Mungkin terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa Madura merupakan pulau keramat yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Banyak ulama-ulama Nusantara yang menimba ilmu di pulau itu, tepatnya ke Kiai Kholil Bangkalan.

Moqsith Gazali pernah menyampaikan bahwa tidak terlalu banyak orang yang belajar pada Kiai Kholil, kecuali hanya sekitar 25 orang. Daari 25 orang itu kemudian menjadi ulama yang mengasuh pondok pesantren besar di Indonesia, salah satunya adalah Kiai Haji Zaini Mun’im.

Kiai Zaini adalah ulama yang memiliki kesadaran masa depan. Tak banyak ulama pesantren yang memiliki pandangan masa depan terhadap keberdaan bangsa Indonesia dan dunia. 

Sebagian dari mereka bisa di kata hanya fokus memikirkan berkait masa depan pesantren dan santri-santrinya. Karena itu Kiai Zaini terus mendidik dan menjaga eksistensi pesantrennya dari ancaman-ancaman budaya-budaya yang akan mengikis warisan luhur yang menjadi ciri khas pesantren. Bisa dikatan ia lebih memilih bertahan daripada menyerang. 

KH. Zaini Mun’im adalah ulama asal daerah Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura yang juga pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Dalam kisahnya, Kiai Zaini seorang yang tak lelah memikirkan nasib bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman kolonialisme yang terus menyerang terhadap anak bangsa. 

Kegelisahan kiai Zaini muda terus menghantui perjalanan hidupnya. Diskusi dan perbincangannya berkait perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia menjadi topik obrolannya saban waktu dengan tokoh lainnya.

Meskipun dirinya lahir dari rahim pesantren yang juga dididik oleh pendidikan pesantren, namun semangat nasionalismenya terpatri sangat kuat. Kiai Zaini muda penuh dengan gagasan berkait kemerdekaan Indonesia, dan kebangkitannya melawan penjajah yang "menghegemoni" kekayaan dan kemerdekaan anak bangsa Indonesia.

Perlawanan demi perlawanan ia lakukan hingga pada akhirnya Belanda mencium keberanian Kiai Zaini dan penjajah dari Negeri Kincir Angin itu ingin membumihanguskan Kiai Zaini dengan segala upaya dan kebiadabannya.

Kepergiannya dari Pamekasan menuju Pulau Jawa sebagai bukti bahwa Kiai Zaini dikejar-kejar oleh Belanda untuk dibungkam agar tidak melawan dan supaya dapat memuluskan cita-cita biadab Belanda untuk menguasai Bumi Nusantara ini. Tipikal Kiai Zaini bukan seorang pengecut dan penakut, sehingga semangatnya tidak kendor saat mendengar ancaman demi ancaman dari kaum penjajah.

Kiai Zaini seorang ulama pemberani dan pejuang yang merelakan hidupnya untuk berjuang menegakkan kebenaran meski nyawa menjadi taruhannya. Ada ungkapan yang membakar semangat anak bangsa dan membuktikan bahwa dirinya seorang nasionalis yang hebat, yaitu "Orang yang tinggal di Indonesia dan tidak berjuang ia telah melakukan perbuatan maksiat". 

Pernyataan ini sebagai bukti bahwa Kiai Zaini bukan tipe orang yang berpangku tangan melihat ketidakadilan di masyarakat. Semangat totalitas dalam memperjuangkan tanah kelahiran dari "kebiadaban" penjajah telah menjadi saksi sejarah dalam perjalanan hidupnya.

Sahdan, semangat berjuang yang dimiliki Kiai Zaini bukan tanpa dasar. Dengan kealimannya, semua tindakannya selalu berdasar pada ilmu, yaitu dalam agama Islam mencintai negara itu bagian dari iman. Keimanan ini yang mendorong Kiai Zaini untuk terus bergerak, berjuang demi kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Bertauhid yang benar tidak cukup hanya meyakini dalam hati dan mengikrarkan melalui lisan, tapi harus terimplimentasikan melalui perbuatan. Keimanan yang hanya cukup berada dalam kepercayaan tanpa amal, ibarat pohon yang tidak berbuah.

Dorongan tauhid pada pergerakan dan perlawanan Kiai Zaini tergambar melalui perjuangannya, baik melalui politik, pendidikan, sosial, dan aktivitas kemasyarakatan.
 
Meskipun kini Kiai Zaini telah menghadap Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim, jejak juangnya terus berdenyut di Bumi Indonesia bersama dengan melajunya Pondok Pesantren Nurul Jadid yang didirikannya. Pondok yang terus berkarya dan berbakti pada agama, bangsa dan negara. Di sini lahir para pejuang Islam yang melanjutkan cita-cita luhur kiai Zaini.
 
Pondok Pesantren Nurul Jadid yang menjadi kawah candradimuka generasi muda Muslim, terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa mengorbankan karakternya sebagai lembaga pendidikan, dakwah, kader dan sosial.

Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren ini berkontribusi banyak pada penyediaan SDM bekualitas untuk ikut berpartisipasi mewujudkan pesantren dan Indonesia yang lebih unggul dan berkualitas.

Pesantren ini membentuk pondasi yang kuat bagi para santri melalui trilogi dan panca kesadaran sebagai prinsip dasar dalam menciptakan, mendidik dan mengkader agar lahir manusia yang utuh dan paripurna.

*) Ponirin Mika adalah Ketua Lakpesdam Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Paiton dan anggota Community of Critical Social Research

Pewarta: Ponirin Mika*)

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024