Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyesalkan waktu perilisan film dokumenter "Dirty Vote" yang bertepatan dengan masa tenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Di sela-sela pemungutan suara di 027 Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Rabu, Muhadjir mengatakan bahwa waktu yang dipilih untuk merilis film dokumenter tersebut dinilai sangat tidak tepat.
"Menurut saya, sebetulnya sangat tidak patut ketika kita sedang memasuki minggu tenang (dirilis)," kata Muhadjir.
Muhadjir menjelaskan, seharusnya, peluncuran film dokumenter yang bisa mengundang kritik tersebut bisa dilakukan sebelum masa tenang. Jika film tersebut diluncurkan sebelum masa tenang Pemilu 2024, tidak ada masalah.
Menurutnya, dengan masa tenang Pemilu 2024 yang berlangsung pada 11-13 Februari 2024 tersebut seharusnya peluncuran film dokumenter tersebut dihindari. Ia menilai, peluncuran film dokumenter saat masa tenang tersebut juga disesalkan, terkait waktu perilisan.
"Sebaiknya, kalau memang mengundang kritik ke publik, seharusnya jauh-jauh hari, itu akan bagus untuk ditayangkan, tidak masalah. Tapi, dengan kondisi minggu tenang, hal semacam itu seharusnya dihindari," katanya.
Ia menyatakan bahwa belum secara utuh melihat film dokumenter Dirty Vote tersebut. Namun, meskipun baru sebagian, ia sudah bisa menarik kesimpulan dari film yang dinilai memiliki motif tertentu dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu 2024.
"Saya sejujurnya tidak melihat secara utuh, tapi sudah punya kesimpulan apa misi dari film itu. Saya menyesalkan hal yang muncul kontroversi, tidak hanya film, tapi juga pernyataan di saat masyarakat butuh ketenangan untuk mengambil keputusan jernih," katanya.
Film dokumenter "Dirty Vote" disutradarai oleh jurnalis senior Dandhy Dwi Laksono, di bawah rumah produksi Watchdoc.
Film tersebut dirilis di YouTube pada 11 Februari 2024 atau tiga hari menjelang pemungutan suara, Rabu, yang mengungkapkan adanya sejumlah dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024.
Dandhy Laksono sendiri menyatakan film yang dipandu oleh tiga pakar hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari tersebut merupakan bentuk edukasi untuk masyarakat sebelum menggunakan hak pilih mereka di Pemilu 2024.
Dandy menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar dua pekan, yang mencakup riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis.
Pembuatan film itu pun melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024