Tak terbayangkan oleh Teguh Triyono dan istrinya, Nur Hidayah menjalani hidup di tengah pengungsian.

Gunung Lewotobi Laki-laki menjadi pemandangan sehari-hari di tempat tinggal mereka di Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, selama 15 tahun terakhir mengalami erupsi besar sejak Senin dini hari, 4 November 2024.

Tak hanya angkat kaki dari rumah, Teguh dan Nur pun terpaksa menutup sementara warung makan yang telah mereka rintis sejak 2009 itu karena Desa Boru masuk ke dalam zona bahaya erupsi Lewotobi. Tak membutuhkan waktu lama, material berupa abu dan pasir vulkanis Lewotobi telah menyelimuti area Desa Boru dan desa-desa di Flores Timur, bahkan hingga kabupaten tetangga, Sikka.

Di tengah gelapnya malam saat erupsi pertama, Teguh dikagetkan dengan suara dentuman keras dari arah Lewotobi. Usai menyadari bahwa gunung api strato bertipe adesitik itu telah erupsi, Teguh lekas mengevakuasi istri, tiga anaknya, serta ayah mertuanya yang telah renta dan sakit-sakitan menjauh ke arah Kabupaten Sikka dengan menggunakan mobil bak terbuka. Di bawah emperan sebuah kantor desa, mereka berlindung dari hujan abu dan pasir vulkanis Lewotobi.

Selang sehari mengungsi secara mandiri di Sikka, Teguh dan keluarganya memutuskan kembali ke rumah dan warungnya di Desa Boru. “Saya pikir situasinya sama seperti erupsi pada Januari 2024 lalu,” kata pria asal Cilacap, Jawa Tengah itu.

Pada Januari lalu gunung setinggi 1.584 meter di atas permukaan laut (MDPL) itu memang sempat erupsi dan mengeluarkan abu vulkanisnya. Situasi tersebut juga membuat Teguh dan keluarganya mengungsi ke Sikka menghindari hujan abu vulkanis dari gunung yang memiliki puncak kembar tersebut. “Kala itu selang sehari erupsinya jauh mereda dan kami bisa lekas kembali ke Boru,” kata Teguh.

Namun, selang sepuluh bulan dari erupsi Januari, Teguh menyadari amukan Lewotobi Laki-laki pada November ini jauh berbeda dari biasanya. Tak lama setelah kembali dari pengungsian mandiri di Sikka, Lewotobi kembali mengalami erupsi besar dan terus mengeluarkan kolom asap tinggi serta hujan pasir vulkanis. Oleh karena itu, pemerintah desa meminta seluruh warganya, termasuk keluarga Teguh, untuk dievakuasi ke titik pengungsian Desa Lewolaga, Kecamatan Titehena yang berjarak 30 kilometer dari Boru.

Hari-hari awal berada di Lewolaga, Teguh bersama keluarganya lebih banyak berdiam di pengungsian. Situasi mencekam saat evuasi di tengah gelap malam dan hujan pasir vulkanis rupanya menimbulkan trauma tersendiri bagi mereka. “Butuh waktu tiga hari bagi saya untuk menenangkan diri dan keluarga agar bisa berfikir lebih jernih menghadapi situasi ini,” kata Teguh.

Pasangan pengungsi, Teguh Triyono (kiri) dan Nur Hidayah (kanan) berjualan bakso, soto, dan ayam penyet di Lewolaga, desa tempat mereka mengungsi dari erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT, Kamis (14/11/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)


Momen bangkit

Setelah hari ketiga itu Teguh pun sadar bahwa dirinya tidak cukup hanya berdiam di pengungsian dan menunggu jatah bantuan makanan maupun bantuan lainnya. Dalam perenungannya, ia berfikir masa darurat akibat erupsi Lewotobi ini masih akan berlangsung lebih lama, sementara cicilan kredit usaha yang dia ajukan di bank masih tetap harus dibayarkan, ditambah untuk keperluan sehari-hari keluarganya ke depan. Berpangku tangan di pengungsian bukan solusi. Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan membuka kembali warung makannya di Lewolaga.

Dengan dukungan istri terkasih, Teguh pun mantap kembali membangun mimpinya meski kini di tengah situasi bencana. Dia selanjytnya mulai melakukan survei lokasi berjualan di sekitar tempat pengungsiannya di Desa Lewolaga. Titik cerah pun mulai muncul. Teguh dipertemukan oleh seorang warga Lewolaga yang berbaik hati meminjamkan secara cuma-cuma area halaman rumahnya untuk berjualan. “Setidaknya untuk sebulan pertama,” kata Teguh.

Proses selanjutnya tidak mudah. Usai mendapatkan lahan berjualan, ia pun harus mengambil peralatan dan perlengkapan warung makannya di Boru. Jalan Trans Flores yang menjadi jalur utama Lewolaga ke Boru tentu kini sudah tidak seperti dulu. Erupsi yang berlangsung belum kunjung henti membuat jalan nasional yang berjarak tiga kilometer dari pusat erupsi Lewotobi tersebut masuk sebagai zona merah atau zona berbahaya.

Setelah seluruh keberaniannya dikumpulkan, Teguh pun melalui jalanan yang kini sudah seperti kota mati dengan tumpukan abu dan pasir vulkanis Lewotobi. Beruntung baginya, perjalanan pulang pergi Lewolaga-Boru berhasil dilalui dengan selamat. Seluruh peralatan dan perlengakapan warungnya pun berhasil ia pindahkan ke lokasi baru jualannya di Lewolaga. Harapan pun terus tumbuh.

Keberuntungan pun menyertai  keluarga Teguh. Tak lama setelah warung makannya buka, para pelanggan  berdatangan. “Pelanggan-pelanggan lama kami pun mulai berdatangan setelah mereka tahu kami pindah ke sini,” kata Teguh. Dagangan bakso, ayam lalapan, soto, serta es cendolnya laris manis dan kini menjadi primadona baru bagi warga setempat, pengungsi, maupun para relawan di Lewolaga.

Meski mulai laris di pengungsian, Teguh belum berniat untuk menetap berjualan di Lewolaga. “Saya masih menunggu kepastian dari pemerintah, jadi merelokasi kami atau tidak,” katanya. Ia mengaku siap untuk dipindah ke kawasan yang lebih aman.


Seperti halnya Teguh, pengungsi lainnya asal Desa Boru, Yeny Dahlia pun juga tak ingin hanya berpangku tangan di pengungsian. Tak hanya karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, tekadnya untuk kembali menjalankan roda perekonomiannya juga dilakukan untuk membayar cicilan kredit-kredit usaha yang ia telah ajukan ke bank sebelumnya.

Oleh karena itu, selang sepekan mengungsi Yeny pun mencari lokasi kios pulsa dan aksesoris telepon genggam yang telah ia bangun sejak 2013. Beruntung bagi dirinya, tak butuh waktu lama salah satu saudagar yang memiliki toko sembako di Desa Kobasoma ,tempat Yeny mengungsi, berkenan meminjamkan ruang untuk berjualan. Setelah itu Yeny lekas memindahkan semua peralatan dan barang dagangannya dari Boru ke Kobasoma.

Sebelumya, ia juga tak menyangka erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki berdampak begitu besar terhadap masyarakat dki sekitarnya, termasuk dirinya. Baginya sebelum erupsi November ini, Gunung Lewotobi Laki-laki mengeluarkan asap adalah hal yang biasa.

“Pada erupsi Januari 2024 lalu saya pun sempat mengungsi, namun tak lama saya bisa kembali lagi ke Boru dan berjualan lagi,” kata Yeny. Namun, kini situasinya jauh berbeda. Bahkan, pemerintah telah menetapkan Boru  masuk sebagai satu dari 15 dari desa yang akan direlokasi karena termasuk ke dalam zona berbahaya, dengan  radius kurang dari tujuh kilometer dari pusat erupsi Lewotobi Laki-laki.

Yeny pun mulai realistis bahwa sangat kecil kemungkinan ia bisa kembali membuka usahanya di Boru. Sembari menunggu kepastian dari pemerintah tentang kelanjutan wacana relokasi tersebut, Yeny akan berjualan di daerah pengungsiannya di Kobasoma. “Saya yakin rencana Tuhan lebih baik untuk saya meski saat ini kami diuji dengan bencana ini,” kata Yeny.


Setali tiga uang dengan Teguh dan Yeny, pengungsi lainnya, Andriyandi dan istrinya, Neng Lis Soviyawati, pun sempat mengalami kebimbangan setelah terdampak dari erupsi Lewotobi Laki-laki ini. Bagaimana tidak, Andri dan Neng baru saja tiba di Flores Timur ini tiga bulan lalu bersama seorang putra mereka dari Padang Pariaman, Sumatera Barat.
 

"Sebelum berangkat merantau ke sini, saya sebetulnya tahu Lewotobi Laki-laki sempat erupsi pada Januari 2024,” kata Andriyandi. Akan tetapi, ia tidak menyangka erupsi pada November ini terulang lagi jauh lebih besar dan lama. Sempat terpikirkan oleh dirinya untuk kembali ke daerah asal mereka di Tanah Minang. Akan tetapi, mereka masih berupaya mengais sisa harapan di Flores ini.
 

Bermodal mobil toko sembako yang dipinjam dari saudaranya, Andri dan istrinya berjualan  di tepi jalan Trans Flores, Desa Kobasoma tempat mereka mengungsi. Lalu lalang warga dan terutama relawan yang melalui jalan nasional tersebut membuat mobil toko Andriyandi juga kecipratan rezeki. Banyak orang yang mampir berbelanja, baik sekadar membeli minuman sebagai penyembuh dahaga di tengah panas cuaca Flores maupun membeli kebutuhan sehari-hari.

 

Meski belum tahu sampai kapan, Andriyandi berharap situasi segera membaik dan mereka bisa kembali merajut mimpi mereka di Flores. Kini, mereka masih ingin berusaha mandiri di tengah kesulitan dalam pengungsian. “Sisanya, kami pasrahkan kepada Allah,” kata Andriyandi.

 

Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah pengungsi akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki hingga Selasa, 12 November 2024 mencapai 13.116 jiwa. Para pengungsi tersebut kini tersebar di delapan titik pengungsian.

 

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menyebutkan akan menyiapkan sekitar 2.700 rumah bagi masyarakat terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Saat ini pemerintah terlebih dahulu mencari wilayah yang tepat untuk pembangunannya. Kebijakan pemerintah atas relokasi yang tepat kini menjadi harapan besar yang dinantikan oleh Teguh, Yeny, Andri, dan ribuan warga terdampak Lewotobi Laki-laki agar mereka bisa lekas bangkit dan menata masa depan keluarga mereka.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bangkit mandiri para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi

Pewarta: Aditya Pradana Putra

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024