Sikap toleran, menghargai kepluralan atau keberagaman sering kali menimbulkan reaksi keras dari kalangan tertentu. Sederhananya, karena hal itu dianggap menyamakan semua ajaran agama. Padahal sejatinya, ketiga istilah itu adalah sikap menghargai keimanan agama lain yang hal itu juga ditekankan dalam ajaran Islam. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa sejak awal, keragaman agama dan budaya adalah fakta yang tidak mungkin dipungkiri. Mengingkari fakta ini sama saja dengan sikap tidak mengakui adanya matahari di siang bolong, katanya. Buya Syafii dalam pengantar novel "Sejuta Doa untuk Gus Dur" mengutip ayat Al Quran untuk menegaskan keniscayaan keragaman ini. "Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sesungguhnya berimanlah orang yang ada di muka bumi seluruhnya, semuanya. Apakah engkau (Muhammad) hendak memaksa mereka semua agar beriman?". Pada bulan Desember ini, berbicara soal toleransi, setidaknya ada dua peristiwa penting. Pertama, adalah Hari Natal yang diperingati umat Kristiani setiap 25 Desember. Beberapa tahun lalu, di minggu-minggu terakhir Desember ini kita seringkali dihantui adanya kemungkinan ledakan bom. Kabar gembiranya, sebagian umat Islam menunjukkan kepeduliannya dengan ikut menjaga keamanan gereja saat Natal. Peristiwa kedua, seorang tokoh pluralisme, yakni KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009. Jutaan orang menangisi kepergian tokoh yang tidak jarang dikafir-kafirkan ini hanya karena ia selalu mendengung-dengungkan sikap toleran. Lewat pemikiran dan tindakan Gus Dur, ajaran Islam betul-betul diwujudkan, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rahmat itu tidak sekadar pengertian secara fisik, tapi sekaligus psikologis, yakni bagaimana umat agama lain merasa nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas keseharian dan keagamaan mereka. Saat ini kita masih menyaksikan bagaimana sikap beragama yang sempit dengan menganggap dirinya paling benar. Tidak saja terhadap umat agama lain, tetapi juga terhadap sesama pemeluk Islam. Tidak jarang sikap mereka yang merasa lebih benar dalam mengamalkan Islam itu membid'ah-bid'ahkan kelompok lain secara membabi buta. Kelompok yang seringkali mendapatkan target untuk diluruskan aqidahnya adalah mereka yang bertradisi melakukan tahlilan saat ada kematian keluarganya. Penganut Islam tradisional ini juga dikenal lekat dengan tradisi lokal, seperti membuat bubur di bulan-bulan tertentu atau shalawatan dengan iringan alat musik, yakni hadrah. Bahkan sesuatu yang bernilai positif dan saya rasa bagus tidak jarang juga mendapatkan hantaman, seperti membacakan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri bagi bayi yang baru lahir. Itu dianggap bid'ah juga dan tidak perlu dilakukan. Lalu seseorang yang tidak terima dengan serangan itu secara berseloroh berkata, "Kalau membaca adzan tidak boleh, apakah bayi itu lebih baik diperdengarkan lagu-lagu saja?" Atau yang lain berkata, "Kalau semua mau meniru persis di zaman Nabi, mengapa mereka menggunakan HP, kamera, sepeda motor atau mobil? Mestinya menggunakan unta." Sikap menganggap diri dan kelompok paling benar itu tidak saja berdampak secara teologis, yakni pertentangan pemahaman keagamaan, tetapi juga secara sosial. Contoh konkret bagaimana penganut Syiah di Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, harus "rela" meninggalkan kampung halamannya. Islam yang rahmatan lil'alamiin telah menjelma sebaliknya. Para "pemilik kebenaran" itu telah menjadi penghukum atas sesuatu yang di pihak lain memiliki pijakan kebenaran juga. Setidaknya menurut anggapan mereka. Kita seringkali lupa bahwa pemahaman keagamaan kita hanyalah "tafsir". Sebagai tafsir, maka hanya sumber ajaran itu yang tahu persis maksud dari ajarannya. Allah lah dan Nabi Muhammad yang paling tahu persis mengenai Islam yang sempurna. Karena itu ahli tafsir Prof Dr Quraish Shihab selalu mengakhiri tulisannya dengan kata "wallahu a'lam bishshowab" atau hanya Allah yang paling tahu. Kita tidak pernah tahu pasti apakah Islam kita yang betul-betul diterima oleh Allah. Karena itu marilah berlomba-lomba dalam kebaikan, khususnya untuk kemaslahan kemanusiaan. Bukan berlomba-lomba menyalahkan. (*)
Toleransi
Senin, 23 Desember 2013 15:15 WIB