Qalachwalan (ANTARA/AFP) - Wakil Presiden Irak Tareq al-Hashemi, yang diburu atas tuduhan memiliki pasukan pembunuh, mengatakan dalam wawancara dengan AFP, Minggu, ia tidak akan kembali ke Baghdad untuk menghadapi persidangan dan mungkin akan meninggalkan Irak. Hashemi, yang bersembunyi di sebuah wisma tamu resmi Presiden Irak Jalal Talabani di wilayah otonomi Kurdi, mengakui, beberapa pengawalnya mungkin melancarkan serangan, namun secara tegas ia membantah terlibat dalam serangan-serangan itu. Surat perintah penangkapan terhadap Hashemi yang dikeluarkan hampir sepekan lalu telah menjadi pusat perselisihan politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki (Syiah) dan blok Iraqiya dukungan Sunni, yang menjadi bagian dari pemerintah persatuan nasional yang anggotanya mencakup Hashemi. Ketika ditanya apakah ia akan kembali ke Baghdad untuk menghadapi pengadilan, Hashemi mengatakan kepada AFP, "Tentu tidak." Politikus berusia 69 tahun itu menyatakan menolak kembali ke Baghdad dengan alasan keamanan yang buruk dan politisasi sistem peradilan. Ia menambahkan, sebagian besar pengawalnya telah ditangkap dan senjata mereka disita. "Tidak ada pengamanan bagi wakil presiden. Bagaimana mungkin saya kembali ke Baghdad jika saya tidak bisa mengamankan diri saya sendiri?" "Dewan yudisial Irak kini berada di bawah kendali dan pengaruh pemerintah pusat, dan ini merupakan masalah besar," kata Hashemi dalam wawancara satu jam di Qalachwalan, di daerah pinggiran kota kedua Kurdi Sulaimaniyah, dimana ia dijaga oleh para pengawal yang tidak bersenjata. Sejak AS menyelesaikan penarikan pasukan sepekan lalu, Irak dilanda krisis politik dan kekerasan mematikan. Maliki, seorang pemimpin Syiah, pekan ini mengupayakan penangkapan Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni. Kamis (22/12), sedikitnya 72 orang tewas dalam serangan-serangan bom di sejumlah daerah yang berpenduduk mayoritas Syiah. Ribuan orang Irak di wilayah Sunni pada Jumat (23/12) berdemonstrasi menentang langkah Maliki terhadap dua pemimpin Sunni itu. Para ulama Sunni memperingatkan bahwa Maliki sedang mendorong perpecahan sektarian, dan pemrotes memadati jalan-jalan di Samarra, Ramadi, Baiji dan Qaim, banyak dari mereka membawa spanduk mendukung Hashemi dan mengecam pemerintah. "Tuduhan terhadap Hashemi direkayasa. Maliki berusaha mendongkel orang-orang Sunni dari kekuasaan untuk memperketat cengkeramannya, seperti seorang diktator baru Irak," kata Ahmed al-Abbasi, seorang pemrotes dari Samarra. Para pejabat Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tareq al-Hashemi pada Senin (19/12) setelah mereka memperoleh pengakuan yang mengaitkannya dengan kegiatan teroris. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Irak Mayor Jendral Adel Daham mengatakan pada jumpa pers, pengakuan para tersangka yang diidentifikasi sebagai pengawal Hashemi mengaitkan wakil presiden tersebut dengan pembunuhan-pembunuhan dan serangan. Surat perintah penangkapan itu ditandatangani oleh lima hakim, kata Daham. Seorang pejabat pengadilan yang tidak bersedia disebutkan namanya mengkonfirmasi penerbitan surat perintah penangkapan itu. Komite lima hakim sebelumnya melarang Hashemi meninggalkan Irak. Berita mengenai surat penangkapan itu tersiar ketika televisi pemerintah Al-Iraqiya menayangkan gambar yang menunjukkan pengawal-pengawal Hashemi yang mengakui merencanakan dan melancarkan serangan-serangan teror dan menerima dana dan dukungan dari wakil presiden itu. Sedikitnya 13 pengawal Hashemi, seorang pemimpin Sunni Arab, ditangkap dalam beberapa pekan terakhir, namun tidak jelas berapa orang yang kini ditahan. Presiden wilayah otonomi Kurdi Irak Massud Barzani sebelumnya menyerukan perundingan darurat untuk mencegah runtuhnya pemerintah persatuan nasional, dengan memperingatkan bahwa "keadaan sedang mengarah ke krisis yang dalam". Kantor Hashemi mengeluhkan gangguan keamanan yang disengaja seperti blokade terhadap rumahnya selama beberapa pekan, serta kejadian-kejadian lain, dan mengatakan, hanya tiga orang yang ditangkap. Perkembangan terakhir itu terjadi setelah blok Iraqiya kubu Hashemi dan Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak menyatakan Sabtu bahwa mereka memboikot parlemen untuk memprotes monopoli kekuasaan oleh Perdana Menteri Nuri al-Maliki. Minggu (18/12), Maliki mendesak Mutlak dipecat dan anggota-anggota parlemen akan mempertimbangkan permintaannya itu pada 3 Januari, kata seorang pejabat parlemen. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011