasitas giling dari 62 pabrik gula dalam negeri sebesar 205.000 ton tebu per hari. Dengan asumsi 170 hari giling dan rendemen rata-rata 9 persen, produksi gula yang dihasilkan seharusnya bisa mencapai 3,1 juta ton.
Produksi sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan gula kristal putih atau gula konsumsi dalam negeri. Namun, faktanya produksi saat ini hanya sekitar 2,5 juta ton, yang berarti optimalisasi kapasitas giling masih menjadi pekerjaan rumah.
Memang diperlukan investasi yang tidak sedikit untuk mengoptimalkan mesin-mesin pabrik gula (terutama milik BUMN), yang sebagian besar usianya sudah sangat uzur, bekas peninggalan pemerintah Kolonial Belanda.
Apabila langkah efisiensi dan optimalisasi sudah relatif bisa diayunkan dengan baik, industri tebu Indonesia bisa segera berlari kencang dengan melakukan diversifikasi.
Subiyono menuturkan diversifikasi bermanfaat mengurangi risiko produksi dalam rangka pengusahaan tebu secara menyeluruh, seperti biaya operasional yang terus naik, baik ongkos buruh maupun tebang angkut, dan harga jual gula yang fluktuatif.
Produk Turunan Tebu
Hasil kajian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang berpusat di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mencatat ada 10 jenis produk hilir turunan tebu yang bisa dikategorikan sebagai produk unggulan.
Dari 10 jenis produk tersebut, enam di antaranya dihasilkan dari bahan baku tetes tebu, seperti etanol, penyedap (MSG), ragi roti, dan asam sitrat.
Sedangkan tiga produk diperoleh dari ampas tebu masing-masing kertas, listrik dan papan partikel. Kemudian satu produk lainnya dari nira yakni etanol anhydrous.
Dari segi investasi, mayoritas produk turunan tebu memerlukan investasi antara 3.000-8.000 dolar AS per ton bahan per tahun. Namun, investasi besar itu terkompensasi dengan keuntungan yang menjanjikan, karena prospek pasar dari produk tersebut.
Sebagian negara produsen utama gula dunia, semisal Brazil, India, Kuba, dan Thailand, telah memulai gerakan diversifikasi ini sejak lama, karena memahami potensi bisnis yang didapatnya.
Di Indonesia, langkah diversifikasi sudah mulai dikerjakan Subiyono melalui PTPN X dengan membangun pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto, Jatim.
Investasi pembangunan pabrik berkapasitas produksi 30 juta liter per tahun itu mencapai Rp461,2 miliar, dengan skema pendanaan dari hibah NEDO Jepang sekitar Rp150 miliar dan sisanya dari dana kas internal perusahaan.
Saat ini, sebagian bioetanol "fuel grade" 99 persen yang sangat ramah lingkungan sebagai bahan bakar nabati alternatif pengganti BBM fosil itu sudah diekspor ke Filipina dan Singapura dengan harga yang menjanjikan.
Dengan total 6,5 juta ton tebu yang digiling bisa menghasilkan 78.000 kiloliter etanol dan asumsi harga rata-rata Rp8.000 per liter, potensi pendapatan yang bisa diraup sekitar Rp624 miliar.
Selain itu, perusahaan pelat merah ini juga mengembangkan "cogeneration" dengan mengolah ampas tebu menjadi listrik. Potensi pendapatan dari bisnis listrik di 10 pabrik gula PTPN X mencapai kisaran Rp633,89 miliar hingga Rp684,51 miliar.
"Asumsi yang kita pakai, setiap satu ton tebu menghasilkan sekitar 300 kilogram ampas tebu yang dengan proses sedemikian rupa bisa menghasilkan listrik rata-rata 100 KW. Total potensi listrik yang dihasilkan mencapai 225 MW," tutur Subiyono.
Potensi bisnis lain dari produk turunan tebu adalah biokompos hasil pengolahan limbah padat abu atau blontong dan listrik dari etanol (listrik tenaga biofuel hasil pengolahan limbah bioetanol).
"Dari keempat bisnis turunan tebu itu saja, kita bisa menghasilkan potensi pendapatan sekitar Rp1,3 triliun setiap tahun. Belum dari produk turunan yang lainnya," tambah Subiyono.
Mungkin terkesan jumawa membagikan sebuah keberhasilan yang dilakukan perusahaannya, tetapi Subiyono yakin begitulah sebenarnya cara untuk menyampaikan gagasan perubahan pada industri gula dalam negeri, melalui contoh nyata.
BUMN gula pada dasarnya sudah secara lengkap diisi oleh para profesional yang mumpungi di bidangnya. Ibarat sebuah orkestra, yang dibutuhkan tinggal partitur yang baik serta konduktor yang mampu membawa seluruh pemainnya berjalan bersama-sama melahirkan irama musik yang indah dan bercita rasa.
"Akan sulit untuk memenuhi tuntutan itu, jika seorang konduktor miskin kreativitas dan kedalaman filosofi industrinya," tulis Subiyono pada bagian akhir bukunya. (*)
Keterangan foto: Subiyono (tengah), berbincang dengan Sekjen IKAGI, Aris Toharisman (kanan), saat Temu Lapang IKAGI yang diikuti 300 ahli gula se-Indonesia di PG Kremboong, Sidoarjo, Rabu (24/9). FOTO Eric Ireng