Surabaya (Antara Jatim) - Setelah abu vulkanik pascaerupsi Kelud di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur (14/2) menyelimuti sejumlah wilayah di Tanah Air dan menutup sejumlah jalur penerbangan, maka "korban" Kelud pun mulai bertambah. Awalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tiga orang warga meninggal dunia dan 76.388 jiwa mengungsi pascaerupsi gunung setinggi 1.731 mdpl itu. "Ketiga korban yang meninggal dunia itu merupakan warga Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Ketiga adalah Mbok Nya (60) warga Dusun Plumbang, Sahiri (70) warga Dusun Ngutut, dan Sanusi (80) warga Dusun Plumbang. Ada yang mengalami sesak napas, tapi ada yang tertimpa tembok. Sementara itu, 76.388 jiwa pengungsi berasal dari lima kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Kediri 66.139 jiwa, Kota Batu 3.220 jiwa, Kabupaten Blitar 2.070 jiwa, Kabupaten Malang 3.610 jiwa, dan Kabupaten Tulungagung 1.349 jiwa. Di luar itu, sejumlah objek wisata, lahan pertanian, kehidupan fauna atau hewan ternak, dan sebagainya pun menjadi "korban", terutama sejumlah objek wisata di kawasan Yogyakarta yang sering dikunjungi wisatawan mancanegara. "Sekitar 3.000 hingga 4.000 orang batal naik ke Candi Borobudur, akibat hujan abu dampak letusan Gunung Kelud di Jawa Timur," ujar Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Bambang Irianto. Namun, hal yang lebih penting adalah bagaimana Taman Wisata Candi Borobudur memberikan pelayanan kepada para pengunjung bukan karena memikirkan potensi kerugian sejumlah berapa. "Hal ini tidak ada ukurannya dibandingkan dengan pelestarian Candi Borobudur," katanya di Magelang (14/2). Sejak Jumat (14/2) pagi, PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko telah melakukan penutupan untuk pengunjung karena hujan abu yang mengakibatkan batuan candi tertutup abu vulkanik. "Zona satu mulai hari Jumat ditutup sampai nanti selesai pembersihan. Namun, apakah Sabtu (15/2) pengunjung bisa masuk sampai zona dua (kawasan taman) untuk sekadar berfoto-foto akan kami evaluasi dulu dan sampaikan kepada direksi," tuturnya. Ia menuturkan banyak pertanyaan dari agen-agen wisata yang akan membawa tamunya karena hari Sabtu dan Minggu biasanya kunjungan mencapai sekitar 10 ribu hingga 16 ribu orang. "Namun, keselamatan pengunjung dan kelestarian candi tetap nomer satu," ucapnya. Hal yang sama juga dialami objek Wisata Keraton Yogyakarta yang ditutup sementara bagi wisatawan karena kotor akibat tertutup tebaran abu vulkanik letusan Gunung Kelud di Jawa Timur. Sejumlah abdi dalem "Prajurit Biru" didukung para relawan masih melakukan pembersihan di kawasan wisata keraton itu. "Debu masih bertebaran tidak mungkin kita buka karena justru akan membahayakan wisatawan. Sekarang masih bersih-bersih dulu," kata seorang abdi dalem keraton, Raden Handoko Pawoko. Menurut Handoko, baik di halaman luar maupun dalam rata-rata ketebalan debu masih mencapai satu centimeter, sehingga belum memungkinkan untuk dibuka bagi umum. "Semua regol (pintu masuk) keraton masih kami tutup dan tidak menerima wisatawan, kapan objek wisata itu akan dibuka kembali, kami masih menunggu keputusan dari keluarga Keraton," ujarnya. Ia menjelaskan pada hari-hari normal, kunjungan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, rata-rata sebanyak 2.000 hingga 4.000 orang per hari. "Mereka 'kecele' dan balik pulang," ungkapnya. Seorang wisatawan mancanegara yang berniat masuk objek wisata itu, Paul, mengaku penasaran saja terhadap kondisi keraton, namun ia memahami kebijakan penutupan keraton karena kondisi yang belum memungkinkan akibat banyak abu vulkanik. "Saya kebetulan saja masih ada di Yogyakarta dan menyempatkan mampir ke Keraton, karena belum bisa kembali pulang disebabkan bandara ditutup," kata wisatawan asal Prancis itu. Gagal Panen Selain objek wisata, para petani di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pun menjadi "korban" akibat tanaman padinya rusak terkena abu vulkanik Gunung Kelud di Kediri, sehingga terancam gagal panen. Kondisi tersebut dialami para petani di Desa Joketro, Kecamatan Parang, karena tanaman padi siap panen milik petani banyak yang ambruk dan tertutup abu vulkanik. "Sebagian besar rusak terkena abu Gunung Kelud. Kami cemas, sebab hal itu akan mengurangi hasil panen," kata petani Desa Joketro, Kemis. Menurut dia, rata-rata tanaman yang ambruk telah berusia 80 hari dan siap panen. Meski telah turun hujan, namun hanya sedikit yang berhasil diselamatkan. Sebagian petani pasrah dan membiarkan tanaman padinya. Sementara, sebagian lainnya berupaya membersihkannya dari abu vulkanik dengan harapan masih bisa dipanen. "Diperkirakan yang dapat dipanen hanya sepertiga dari biasanya. Kami benar-benar rugi akibat bencana alam ini, tapi mau bagaimana lagi," tuturnya. Hal yang sama dialami oleh petani di Kelurahan Takeran, Kecamatan takeran, Magetan. Tanaman padi yang telah berbulir menjadi rusak dan patah karena tidak kuat menahan beban setelah terkena abu vulkanik Gunung Kelud. "Selain batangnya patah, banyak tanaman padi yang ambruk. Sebagian petani ada yang berusaha membersihkannya, namun sebagian sudah pasrah," tukas petani asal Takeran, Santo. Tidak hanya lahan pertanian, sejumlah hewan ternak pun menjadi "korban" Kelud, sehingga Pemkab Malang pun membuka posko khusus untuk ternak yang ada di Ngantang. "Untuk sementara memang dibuka posko di Ngantang dulu, sebab untuk kecamatan Pujon masih bisa dijangkau dan kondisinya tidak darurat, bahkan rumput untuk pakan ternak juga masih banyak yang tidak terdampak erupsi," kata Bupati Malang Rendra Kresna di lokasi pengungsian di Kantor Kecamatan Pujon (15/2). Meskipun di Kecamatan Pujon, populasi ternak sapi lebih banyak, namun kondisinya tidak mendesak seperti di Kecamatan Ngantang yang sudah seperti kota mati. Oleh karena itu, Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, dokter hewan dan beberapa elemen juga dilibatkan untuk mengurus ternak milik warga yang sedang mengungsi. "Kami sudah berkoordinasi dengan beberapa instansi terkait dan manajemen PT Netsle untuk segera mendistribusikan pakan hijau ternak," ujarnya. Rencananya, Pemkab Malang akan menggelontor sekitar 40 ribu ton pakan ternak (konsentrat) di wilayah Kecamatan Ngantang dan Kasembon yang menjadi korban bencana erupsi Gunung Kelud. Selain akan mendistribusikan puluhan ton pakan ternak, para petugas maupun relawan juga diminta untuk melakukan patroli setiap malam ke lokasi bencana, sebab tidak menutup kemungkinan masih ada oknum yang tega mengambil barang yang bukan haknya, termasuk hewan ternak. Hampir 90 persen warga Kecamatan Ngantang sebagai peternak sapi perah dan selama kondisi akibat erupsi Gunung kelud belum benar-benar aman, warga yang mengungsi tidak diperbolehkan kembali ke rumah, sehingga ternak milik mereka dijaga dan dirawat oleh para relawan. "Akibat erupsi Gunung Kelud ini, secara otomatis produksi susu yang dihasilkan peternak di Ngantang terhenti dan secara keseluruhan produksi susu segar di Kabupaten Malang juga menurun. Tapi, kami belum hitung berapa persen penurunannya jika dibandingkan dengan produksi sebelum terjadi erupsi," tutur Rendra. Sementara itu, ProFauna Indonesia juga telah mengirimkan satu tim yang beranggotakan lima orang untuk menyisir dan mendata ternak milik warga yang ditinggalkan untuk mengungsi. "Kalau memang nantinya dibutuhkan personel lebih banyak lagi, maka pengiriman jumlah regu dan personel akan ditambah lagi. Mulai Jumat, tim masih melakukan penyisiran dan pemantauan ke sejumlah kawasan yang terdampak erupsi Gunung Kelud," ujar Chairman ProFauna Indonesia Rosek Nursahid, Sabtu (15/2). Ya, korban-korban dari erupsi Gunung Kelud pun berjatuhan, tentu kepedulian banyak kalangan sangat ditunggu untuk meringankan derita mereka yang kehilangan tanaman, hewan ternak, dan mereka-mereka yang kehilangan sanak saudaranya.(*)
Wisata, Pertanian, Ternak pun Jadi "Korban" Kelud
Sabtu, 15 Februari 2014 18:02 WIB