Dulu, saat masih berusia belasan tahun, sering di lapangan dekat rumah, saya dikejutkan dengan bunyi keras petasan bersahut-sahutan.
Biasanya, setiap makan sahur dan Shalat Shubuh usai, bunyi itu selalu akrab di telinga. Bahkan saat beribadah pun tidak jarang jantung berdetak karena dikagetkan gelegar petasan.
Ada bermacam-macam jenis petasan yang diledakkan, ada yang diledakkan dengan cara dilempar, ada yang dipasang di tempat tertentu atau biasanya dikenal dengan sebutan "sumbu lambat". Caranya, petasan dinyalakan, kemudian disimpan di sebuah tempat yang kadang tersembunyi dan ditinggal pergi, hampir semenit kemudian baru meledak.
Tidak hanya Shubuh, kadang sore menjelang berbuka, malam setelah Shalat Tarawih usai, bunyi itu terus memekakkan telinga. Sesekali timbul rasa ingin membawa batu dan melempar ke kerumunan mereka yang mayoritas masih berusia di bawah 17 tahun itu.
Sungguh tidak aman menjalankan puasa, karena sering diselimuti perasaan kaget. Meski petasan itu hanya sebuah benda kecil yang ukurannya tidak lebih dari 10 centimeter, namun cukup membuat bunyi atau ledakan kuat.
Seiring bertambahnya waktu, suara-suara itu perlahan sirna. Aparat kepolisian semakin bertindak tegas dengan melakukan razia gencar-gencaran. Pedagang-pedagang petasan di pinggir jalan tak luput dari razia. Hasilnya cukup ampuh, saat ini sudah tidak terlalu banyak penjual petasan, meski masih tetap ada.
Berbagai inovasi dilakukan aparat keamanan setiap menjelang maupun ketika Ramadhan. Program-program yang membuat warga Muslim merasa aman dan nyaman ketika puasa terus digalakkan.
Selain itu, tingginya angka kesadaran masyarakat, khususnya orang tua dalam membimbing anaknya menjadi nilai plus membantu terciptanya puasa aman tanpa gangguan petasan.
Beberapa tahun terakhir, di kampung saya pun sudah jarang lagi terdengar bunyi petasan, meski sesekali masih membahana. Anak-anak sekarang setelah Tarawih usai hingga menjelang tengah malam, bukan petasan yang dimainkan, tapi beralih bermain sepak bola di jalanan.
Bermain petasan, tentu berisiko menimbulkan korban. Setiap Ramadhan, beberapa rumah sakit nyaris tidak pernah luput dari korban akibat petasan. Tidak hanya anak-anak, laki-laki dewasa juga kerap terpaksa dirawat inap.
Berdasarkan catatan RSU dr Soetomo pada Ramadhan 2011, total 24 korban dirawat. Ada yang hanya menjalani rawat jalan, rawat inap, hingga harus dioperasi agar segera pulih.
Pada Ramadhan kali ini, sudah sepekan berjalan, RSU dr Soetomo masih menerima satu korban, yakni seorang bocah berusia delapan tahun.
Bocah yang tinggal di kawasan Gayungan, Surabaya, tersebut terkena percikan "petasan sreng" tepat di mata dan mengenai kornea mata kanannya ketika hari pertama puasa. Selama tiga hari, bocah tersebut harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Satu lagi korban petasan, bocah 11 tahun yang tinggal di kawasan Semampir. Kali ini ia menjadi korban akibat ulah iseng temannya yang bermain "petasan kretekan" dan mengenai bagian selangkangan kaki. Bocah itu pun harus dirawat di RS Al-Irsyad, namun tidak sampai menjalani rawat inap.
Tentu saja dengan risiko yang dihasilkan petasan ini, puasa menjadi tidak aman, begitu juga menyambut Lebaran yang semakin menjadi tidak nyaman. Tindakan tegas polisi memang perlu, tapi kita sebagai masyarakat harus lebih perlu untuk mengerti ketidakgunaan petasan.
Jangan biarkan anak-anak diberi kebebasan bermain petasan, apapun jenisnya. Awalnya mungkin kembang api kecil, kemudiam beralih ke kembang api agak besar, hingga lebih besar. Bahkan kalau lepas pengawasan, anak berani bermain petasan yang dikenal dengan sebutan mercon.
Maukah anak kita atau bahkan kita jadi korban berikutnya..?? Semoga tidak dan tidak akan pernah. Sebab, puasa akan semakin aman tanpa petasan, tentu Lebaran akan nyaman...!! Amin..Ya Robbal Alamiin...!! (fiqiharfani@gmail.com) (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012