Wali Kota Perempuan pertama Kota Pahlawan, Surabaya, Ir Tri Rismaharini MT yang karib disapa Risma, memasuki Tahun Kuda 2014, menjadi topik utama, tidak hanya warga "Kota Buaya" Surabaya atau provinsi "religius-nasionalis" Jawa Timur, tapi juga menjadi perbincangan seantero Nusantara, bahkan internasional. Lembaga survei Indonesia Indicator (I2) menganggap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai primadona baru pada peta perpolitikan nasional berdasarkan penelitian pada pemberitaan sejumlah media massa, "trending topic". Ya, heboh keinginannya untuk mundur sebagai orang pertama di Ibu Kota Jatim itu membuat peta politik di Tanah Air "gonjang-ganjing". Pasalnya, Risma banyak diminati parpol di Tahun Politik ini, seiring dengan popularitasnya (sesuai hasil survei dari beberapa lembaga survei) yang mampu "mengejar" Joko Widodo (Jokowi) yang suka "blusukan" itu... Itu tak lepas dari "seabreg" penghargaan nasional dan internasional (terlalu panjang disebutkan) yang diraih Kota Surabaya selama tiga tahun (sejak tahun 2010) dari kepemimpinan alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu memimpin Kota Pahlawan dengan "wah", "hebat", atau decak kagum lainnya. Tak heran, Risma pun menyabet penghargaan (penghargaan paling hangat/baru) "Mayor of The Month February 2014" alias wali kota terbaik dalam bulan Februari 2014 dari City Mayor Foundation. Selain itu, Risma juga terpilih sebagai Wali Kota Terbaik Dunia versi Citymayors.com. Maka, keinginan mundur perempuan berjilbab itu pun muncul terkait jiwanya yang "sesak" akibat penunjukan dan pelantikan Wakil Wali Kota Wisnu Sakti Buana yang tidak sesuai prosedur, penuh dengan rekayasa, Risma ingin prosedur sesuai peraturan dijalankan. Risma itu a-politik, selalu mengerjakan tugasnya secara langsung (bukan di belakang meja) alias suka "blusukan" seperti Jokowi tapi anti-publikasi media. Dan, ia pun melayani warganya dengan sungguh-sungguh. Ia bekerja mulai pukul 05.30 WIB, ia wawancara langsung dengan warga kota lewat radio. Tidak hanya itu, ia rela basah kuyup berhujan-hujanan memantau banjir Surabaya, ia langsung mengecek pohon yang tumbang saat hujan. Ia ikut merapikan lalu lintas yang macet. Ia menegur Bonek ketika kerusuhan sepak bola. Ia turun tangan langsung me-razia ABG mesum di diskotek, ia menemui dan melabrak tersangka penjual gadis ABG. Dan, ia memulangkan para WTS ke daerah asalnya Ya, ia bukan politikus dan tidak mau politik-politikan, sehingga realitas politik, dimana ia harus menerima Wisnu sebaggai wakilnya, dirasakannya sebagai "ganjalan", karena itu ia pun "curhat" ke berbagai kalangan hingga muncul wacana mundur. Dan, keinginan mundurnya mendapat tentangan dari berbagai kalangan, khususnya warga Surabaya yang tidak ingin Risma "meninggalkan" mereka. Rektor Unair Prof Dr Fasich Apt meminta Risma jangan mundur, karena ini ibarat langkah yang tinggal langkah terakhir, jadi selesaikan visi dan misi yang ada. Guru Besar Fakultas Farmasi Unair Surabaya itu menegaskan bahwa pemimpin itu harus memperhatikan setiap kritik dan desakan, tapi jangan sampai mundur, karena pemimpin itu harus membiasakan untuk menyelesaikan tugas sampai akhir. Keadaan itu, membuat dedengkot PDIP yaitu Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri harus "turun gunung" ke Surabaya Sabtu (1/3), "Karena itu, saya katakan kepada teman-teman pers bahwa Bu Risma dan Pak Wisnu Sakti Bhuana (Wakil Wali Kota Surabaya) tidak ada masalah, saya minta Bu Risma tetap memimpin Surabaya," ucapnya. Bisa jadi, "ulah" Risma ini untuk mendapat tudingan sekadar "chek sound" untuk "running" jabatan periode kedua (1015-2020) atau untuk yang lebih tinggi lagi, tapi dengan kapabilitas, akutabilitas dan popularitas serta elektabilitas Risma sekarang, tanpa parpol pun atau melalui jalur "independen" atau perseorangan pun oke.... Jadi, secara teoritis, Risma bisa terpilih menjadi wali kota lagi secara independen dan karenanya kalangan parpol harus berbenah!. Ya, Risma "ku" sayang, Parpol "ku" tendang...! (*).
Risma; Parpol atau Independen
Minggu, 2 Maret 2014 8:06 WIB