Surabaya - Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan Universitas Airlangga Surabaya mengajak sejumlah Manajer "Human Resource Development" (HRD) perusahaan memahami kebijakan tentang sistem alih daya pada tenaga kerja karena masih kontroversialnya permasalahan tersebut. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim, Anton Subagiyanto, di Surabaya, Rabu, menilai, permasalahan sistem alih daya bersumber pada latar belakang perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penerima kerja. "Kalau keduanya sama-sama bertipe pedagang dan hanya saling mengejar keuntungan sebesar-besarnya maka yang dirugikan adalah tenaga kerja alih daya itu sendiri," katanya di sela menjadi pembicara forum bertajuk Sinkronisasi Kebijakan Outsourcing dalam Membangun Harmonisasi HRD Perusahaan. Oleh sebab itu, kata dia, tantangannya yakni ada atau tidaknya niat baik dari perusahaan pemberi kerja dan perusahaan alih daya untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Pasal 59 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di indonesia tercatat ada sekitar 1.200 perusahaan alih daya yang bergerak di kegiatan jasa penunjang. Kegiatan tersebut antara lain petugas kebersihan, petugas makanan, petugas keamanan, dan jasa penunjang pertambangan, perminyakan serta penyediaan angkutan. Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Kadisnakertransduk) Provinsi Jawa Timur Hary Soegiri mengungkapkan, sistem tenaga kerja alih daya tidak akan bisa hilang dari dunia industri. "Tenaga kerja alih daya akan ada, tergantung sifat pekerjaannya. Seperti pekerjaan yang sifatnya musiman, semisal pekerjaan di perkebunan," tutur dia. Hanya saja, ia mengakui banyak permasalahan sistem alih daya di Jawa Timur. Menurut dia, banyak kesalahan persepsi yang ditemukan oleh pengawas di lapangan, seperti persyaratan dan aturan yang sebagian besar tidak dipatuhi oleh perusahaan. "Aturan dalam sistem alih daya yang sering dilanggar, antara lain tidak memberikan perlindungan kerja, tidak berizin operasional dan status perusahaan yang belum berbadan hukum," kata Hary. Persoalan lainnya, lanjut dia, yakni tidak adanya peraturan tentang sanksi bagi perusahaan yang melanggar. Ia mengemukakan, pengawas ketenagakerjaan tidak bisa mengupayakan penegakan hukum karena tidak ada Undang-undang yang mengatur. "Jadi kami hanya bisa memberi sanksi moral bagi perusahaan yang belum mendaftar Jamsostek atau tidak memberi THR kepada pekerjanya. Sanksi itu pun hanya sebatas mengeluarkan 'black list' terhadap perusahaan alih daya nakal," papar dia. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012