Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur pada 29 Agustus 2013 yang serentak dengan pilkada empat kota (Probolinggo, Mojokerto, Kediri, dan Madiun), usai sudah, namun bayangan penyelenggaraan (KPU dan jajaran pelaksana di bawah) yang amburadul sudah mengintai... (bahkan, sejak penetapan calon sudah muncul aroma penjegalan). Entah sosialisasi yang kurang atau apa, yang jelas kepesertaan masyarakat untuk mencoblos alias memilih pemimpinnya tergolong minim, bahkan masyarakat Magetan yang tidak menggunakan hak pilih atau golongan putih (golput) mencapai 36 persen!. Bahkan, ada salah satu TPS di Pamekasan, Madura, yang hanya ada delapan orang yang mencoblos dari 388 DPT di TPS itu.... Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur telah menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 30.034.249 pemilih dengan TPS sebanyak 71.036 unit, namun banyak dari mereka yang tidak memperoleh surat panggilan untuk mencoblos alias formulir C-6. Alasan lain minimnya partisipasi warga adalah apatis, malas, tidak ada serangan fajar, atau pasrah. Dua hari menjelang coblosan (27/8), bayang-bayang amburadulnya logistik Pilkada Jatim sudah tampak, seperti distribusi surat suara di beberapa pulau di Sumenep dan Gresik (Bawean), kekurangan form C di Ponorogo dan Jombang, gembok kurang di Bangkalan dan Lamongan, ATK TPS di sejumlah daerah hingga alat kelengkapan KPPS dan "template" (untuk tunanetra). Beberapa kejadian ketidakberesan kinerja penyelenggara, seperti dalam satu keluarga salah satu atau dua orang yang mempunyai hak pilih tidak menerima surat panggilan pencoblosan, apa itu suami atau istri hingga anak maupun mantu. Tidak kalah seru, pada minggu tenang (26-28/8), kampanye terselubung melalui dunia maya, seperti "Sebarkan CINTA KARSA untuk SATU PUTARAN saja..." atau "Selamatkan Uang Rakyat untuk PROGRAM BerkeLANJUTan @ Provinsi Terbaik di Indonesia....!" yang berhamburan lewat "BBM"... Berbagai ketidakberesan dalam "pesta demokrasi" di Bumi Mojopahit yang menelan uang rakyat Rp1 triliun itu diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi penyelenggara, meski pencoblosan berlangsung kondusif, aman dan lancar. Akhirnya, hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menempatkan pejabat kini "KarSa" (Karwo-Saifullah) meraih 47-48 persen suara dan 'Bersama' Khofifah-Herman (Berkah) di urutan kedua dengan 37-38 persen suara, lalu Bambang-Said dengan 11-12 persen dan Eggi-Sihat hanya 2-3 persen. (Hitung cepat bukan patokan, hasil hitung cepat Pilkada 2008 memenangkan Khofifah, tetapi berbagai manuver menjadikan coblosan berlangsung tiga putaran dengan pemenang berbeda). Tidak ada salahnya, indikasi kerusuhan atau anarkisme diantisipasi penyelenggara (aparat keamanan yang mendapat anggaran Rp200 miliar). Tanda-tanda sudah ada, kerusuhan di Kota Probolinggo Jumat malam (30/8) yang dipicu ketidakpuasan massa dengan dalih adanya kecurangan yang menyebabkan jagonya kalah. Dan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah memelototi, menagih, dan mengawasi janji pemenang selama kampanye, apakah sibuk mengurusi parpol pendukung, apakah mengurusi "balik modal" untuk kolega atau meneruskan untuk "menyedot" APBD (uang rakyat), apakah janji pengembangan agroindustri itu...., apakah janji peningkatan lapangan kerja itu...., apakah janji pengembangan madrasah diniah itu...., apakah janji pemberdayaan UKM itu...., apakah... apakah...janji, janji... tinggal janji... (*)
Pasca-Pilkada...???!
Minggu, 1 September 2013 8:22 WIB