Dosen Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusnan menyoroti peranan generasi muda untuk menghilangkan pelemahan demokrasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Saat ini telah terjadi proses pelemahan demokrasi, kita melihat bagaimana beberapa drama-drama politik yang berlangsung belakangan ini, seperti salah satu cawapres yang memiliki persoalan pada saat pencalonan dengan proses hukum di Mahkamah Konstitusi," ujarnya saat Seminar Nasional "Regresi Demokrasi di Indonesia" di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP) Unair Surabaya, Jawa Timur, Kamis.
Airlangga melihat adanya kekhawatiran tentang intervensi yang kemungkinan bisa mencederai Pemilihan Presiden 2024.
"Nah ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk direspons dan dicermati oleh kalangan intelektual dan juga sebagai literasi politik kalangan mahasiswa," katanya.
Melalui seminar nasional yang membahas Regresi Demokrasi ini, Airlangga memandang ada antusiasme cukup kuat di kalangan mahasiswa untuk terlibat dalam diskusi politik.
Hal ini menunjukkan Kesadaran politik Generasi Z atau Gen Z dengan dimensi yang cukup kritis menyikapi persoalan dalam melemahkan dinasti politik.
"Di kalangan intelektual dan mahasiswa melihat demokrasi ini mengalami pelemahan dan pelemahan ini semakin lama semakin mendalam. Ini yang kami khawatirkan. Terutama yang prinsipil ini bagaimana membatasi kekuasaan agar berjalan di bawah kedaulatan rakyat dengan trias politika," ujarnya.
Menurutnya, peristiwa yang meresahkan terjadi saat birokrasi yang harusnya netral berpotensi mengalami pelemahan saat mulai dimanfaatkan untuk kepentingan aristrokat (kelas atas).
"Keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil dan mahasiswa diperlukan untuk menjaga pemilu agar berjalan jujur dan adil," imbuhnya.
Mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D., menyoroti etika dalam berpolitik saat ini karena di negara demokrasi tidak pernah ditemukan lawan politik akhirnya menjadi koalisi.
"Ketika saat ini, situasinya menjadi suatu yang aneh jika dulu yang menjadi lawan tanding dan berbeda partai politik menjadi koalisi. Tidak ada di dunia peristiwa seperti ini, baik di Amerika Serikat maupun Australia," ujar Prof. Ikrar.
Ia pun mengusulkan agar ke depannya ada undang-undang yang mengatur ikatan politik, sehingga akan ada sanksi jika seseorang yang memiliki jabatan kemudian membelot dari partai-nya.
"Makanya saya mengusulkan adanya UU pemilu agar ikatan politik seorang calon yang didukung partai dan kemudian membelot harus ada sanksi," lanjutnya.
Pakar politik itu mengatakan pemilihan umum itu merupakan kesempatan seluruh rakyat untuk memilih calon pasangan yang dianggap terbaik memimpin negara di waktu yang telah ditentukan.
Prof. Ikrar melihat kesadaran politik mahasiswa saat ini sangat tinggi. Apalagi dalam pemilu 2024, satu suara sangat menentukan apakah politik dinasti atau demokrasi yang akan menang
"Kalau di usia muda saja dia sudah apolitis bagaimana mereka akan menjadi generasi selanjutnya," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Saat ini telah terjadi proses pelemahan demokrasi, kita melihat bagaimana beberapa drama-drama politik yang berlangsung belakangan ini, seperti salah satu cawapres yang memiliki persoalan pada saat pencalonan dengan proses hukum di Mahkamah Konstitusi," ujarnya saat Seminar Nasional "Regresi Demokrasi di Indonesia" di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP) Unair Surabaya, Jawa Timur, Kamis.
Airlangga melihat adanya kekhawatiran tentang intervensi yang kemungkinan bisa mencederai Pemilihan Presiden 2024.
"Nah ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk direspons dan dicermati oleh kalangan intelektual dan juga sebagai literasi politik kalangan mahasiswa," katanya.
Melalui seminar nasional yang membahas Regresi Demokrasi ini, Airlangga memandang ada antusiasme cukup kuat di kalangan mahasiswa untuk terlibat dalam diskusi politik.
Hal ini menunjukkan Kesadaran politik Generasi Z atau Gen Z dengan dimensi yang cukup kritis menyikapi persoalan dalam melemahkan dinasti politik.
"Di kalangan intelektual dan mahasiswa melihat demokrasi ini mengalami pelemahan dan pelemahan ini semakin lama semakin mendalam. Ini yang kami khawatirkan. Terutama yang prinsipil ini bagaimana membatasi kekuasaan agar berjalan di bawah kedaulatan rakyat dengan trias politika," ujarnya.
Menurutnya, peristiwa yang meresahkan terjadi saat birokrasi yang harusnya netral berpotensi mengalami pelemahan saat mulai dimanfaatkan untuk kepentingan aristrokat (kelas atas).
"Keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil dan mahasiswa diperlukan untuk menjaga pemilu agar berjalan jujur dan adil," imbuhnya.
Mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D., menyoroti etika dalam berpolitik saat ini karena di negara demokrasi tidak pernah ditemukan lawan politik akhirnya menjadi koalisi.
"Ketika saat ini, situasinya menjadi suatu yang aneh jika dulu yang menjadi lawan tanding dan berbeda partai politik menjadi koalisi. Tidak ada di dunia peristiwa seperti ini, baik di Amerika Serikat maupun Australia," ujar Prof. Ikrar.
Ia pun mengusulkan agar ke depannya ada undang-undang yang mengatur ikatan politik, sehingga akan ada sanksi jika seseorang yang memiliki jabatan kemudian membelot dari partai-nya.
"Makanya saya mengusulkan adanya UU pemilu agar ikatan politik seorang calon yang didukung partai dan kemudian membelot harus ada sanksi," lanjutnya.
Pakar politik itu mengatakan pemilihan umum itu merupakan kesempatan seluruh rakyat untuk memilih calon pasangan yang dianggap terbaik memimpin negara di waktu yang telah ditentukan.
Prof. Ikrar melihat kesadaran politik mahasiswa saat ini sangat tinggi. Apalagi dalam pemilu 2024, satu suara sangat menentukan apakah politik dinasti atau demokrasi yang akan menang
"Kalau di usia muda saja dia sudah apolitis bagaimana mereka akan menjadi generasi selanjutnya," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023