Tanggal 10 November 2024 sudah lewat, apalagi 10 November 1945 sudah lewat 87 tahun lalu. Artinya, era kolonial sudah tertinggal jauh di belakang dan kini sudah berganti dengan era milenial.
Perang di era kolonial dengan persenjataan yang bersifat manual, dan bagi kalangan milenial senjata itu sudah sangat kuno, karena era milenial lebih bersifat digital, sehingga senjata yang diperlukan untuk "perang" masa kini bukan lagi senjata manual, tapi senjata data.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) yang sudah dibentuk sejak era kolonial pun sudah mengubah fungsi dari urusan sensus dan bea cukai menjadi urusan data dalam banyak kepentingan layanan di era digital.
Hal itu diakui oleh Ketua PBNU Hasanuddin Ali yang menulis buku tentang peradaban data. Ia mengaku selama 25 tahun menjadi periset (2000-2024) membuatnya yakin bahwa masa depan akan berbasis algoritma atau bersumber data.
Hal yang menarik, keyakinan periset itu sudah terbukti dengan perkembangan platform digital dari Google ke AI, sehingga kita sampai pada keyakinan utama bahwa pemandu peradaban sesungguhnya adalah sains dan teknologi (saintek).
Saintek (sains dan teknologi) sebagai driver peradaban itu, termasuk di dalamnya adalah data, karena itu penguasaan data ke depan itu sudah menjadi fardlu ain (kewajiban individu). Data adalah panduan agar kita tidak salah.
Hanya saja, data hendaknya tidak hanya dibaca sebatas angka, sebab data juga berbicara, misalnya data bahwa 98 persen generasi internet atau generasi digital, maka data itu menunjukkan angka plus tantangan ke depan adalah digitalisasi/layanan digital dan literasi digital.
Artinya, perang era digital adalah perang data, namun perang data bukan sebatas data, melainkan data yang dibaca atau data yang berdaya. Itulah kunci era digital.
Secara khusus, saat berbicara dalam sarasehan di Kantor PWNU Jatim, Surabaya (8/11), Ali menyodorkan data tentang "demografi" Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2014-2024), yakni 50-58 persen masyarakat Indonesia berafiliasi pada NU (120 juta-140 juta).
Selain dominasi NU, juga diperoleh data terkait "kondisi masyarakat" yang sudah sangat berubah, yakni Indonesia terkini adalah 60 persen kelas menengah, 60 persen generasi digital, dan 60 persen masyarakat kota atau urban.
Artinya, data yang ada juga berbicara bahwa masyarakat Indonesia sudah berubah, sehingga tantangan NU dan Indonesia juga berubah. Ke depan, Indonesia harus bersahabat dengan generasi milenial atau digital, kelompok kelas menengah, dan juga pro-masyarakat kota atau urban.
Digitalisasi dan literasi
Pendekatan kepada masyarakat yang mayoritas digital, kelas menengah, dan urban/kota, tentu perlu yang berbeda, meski tetap harus memiliki ciri khas masyarakat Indonesia sebagai masyarakat budaya (pendekatan budaya), masyarakat komunitas (kelompok), dan masyarakat kontekstual (program/layanan/tidak teoritis-tekstual).
Namun, ciri khas Indonesia (budaya, komunitas/majemuk, layanan) itu tetap perlu penyesuaian dengan kondisi kekinian. Karena itu layanan kesehatan, pendidikan/budaya, ekonomi, dan keagamaan pun sudah harus bersifat digital.
Layanan digital itu mencakup dua hal penting, yakni digitalisasi dan literasi. Digitalisasi itu terkait dengan manajemen digital, khususnya media sosial dan berbagai platform digital, yang penting pada era "pasar bebas" di dunia maya.
Digitalisasi dalam konteks manajemen digital itu bukan sebatas administrasi secara digital, tapi digitalisasi yang bersifat manajemen dan sistem, bukan sebatas administratif.
Contoh digitalisasi yang bersifat manajemen digital dan sistem digital, antara lain e-government dan e-katalog untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih (bukan sebatas pakta integritas antikorupsi), yang terbukti bisa menghemat ratusan triliun.
Sementara dakwah dengan konten digital yang menggunakan "logika" manajemen digital, yakni konten dakwah di masjid yang dijadikan konten dengan digitalisasi, lalu hasilnya dipublikasikan oleh tim manajemen digital di "pasar bebas" digital. Contoh riilnya, Gus Baha' dan Ustadz Abdus Shomad (UAS), secara konten masih lebih viral UAS daripada Gus Baha', namun UAS ada sentuhan manajemen digital, sehingga menjadi lebih viral.
Masalahnya, bila ada konten dakwah yang justru radikal, tapi ditangani dengan manajemen digital, sehingga tentu akan lebih berpengaruh bagi masyarakat digital Indonesia, apalagi ada kelompok radikal yang telah masuk "pasar bebas" digital dengan "manajemen digital" yang seolah-olah apa yang mereka sampaikan itu logis, sehingga data yang disampaikan bisa menyesatkan umat.
Oleh karena itu, digitalisasi dalam "perang" data di era digital juga perlu diiringi dengan literasi digital. Contoh riilnya, ada kelompok radikal yang membenturkan Islam dan Pancasila. Islam disebut lebih baik dan Pancasila, padahal Islam itu agama dan Pancasila itu ideologi, sehingga tidak tepat bila dibandingkan. Padahal, seharusnya untuk saling melengkapi sebagai panduan kehidupan akhirat-dunia.
Nah, di sinilah literasi digital menemukan faktor pentingnya, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia, saat ini masih merupakan generasi non-digital atau generasi migran di dunia digital, sehingga mudah tertipu "jebakan digital", seperti hoaks, scams, quishing, framing, bully, phubbing, radikal digital, dan sebagainya.
Artinya, perang data di era digital memang memerlukan digitalisasi dalam segala bidang layanan, namun perang data di dunia maya tetap perlu literasi, karena dunia maya itu bersifat anonim (tanpa melihat orang/sosok) yang memungkinkan tindak kejahatan lebih berani dan bisa direkayasa seolah-olah "logis", padahal isinya tipuan.
Oleh karena itu, untuk menang dalam "perang data" di era digital perlu digitalisasi plus literasi yang dikemas dalam "kolaborasi digital". "Kekuatan teknologi, selain dapat membawa kemajuan yang signifikan, juga menjadi kekuatan teknologi yang dapat menghancurkan kehidupan manusia dengan sangat cepat. Karena itu, ke depan perlu kolaborasi digital, keterlibatan, komunikasi, negosiasi, sebagaimana diingatkan oleh Presiden Prabowo dalam forum 'APEC CEO Summit 2024' di Peru (14/11/2024).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Perang di era kolonial dengan persenjataan yang bersifat manual, dan bagi kalangan milenial senjata itu sudah sangat kuno, karena era milenial lebih bersifat digital, sehingga senjata yang diperlukan untuk "perang" masa kini bukan lagi senjata manual, tapi senjata data.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) yang sudah dibentuk sejak era kolonial pun sudah mengubah fungsi dari urusan sensus dan bea cukai menjadi urusan data dalam banyak kepentingan layanan di era digital.
Hal itu diakui oleh Ketua PBNU Hasanuddin Ali yang menulis buku tentang peradaban data. Ia mengaku selama 25 tahun menjadi periset (2000-2024) membuatnya yakin bahwa masa depan akan berbasis algoritma atau bersumber data.
Hal yang menarik, keyakinan periset itu sudah terbukti dengan perkembangan platform digital dari Google ke AI, sehingga kita sampai pada keyakinan utama bahwa pemandu peradaban sesungguhnya adalah sains dan teknologi (saintek).
Saintek (sains dan teknologi) sebagai driver peradaban itu, termasuk di dalamnya adalah data, karena itu penguasaan data ke depan itu sudah menjadi fardlu ain (kewajiban individu). Data adalah panduan agar kita tidak salah.
Hanya saja, data hendaknya tidak hanya dibaca sebatas angka, sebab data juga berbicara, misalnya data bahwa 98 persen generasi internet atau generasi digital, maka data itu menunjukkan angka plus tantangan ke depan adalah digitalisasi/layanan digital dan literasi digital.
Artinya, perang era digital adalah perang data, namun perang data bukan sebatas data, melainkan data yang dibaca atau data yang berdaya. Itulah kunci era digital.
Secara khusus, saat berbicara dalam sarasehan di Kantor PWNU Jatim, Surabaya (8/11), Ali menyodorkan data tentang "demografi" Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2014-2024), yakni 50-58 persen masyarakat Indonesia berafiliasi pada NU (120 juta-140 juta).
Selain dominasi NU, juga diperoleh data terkait "kondisi masyarakat" yang sudah sangat berubah, yakni Indonesia terkini adalah 60 persen kelas menengah, 60 persen generasi digital, dan 60 persen masyarakat kota atau urban.
Artinya, data yang ada juga berbicara bahwa masyarakat Indonesia sudah berubah, sehingga tantangan NU dan Indonesia juga berubah. Ke depan, Indonesia harus bersahabat dengan generasi milenial atau digital, kelompok kelas menengah, dan juga pro-masyarakat kota atau urban.
Digitalisasi dan literasi
Pendekatan kepada masyarakat yang mayoritas digital, kelas menengah, dan urban/kota, tentu perlu yang berbeda, meski tetap harus memiliki ciri khas masyarakat Indonesia sebagai masyarakat budaya (pendekatan budaya), masyarakat komunitas (kelompok), dan masyarakat kontekstual (program/layanan/tidak teoritis-tekstual).
Namun, ciri khas Indonesia (budaya, komunitas/majemuk, layanan) itu tetap perlu penyesuaian dengan kondisi kekinian. Karena itu layanan kesehatan, pendidikan/budaya, ekonomi, dan keagamaan pun sudah harus bersifat digital.
Layanan digital itu mencakup dua hal penting, yakni digitalisasi dan literasi. Digitalisasi itu terkait dengan manajemen digital, khususnya media sosial dan berbagai platform digital, yang penting pada era "pasar bebas" di dunia maya.
Digitalisasi dalam konteks manajemen digital itu bukan sebatas administrasi secara digital, tapi digitalisasi yang bersifat manajemen dan sistem, bukan sebatas administratif.
Contoh digitalisasi yang bersifat manajemen digital dan sistem digital, antara lain e-government dan e-katalog untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih (bukan sebatas pakta integritas antikorupsi), yang terbukti bisa menghemat ratusan triliun.
Sementara dakwah dengan konten digital yang menggunakan "logika" manajemen digital, yakni konten dakwah di masjid yang dijadikan konten dengan digitalisasi, lalu hasilnya dipublikasikan oleh tim manajemen digital di "pasar bebas" digital. Contoh riilnya, Gus Baha' dan Ustadz Abdus Shomad (UAS), secara konten masih lebih viral UAS daripada Gus Baha', namun UAS ada sentuhan manajemen digital, sehingga menjadi lebih viral.
Masalahnya, bila ada konten dakwah yang justru radikal, tapi ditangani dengan manajemen digital, sehingga tentu akan lebih berpengaruh bagi masyarakat digital Indonesia, apalagi ada kelompok radikal yang telah masuk "pasar bebas" digital dengan "manajemen digital" yang seolah-olah apa yang mereka sampaikan itu logis, sehingga data yang disampaikan bisa menyesatkan umat.
Oleh karena itu, digitalisasi dalam "perang" data di era digital juga perlu diiringi dengan literasi digital. Contoh riilnya, ada kelompok radikal yang membenturkan Islam dan Pancasila. Islam disebut lebih baik dan Pancasila, padahal Islam itu agama dan Pancasila itu ideologi, sehingga tidak tepat bila dibandingkan. Padahal, seharusnya untuk saling melengkapi sebagai panduan kehidupan akhirat-dunia.
Nah, di sinilah literasi digital menemukan faktor pentingnya, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia, saat ini masih merupakan generasi non-digital atau generasi migran di dunia digital, sehingga mudah tertipu "jebakan digital", seperti hoaks, scams, quishing, framing, bully, phubbing, radikal digital, dan sebagainya.
Artinya, perang data di era digital memang memerlukan digitalisasi dalam segala bidang layanan, namun perang data di dunia maya tetap perlu literasi, karena dunia maya itu bersifat anonim (tanpa melihat orang/sosok) yang memungkinkan tindak kejahatan lebih berani dan bisa direkayasa seolah-olah "logis", padahal isinya tipuan.
Oleh karena itu, untuk menang dalam "perang data" di era digital perlu digitalisasi plus literasi yang dikemas dalam "kolaborasi digital". "Kekuatan teknologi, selain dapat membawa kemajuan yang signifikan, juga menjadi kekuatan teknologi yang dapat menghancurkan kehidupan manusia dengan sangat cepat. Karena itu, ke depan perlu kolaborasi digital, keterlibatan, komunikasi, negosiasi, sebagaimana diingatkan oleh Presiden Prabowo dalam forum 'APEC CEO Summit 2024' di Peru (14/11/2024).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024