Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa indeks literasi serta inklusi keuangan syariah terus mengalami peningkatan.

Deputi Direktur Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah OJK Rakyan Gilar Gifarulla, Kamis mengemukakan indeks literasi keuangan pada 2016 untuk yang nasional 29,7 persen dan syariah 8,1 persen sehingga terjadi gap 21,6 persen. Kemudian pada 2019, yang nasional 38,03 persen dan syariah 8,93 persen, sehingga ada gap 29,1 persen. Sedangkan di 2022, nasional 49,68 persen dan syariah 9,14 persen, sehingga ada gap 40,54 persen. 

"Indeks literasi dan inklusi keuangan syariah menunjukkan peningkatan dibanding 2016. Namun, masih memerlukan upaya bersama dalam mengejar indeks nasional," katanya dalam media update yang digelar OJK Kediri secara daring.

Untuk indeks inklusi keuangan, secara nasional pada 2016 diketahui 67,8 persen, syariah 11,1 persen sehingga ada gap 56,7 persen. Pada 2019, yang nasional 76,19 persen dan syariah 9,1 persen sehingga ada gap 67,09 persen dan di 2022 yang nasional 85,1 persen dan syariah 12,12 persen sehingga ada gap 72,98 persen.

Menurut dia, terdapat gap antara indeks nasional dan syariah sehingga memerlukan sinergi dan kolaborasi antarpemangku kebijakan untuk mengakselerasi peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah.

Ia juga menambahkan, perkembangan sektor ekonomi syariah global saat ini cukup pesat. Hal itu juga didukung dari sisi demand  maupun supply. Di 2023, nilai transaksi keuangan syariah meningkat hingga lima kali dari tahun sebelumnya. Selain itu, secara global ada perjanjian peningkatan kerjasama perdagangan dari 18 persen (2021) menjadi 25 persen (2025) antarnegara OKI. 

Saat ini, kata dia, Indonesia menempati posisi ke-7 untuk total asset keuangan syariah di dunia berdasarkan laporan IFDR (Islamic Finance Development Indicator Report) 2022 dengan berbagai macam sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, obat-obatan halal, hingga kosmetik halal.

Sementara itu, dilihat dari persebarannya terdapat disaparitas tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah. Selain itu, masih terdapat 16 provinsi di Indonesia yang berada di kuadran paling bawah baik tingkat literasi dan inklusi yang lebih rendah ketimbang indeks syariah komposit. 

Dirinya mengakui edukasi tentang literasi keuangan harus terus ditingkatkan. Masih banyak masyarakat yang belum memahami produk dan layanan keuangan syariah, salah satunya karena istilah yang dianggap sulit dipahami. 

Selain itu, masalah lainnya adalah keunggulan dan keunikan produk keuangan syariah perlu dipertegas dari produk keuangan konvensional.

"Upaya pengembangan produk dan layanan keuangan syariah belum inovatif dan adaptif mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Juga perlu upaya masif pada SDM keuangan syariah untuk meningkatkan pemahaman tentang produk dan layanan keuangan syariah  sehingga dapat menjelaskan solusi yang optimal bagi calon nasabah," kata dia.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (BPH DSN-MUI) Asep Supyadillah menambahkan sistem keuangan konvensional telah berjalan sejak lama, sedangkan sistem keuangan syariah baru muncul awal 1990-an.

Menurut dia, pengakuan pada sistem kuangan syariah ini diawali dengan didirikannya bank syariah pada 1992 di samping bank konvensional, sehingga diterimanya dua sistem perbankan itu.

Dalam perjalanannya, MUI juga telah mengeluarkan sejumlah fatwa seperti pelunasan utang pembiayaan murabahah sebelum jatuh tempo, penghimpunan dana dengan akad wakalah bi al-istitsmar, akad samsarah, produk asuransi kesehatan berdasarkan prinsip syariah dan sejumlah fatwa lainnya.

"DSN-MUI sebagai bagian dari MUI memiliki visi memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat dengan misi menumbuhkembangkan ekonomi syariah, lembaga keuangan dan bisnis syariah untuk kesejahteraan umat," kata dia. (*)

 

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024