Bangsa ini dulu dikenal ramah, terutama ketika hampir semua elemen mengaplikasikan sila-sila Pancasila, paling tidak kenal pada dasar negara kita itu.
Tapi belakangan ini, justru ketika bangsa ini sedang mereformasi diri, Pancasila yang menjadi falsafah hidup, mulai ditinggalkan sehingga bangsa ini sedikit-sedikit mudah tersulut dan tidak jarang berlanjut dalam pertikaian.
Persoalan rutin tiap tahun seperti ujian sekolah, penerimaan siswa baru, penetapan upah minimum buruh, tidak terkecuali pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), seperti tak pernah ada ujung penyelesaiannya. Artinya, setiap tahun permasalahan itu selalu muncul.
Berbagai pranata, baik itu berupa Keputusan Menakertrans, maupun seruan moral dari Kepala Daerah kepada perusahaan swasta untuk memberikan THR kepada pekerjanya, rupanya belum mampu membuat sebagian pengusaha itu gentar.
THR adalah hak paling esensial bagi buruh. Dengan gaji pas-pasan yang diterima setiap bulan, mereka tetap berusaha menyisihkan sedikit dari yang diperolehnya itu untuk keperluan Lebaran. Itu artinya, merayakan Idul Fitri dengan baju baru dan menyajikan makanan bersama keluarga, merupakan tujuan akhir dari hidupnya.
Baju baru dan makanan saja tentu tidak cukup. Mereka juga perlu ongkos transportasi untuk mudik dan kembali ke tempat asal. Di sinilah diperlukan biaya tambahan, dan itu mereka harapkan dari THR.
Perusahaan yang mengaku tidak mampu memberikan THR kepada pekerjanya, pastilah manajemennya buruk. Sebagai perusahaan sehat, mereka seharusnya mengalokasikan dana untuk pembayaran gaji selama 13 bulan dalam setahun, termasuk gaji sebulan untuk THR.
Atau para pengusaha itu pura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu tentang kewajibannya memberikan THR. Pengusaha bandel seperti itu bisa dikategorikan sebagai pelanggar HAM karena mengabaikan asasi buruh untuk memperingati hari raya keagamaan.
Beruntung, di Jawa Timur tidak banyak perusahaan yang terindikasi mengabaikan THR bagi pekerjanya. Hingga akhir pekan lalu, tercatat dua perusahaan BUMD, dua Dinas di Jatim, dan enam perusahaan swasta yang belum membayarkan THR.
Petugas pemantau THR belum berani menyebutkan nama-nama instansi tersebut karena takut dituduh mencemarkan nama baik, mengingat batas waktu pembayaran THR belum berakhir.
Memang, tidak ada kewajiban bagi PNS untuk menerima THR. Namun BUMD dan Dinas yang terindikasi belum memberikan THR itu memiliki banyak tenaga honorer, sehingga mereka tetap diwajibkan memberikan THR karena tenaga honorer itu bukan PNS.
Seharusnya, pengusaha memahami benar arti peringatan hari besar keagamaan dengan menyisihkan sebagian marjin untuk karyawan menikmatinya. Itu bisa terjadi kalau mereka masih ingat dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Pancasila. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012