Cerita masa remaja adalah kisah emas bagi perjalanan hidup seseorang. Karena itu, selalu ada kisah menarik dari setiap orang untuk dikenang dan diabadikan, saat melewati fase masa remaja.
Kisah perjalanan masa remaja, yang mungkin lucu, tragis, sentimentil, atau bahkan tampak biasa-biasa saja, lazimnya hanya disalurkan lewat cerita bincang-bincang antarremaja pelakunya.
Kali ini, kisah masa remaja dari 5 negara dibukukan oleh sebuah yayasan di Jakarta dengan judul "Cerita dari Lima Negara".
Buku yang diterbitkan oleh Kosa Kata Kita (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Rayakultura Bogor ini berisi lebih dari 50 cerita para remaja mengenai kehidupannya masing-masing, baik di sekolah maupun di rumah, dan pergaulan sosial.
Buku ini diinisiasi oleh seorang pejuang literasi dan sastrawan Naning Pranoto bersama Asri Indah Nursanti (Kepala SMA Don Bosco 2 Pulomas, Jakarta), yang merupakan sekolah di bawah naungan Katolik. Menjadi sangat menarik karena buku ini juga mengundang remaja Muslim, termasuk seorang santri dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Karena itu, Naning Pranoto dengan mantap menegaskan bahwa buku ini merupakan cermin anak Pancasila. Mereka berbaur dalam satu forum (buku), tanpa memandang perbedaan agama dan berbagi cerita dengan renyah dan santai tentang kehidupannya masing-masing, termasuk kehidupan religiusitasnya.
"Bagi saya buku ini mengandung pesan mendalam pada semua generasi untuk selalu bergandengan tangan, tanpa menghilangkan perbedaan," kata penulis yang juga pengajar mengenai penulisan kreatif di beberapa kampus ini.
Buku ini memuat pemikiran, gagasan, dan bagaimana serta apa saja yang mereka lakukan dalam mengisi eranya.
"Misi dan visinya membawa wiyata yang bisa dijadikan pembelajaran bagi pembaca seusia para penulis maupun generasi sebelumnya, termasuk saya sebagai 'Gen-Baby Boomers' (sebutan bagi mereka yang lahir di antara tahun 1946-1964 atau usia sekitar 57-78 di tahun 2024)," katanya.
Berdasarkan paparan di atas, kata Naning, buku ini (sangat mungkin) merupakan buku pertama di Indonesia yang diterbitkan oleh sekolah dengan memanfaatkan teknologi yang kini menjadi pilar berbagai aspek untuk kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya, khususnya dalam bidang pendidikan dan proses pembelajarannya.
Naning bercerita bahwa proses penggarapan buku ini boleh dikatakan tidak ada "sentuhan" tatap muka langsung. Para penulis diarahkan menulis melalui sarana zoom cloud, baik siswa-siswi SMA Don Bosco 2 Pulomas Jakarta sebagai tuan rumah dan penulis lainnya dari Australia (Achi dan Dachi), Belgia (Alyssia), dan Finlandia (Emil) serta narasumber dari Amerika Serikat Jody Diamond (komposer, penulis, pemain dan peneliti gamelan)..
Meskipun demikian, buku yang "dilahirkan" isinya bernas isinya menjadi sarana wiyata, menarik untuk dibaca dan bermanfaat.
"Nafasnya sangat kekinian, selaras dengan Era Digital. Untuk itu, saya haturkan ucapan selamat atas terbitnya buku ini," katanya.
Bagi Naning, buku ini akan menjadi warisan abadi dalam upaya bersama seluruh elemen untuk tidak terpecah hanya karena perbedaan keyakinan.
Sementara itu, santri di Lembaga Pembinaan Bahasa Asing atau LPBA (Arab) yang juga siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ), Ahmad Aqil Al Adha, bercerita mengenai kehidupan keseharian santri yang ternyata tidak hanya melulu belajar agama.
Santri juga belajar mengenai ilmu-ilmu umum, bahkan juga bahasa asing, di luar Bahasa Arab dan Inggris.
Aqil, panggilan akrab Ahmad Aqil Al Adha, dalam artikelnya dengan judul "Rona Kehidupan di Pesantren", bercerita mengenai apa itu pesantren, khususnya Ponpes Nurul Jadid, dan bagaimana kehidupan santri yang selama 24 jam bergaul dengan dunia ilmu dan guru (kiai dan para ustadz).
Aqil yang berasal dari Kabupaten Bondowoso itu bercerita bahwa meskipun pesantren merupakan lembaga pendidikan khusus keagamaan, santri, kiai, dan para ustadz, menampilkan sikap terbuka dan toleransi yang tinggi kepada dunia luar, termasuk dari luar Islam dan luar negeri.
Pondok Pesantren yang didirikan oleh KH Zaini Mun'im ini sering menerima tamu di sejumlah negara, seperti Jepang dan China, karena di lembaga pendidikan itu, kini sudah ada pelajaran Bahasa Mandarin dan Jepang.
Selain pembelajaran bidang agama, santri di ponpes yang terletak di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu juga mengajarkan ilmu lainnya, seperti sastra, termasuk dalam praktik politik, seperti dalam pemilihan ketua di lingkungan pesantren atau di lingkungan sekolah formal.
Aqil juga bercerita mengenai perbedaan santri dengan remaja pada umumnya. Kalau kaum remaja di luar, setiap hari bebas bertemu dengan orang tuanya, santri tidak demikian.
Sebagai lembaga pendidikan berasrama, santri tinggal dan belajar di pondok selama 24 jam, bisa bertemu dengan orang tuanya, sedikitnya dua kali dalam setahun, yakni saat libur Ramadhan hingga Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Kisah perjalanan masa remaja, yang mungkin lucu, tragis, sentimentil, atau bahkan tampak biasa-biasa saja, lazimnya hanya disalurkan lewat cerita bincang-bincang antarremaja pelakunya.
Kali ini, kisah masa remaja dari 5 negara dibukukan oleh sebuah yayasan di Jakarta dengan judul "Cerita dari Lima Negara".
Buku yang diterbitkan oleh Kosa Kata Kita (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Rayakultura Bogor ini berisi lebih dari 50 cerita para remaja mengenai kehidupannya masing-masing, baik di sekolah maupun di rumah, dan pergaulan sosial.
Buku ini diinisiasi oleh seorang pejuang literasi dan sastrawan Naning Pranoto bersama Asri Indah Nursanti (Kepala SMA Don Bosco 2 Pulomas, Jakarta), yang merupakan sekolah di bawah naungan Katolik. Menjadi sangat menarik karena buku ini juga mengundang remaja Muslim, termasuk seorang santri dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Karena itu, Naning Pranoto dengan mantap menegaskan bahwa buku ini merupakan cermin anak Pancasila. Mereka berbaur dalam satu forum (buku), tanpa memandang perbedaan agama dan berbagi cerita dengan renyah dan santai tentang kehidupannya masing-masing, termasuk kehidupan religiusitasnya.
"Bagi saya buku ini mengandung pesan mendalam pada semua generasi untuk selalu bergandengan tangan, tanpa menghilangkan perbedaan," kata penulis yang juga pengajar mengenai penulisan kreatif di beberapa kampus ini.
Buku ini memuat pemikiran, gagasan, dan bagaimana serta apa saja yang mereka lakukan dalam mengisi eranya.
"Misi dan visinya membawa wiyata yang bisa dijadikan pembelajaran bagi pembaca seusia para penulis maupun generasi sebelumnya, termasuk saya sebagai 'Gen-Baby Boomers' (sebutan bagi mereka yang lahir di antara tahun 1946-1964 atau usia sekitar 57-78 di tahun 2024)," katanya.
Berdasarkan paparan di atas, kata Naning, buku ini (sangat mungkin) merupakan buku pertama di Indonesia yang diterbitkan oleh sekolah dengan memanfaatkan teknologi yang kini menjadi pilar berbagai aspek untuk kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya, khususnya dalam bidang pendidikan dan proses pembelajarannya.
Naning bercerita bahwa proses penggarapan buku ini boleh dikatakan tidak ada "sentuhan" tatap muka langsung. Para penulis diarahkan menulis melalui sarana zoom cloud, baik siswa-siswi SMA Don Bosco 2 Pulomas Jakarta sebagai tuan rumah dan penulis lainnya dari Australia (Achi dan Dachi), Belgia (Alyssia), dan Finlandia (Emil) serta narasumber dari Amerika Serikat Jody Diamond (komposer, penulis, pemain dan peneliti gamelan)..
Meskipun demikian, buku yang "dilahirkan" isinya bernas isinya menjadi sarana wiyata, menarik untuk dibaca dan bermanfaat.
"Nafasnya sangat kekinian, selaras dengan Era Digital. Untuk itu, saya haturkan ucapan selamat atas terbitnya buku ini," katanya.
Bagi Naning, buku ini akan menjadi warisan abadi dalam upaya bersama seluruh elemen untuk tidak terpecah hanya karena perbedaan keyakinan.
Sementara itu, santri di Lembaga Pembinaan Bahasa Asing atau LPBA (Arab) yang juga siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ), Ahmad Aqil Al Adha, bercerita mengenai kehidupan keseharian santri yang ternyata tidak hanya melulu belajar agama.
Santri juga belajar mengenai ilmu-ilmu umum, bahkan juga bahasa asing, di luar Bahasa Arab dan Inggris.
Aqil, panggilan akrab Ahmad Aqil Al Adha, dalam artikelnya dengan judul "Rona Kehidupan di Pesantren", bercerita mengenai apa itu pesantren, khususnya Ponpes Nurul Jadid, dan bagaimana kehidupan santri yang selama 24 jam bergaul dengan dunia ilmu dan guru (kiai dan para ustadz).
Aqil yang berasal dari Kabupaten Bondowoso itu bercerita bahwa meskipun pesantren merupakan lembaga pendidikan khusus keagamaan, santri, kiai, dan para ustadz, menampilkan sikap terbuka dan toleransi yang tinggi kepada dunia luar, termasuk dari luar Islam dan luar negeri.
Pondok Pesantren yang didirikan oleh KH Zaini Mun'im ini sering menerima tamu di sejumlah negara, seperti Jepang dan China, karena di lembaga pendidikan itu, kini sudah ada pelajaran Bahasa Mandarin dan Jepang.
Selain pembelajaran bidang agama, santri di ponpes yang terletak di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu juga mengajarkan ilmu lainnya, seperti sastra, termasuk dalam praktik politik, seperti dalam pemilihan ketua di lingkungan pesantren atau di lingkungan sekolah formal.
Aqil juga bercerita mengenai perbedaan santri dengan remaja pada umumnya. Kalau kaum remaja di luar, setiap hari bebas bertemu dengan orang tuanya, santri tidak demikian.
Sebagai lembaga pendidikan berasrama, santri tinggal dan belajar di pondok selama 24 jam, bisa bertemu dengan orang tuanya, sedikitnya dua kali dalam setahun, yakni saat libur Ramadhan hingga Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024