Oleh Dr Ir Amien Widodo MSi *) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa kekeringan saat ini mengancam penurunan produksi pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir, lahan yang terkena kekeringan mencapai 228.095 hektare dengan potensi puso 50.068 hektare. Data Kementerian Pertanian menunjukkan kekeringan sudah mencapai 95.851 hektare per Agustus 2011. Dari jumlah itu, lahan yang mengalami gagal panen atau puso sudah sebesar 3.713 hektare. Jawa Barat menjadi provinsi terluas kedua yang kekeringan, yakni 25.949 hektare dengan puso 37 hektare. Urutan pertama adalah Sulawesi Selatan dengan kekeringan 27.889 hektare dan puso 1.490 hektare, lalu ketiga Nangroe Aceh Darussalam (10.403 ha dan puso 143 ha). Peringkat keempat adalah Jawa Timur dengan tingkat kekeringan mencapai lahan seluas 3.842 ha dengan puso 623 ha, lalu Jawa Tengah (3.648 ha dan puso 39 ha). Jika dikalkulasi dalam lima tahun terakhir, maka lahan kekeringan melanda lahan seluas 228.095 hektare dengan puso 50.068 ha. FPG DPR mendesak pemerintah agar segera memperbaiki manajemen persediaan pangan nasional, khususnya beras. Ketersediaan pangan merupakan tanggung jawab dari negara, maka pemerintah harus memiliki kontrol yang dominan, sebab pangan merupakan sektor paling fundamental. Pemerintah juga siap mengucurkan dana sebesar Rp3 triliun untuk mengantisipasi bencana kekeringan akibat perubahan cuaca yang melanda Indonesia. Untuk jangka pendek, pemerintah akan melakukan langkah sosialisasi dan efisiensi penggunaan air di seluruh Tanah Air melalui pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah juga akan meminta masyarakat untuk mencari sumber mata air baru dengan menggali sumur di beberapa tempat serta memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca (hujan buatan). Sementara untuk jangka panjang, pemerintah mencanangkan program diversifikasi pangan, perencanaan pengelolaan air yang memanfaatkan debit air sungai, serta kerja sama dengan gerakan penghijauan. Khusus Jawa Timur, pemerintah provinsi setempat akan menyiagakan dana Rp4 miliar dari total Rp13 miliar yang diambil dari pos dana bencana untuk mengatasi masalah kekeringan. Saat ini, musibah kekeringan di Jawa Timur meliputi 651 desa dari seluruh wilayah kabupaten/kota. Dari 651 desa terbagi 483 desa menjadi tanggung jawab Pemprov Jatim, sedangkan 168 desa menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Dana bantuan kekeringan dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur sampai saat ini sudah digunakan selama 27 hari hingga kini (27/4), yang diserahkan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat yaitu untuk pembelian air, jeriken, tandon penampungan, serta 120 truk yang mobil. Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menangani masalah kekeringan, untuk antisipasi, dan pencegahan pada tahun-tahun mendatang. Yah, kekeringan hampir melanda seluruh Indonesia pada bulan September- Oktober 2012, padahal bulan September-Oktober memang kemarau dan selama ini dilalui tanpa bencana kekeringan. Kekeringan ini terjadi karena mata air dan air sumur yang selama ini mereka pakai mulai hilang airnya, bahkan dulunya di saat kemarau ada mata air yang jumlahnya ratusan, tapi saat ini tinggal puluhan saja dengan debit kecil. Kehilangan mata air akan diikuti berkurangnya jumlah sungai yang mengalir. Kekeringan atau kehilangan sejumlah besar mata air di pegunungan merupakan konsekuensi logis dari tingkah laku manusia selama ini terhadap kawasan tangkapan air dan penggunaan air yang melebihi kapasitasnya. Efek Kerusakan Lingkungan Bermula dari kebijakan pengembangan kawasan wisata pegunungan dan kawasan permukiman terpadu di pegunungan yang diikuti permukiman di sekitarnya, maka muncul seperti dalam pepatah "ada gula ada semut". Mulailah perubahan kawasan lindung menjadi kawasan permukiman padat dan penebangan hutan untuk pelebaran kawasan semakin luas. Pada tahun 1998, hampir seluruh rakyat seluruh negeri ini menuntut hak atas pegunungan sehingga terjadi pengambilan (penggundulan) sumber daya hutan besar-besaran di seluruh wilayah, atas nama rakyat, atas nama kemiskinan dan atas nama kerakusan. Penggundulan tersebut berlanjut sampai sekarang dan sebagian besar dikembangkan sebagai lahan pertanian musiman, padahal secara topografis tidak cocok, tapi mereka tidak peduli. Penebangan yang dilakukan umumnya penebangan yang brutal karena ditebang seakar-akarnya karena akarnya ada yang membeli. Saat ini, kerusakan hutan sudah sangat parah dan sudah sangat luas. Kita semua tahu vegetasi di pegunungan berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem melalui berbagai hal, di antaranya kanopi, dan bahkan sersahnya berfungsi sebagai menahan energi hujan, sehingga butiran hujan tidak langsung menerpa tanah sebab kalau menerjang langsung ke permukaan tanah maka tanah akan terberai dan akan tererosi. Sersah pohon bersama tubuh pohon dan akarnya akan menahan air dan meneruskan air hujan merembes ke dalam tanah untuk mengisi cadangan air tanah dan mata air di wilayah tersebut. Selain itu, air yang tersimpan di bawah akar juga akan ditransfer ke seluruh tubuh pohon dan diuapkan lewat daun (evapotranspirasi) bersamaan dengan proses fotosintesis. Fotosintesis berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Akar pohon dalam upayanya mencari makanan mempunyai kemampuan untuk menerobos, memecahkan dan melapukkan batuan yang ada di dalam tanah sehingga unsur-unsur hara tanah yang ada dalam batuan bisa diserap oleh akar dan didistribusikan keseluruh badan pohon sampai ke daun-daun. Makin lapuk batuan makin banyak tersedia hara makanan yang dibutuhkan vegetasi sehingga karena bertambahnya waktu maka tanah hasil pelapukan akan menebal. Akar tunggang pohon berfungsi sebagai pancang (anker) yang memaku tanah pada batuan dasarnya, sedangkan akar serabutnya berfungsi mengikat butiran tanah agar tidak longsor. Bersamaan dengan berkurangnya luasan kawasan resapan air bersamaan dengan itu pula terjadi pengambilan air tanah secara besar-besaran, baik untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian sehingga terjadi pengurangan jumlah air bersih yang tersimpan dalam tanah. Konsekuensi lain khususnya di kawasan pantai terjadi perluasam pencemaran akibat intrusi air laut. Penebangan hutan besar-besaran menyebabkan tanah di lereng semakin lama tidak terlindungi. Awalnya, dimulai dengan kekeringan, berkurangnya mata air dan terjadi peningkatan aliran air permukaan yang akan diikuti peningkatan intensitas erosi tanah permukaan yang bisa mencapai ribuan kali lipat. Air permukaan mengerosi tanah dan akan membawa tanah ini masuk ke badan sungai sehingga terjadi sedimentasi. Sedimentasi akan mendangkalkan sungai sehingga saat turun hujan berikutnya alur sungai tidak muat dan air akan meluap sebagai banjir. Dampak penggundulan hutan yang paling mengerikan adalah terjadi longsor dan diikuti banjir bandang. Pada tahun 2002, terjadi hujan dengan intensitas sangat tinggi di Indonesia sehingga terjadi longsor dan banjir bandang dengan intensitas sangat besar di beberapa tempat di Indonesia. Tahun-tahun berikutnya terjadi pengurangan separo lebih dari jumlah sumber air (mata air) dan peningkatan intensitas bencana erosi, longsor, banjir, banjir bandang dan angin puting beliung. Penggundulan hutan juga mengakibatkan berkurangnya habitat bagi fauna-fauna yang dulunya tercukupi makanannya menjadi berkurang sehingga untuk kelangsungan hidup fauna-fauna tersebut, "mereka" pun bermigrasi mencari habitat baru yang saat ini sudah digunakan sebagai permukiman. Ingat beberapa tahun lalu, di Sumatera ada gajah, babi hutan masuk ke permukiman, ada pula monyet, kelelawar (kalong), burung, dan lain-lain. Beberapa waktu yang lalu, habitat kupu-kupu mulai terganggu sehingga berpindah ke vegetasi di permukiman dengan jumlah yang lebih besar dari biasanya. Berita terakhir, terjadi penyerangan segerombolan kera terhadap perkebunan dan penduduk seperti yang terjdi di Sidoarjo (Jatim) dan Lampung. Sebetulnya, penghuni hutan itu sangat banyak dan beragam, baik yang berukuran makro maupun yang berukuran mikro. Kalau tidak segera dilakukan tindakan-tindakan bijak maka dikhawatirkan penghuni berukuran mikro seperti bakteri dan atau virus akan turun mencari habitat baru di permukiman, sehingga akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Contohnya, tomcat dan ulat bulu. Untuk itu, kepada Presiden RI, gubernur, bupati, wali kota, kami mengusulkan untuk secepatnya menetapkan ketahanan air sebagaimana ketahanan energi dan ketahanan pangan, sehingga bisa diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan ke depan. Harapan kami, penetapan itu segera diikuti dengan rencana aksi. Salah satunya penetapan kawasan resapan mutlak yang hanya digunakan hutan, hutan, dan hutan. Pilihan kita adalah hutankan gunung, selamatkan air, selamatkan tanah, selamatkan biomassa, dan selamatkan ekosistem. Sekarang, atau masa depan kita tidak akan terselamatkan akibat kekeringan dimana-mana. *) Kepala Pusat Studi Kebumian, Bencana dan perubahan Iklim LPPM ITS Surabaya *) Dosen Tetap Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya *) Anggota Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur 2007-2009 *) Alamat di Perumahan ITS Blok J-23 Surabaya 60111, 08121780246, mienwidod@yahoo.com

Pewarta:

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012