Oktober yang ditetapkan sebagai bulan bahasa mengamanahkan kita untuk memelihara kekayaan budaya tak benda, yakni bahasa daerah. Bagi kita, bahasa daerah adalah harta karun yang keberadaannya harus dijaga agar tidak punah.

Bahasa daerah atau bahasa ibu bukan sekadar memiliki nilai budaya yang memperkaya keragaman cara berkomunikasi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Di dalam setiap bahasa lokal sangat banyak mengandung mutiara atau nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi pemandu bagi penuturnya untuk menjalani hidup yang baik, rukun, damai dan bahagia.

Bahasa Madura adalah salah satu kekayaan bahasa daerah yang dimiliki oleh bangsa ini. Bahasa Madura tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang berada di pulau sebelah utara bagian timur Pulau Jawa itu.

Masyarakat di Pulau Jawa bagian timur yang dikenal sebagai daerah "tapal kuda", yakni Bondowoso, Situbondo, Jember, Probolinggo, Lumajang, Pasuruan, dan Banyuwangi, juga banyak yang menggunakan Bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Baca juga: "Oreng" dan "orong", ilmu kesadaran dalam Bahasa Madura

Sejumlah warga ada yang biasa menggunakan Bahasa Madura dan Jawa, namun sebagian yang lain di daerah yang juga dikenal dengan budaya Pendalungan itu hanya bisa berbahasa Madura.

Kukun Sugiarto, pensiunan guru sekolah dasar yang juga warga Desa Prajekan Lor, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, menyadari betul bahwa dalam Bahasa Madura sangat banyak nilai-nilai kehidupan, sehingga wajib dilestarikan. Karena itu, tanpa mengenal lelah, ia terus berupaya agar Bahasa Madura terus dilestarikan.

Kukun Sugiarto, selama ini dikenal sebagai sosok yang menaruh perhatian besar pada penjagaan bahasa ibu itu agar tidak terjerembab pada jurang kepunahan.

Upaya penjagaan itu bukan hanya dilakukan dari mulut ke mulut di kalangan masyarakat, termasuk kepala anak-anak muda. Ia juga mengabadikan kekayaan budaya lokal itu dalam bentuk buku.

Ia dikenal sebagai penulis buku bahasa Madura yang digunakan sebagai buku pegangan dalam mata pelajaran bahasa daerah di tingkat sekolah dasar (SD). Buku paket yang saat ini digunakan sekolah-sekolah di Bondowoso itu berjudul "Masteka Bhasa Madhura" atau "Mustika Bahasa Madura", mulai dari untuk kelas 1 hingga kelas 6 SD.

Atas dedikasinya itu, Pemerintah Desa Prajekan Lor memberikan penghargaan kepada Kukun Sugiarto sebagai tokoh yang merawat Bahasa Madura pada Agustus 2024.

Kepala Desa Prajekan Lor Fandi Sofan Hidayat, ketika berbincang dengan ANTARA menjelaskan bahwa pemberian penghargaan merupakan bentuk perhatian pemerintah kepada sekelompok atau perorangan yang telah menunjukkan dedikasinya pada bidang kebudayaan, khususnya dalam upaya pelestarian bahasa ibu.

Melalui penilaian tim yang dibentuk, Kukun Sugiarto dianggap sangat layak mendapatkan apresiasi tersebut. Di tengah gempuran budaya modern, termasuk dari pengaruh luar negeri, kekayaan budaya lokal, termasuk bahasa ibu, harus mendapatkan perhatian agar tidak ditinggalkan oleh generasi muda.

Fandi dan para sesepuh desa menyadari bahwa komunikasi di kalangan generasi muda di Prajekan Lor dan di Kabupaten Bondowoso pada umumnya telah mengalami pergeseran karena bahasa daerah itu sudah mulai jarang digunakan. Karena itu Fandi dan para sepuh terus berdiskusi bagaimana bahasa ibu masyarakat Bondowoso ini tetap diminati oleh generasi muda.

Mereka kemudian menemukan satu celah, dengan memanfaatkan festival kampung di desa tersebut, yang temanya dipungut dari khazanah Bahasa Madura. Festival tahunan itu digelar oleh pemerintah desa untuk menggali kembali kekayaan budaya lokal yang pernah dimiliki oleh masyarakat, termasuk makanan, musik, dan kesenian lainnya.

Penentuan tema dengan menggunakan diksi Bahasa Madura itu tidak diambil sepihak oleh pemerintah desa, melainkan melibatkan generasi muda dan generasi tua, termasuk Kukun Sugiarto dan tokoh seusianya. Mereka dari lintas generasi itu berembuk yang difasilitasi oleh pemerintah desa.

Dengan melibatkan generasi muda, pemerintah desa juga melatih mereka ikut berpikir dan bersama-sama berupaya untuk menggali kekayaan bahasa lokal. Lewat ajang itu, secara tidak langsung akan tertanam di alam bawah sadar anak muda bahwa menguasai Bahasa Madura itu sangat penting.

Dengan konsistensi dan semangat melestarikan budaya lokal itu, pada 2018 Pemerintah Kabupaten Bondowoso menetapkan Desa Prajekan Lor sebagai desa budaya di daerah yang dikenal sebagai penghasil kopi dan tapay itu.



Tata krama dan karakter

Kukun Sugiarto berkesimpulan bahwa Bahasa Madura mengandung nilai-nilai kehidupan terkait dengan relasi sosial atau tata krama dan penanaman karakter atau filosofi hidup yang tidak bisa dijabarkan secara mendalam jika tidak menggunakan bahasa ibu.

Kandungan nilai yang terkandung dalam Bahasa Madura dan sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi tua kepada generasi muda itu tersaji dalam beragam bentuk, seperti "saloka" atau kata-kata bijak, bisa juga dalam bentuk "kejhung" atau lagu yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan "kidung".

Lewat kejhung, saloka, dan lainnya, anak muda yang lahir dan besar di lingkungan berbahasa Madura, ditanamkan karakter dan etos untuk hormat kepada orang lain, terlebih orang tua dan orang yang lebih tua, menghargai mereka yang lebih muda. Selain itu lewat bahasa ibu, anak-anak juga ditanamkan etos untuk bekerja keras alias pantang menyerah dalam mengupayakan sesuatu, suka mencari ilmu, dan lainnya.

Pria yang juga dinobatkan sebagai "pangrabhet" (perawat) Bahasa Madura itu mendalami bahasa lokal tersebut secara otodidak. Karena itu, bagi dia, alangkah baiknya jika perguruan tinggi, baik di Pulau Madura maupun di wilayah "tapal kuda" membuka program studi bahasa daerah tersebut.

Dengan adanya program studi di kampus, maka upaya pelestarian Bahasa Madura akan lebih terorganisir dan suatu saat akan lahir pakar yang secara pendidikan formal memang mendalami serta menguasai bahasa lokal tersebut.

 

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Taufik


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024