"Allahuakbar.... Allahuakbar..." suara pekik takbir terakhir itu yang didengar dan dilihat oleh Misno (50), salah seorang korban penumpang kebakaran di Kapal Motor (KM) Kirana IX di Dermaga Surya, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, 28 September 2011. Sambil berlinang air mata, Misno hanya bisa membayangkan dan mengenang kalimat takbir terakhir dari sang istri, Sulikha (45). Jelas terdengar suara rintihan dan tangisan meminta tolong dari Sulikha kepadanya. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Badan dan tangan saya juga diinjak dan terjepit oleh puluhan orang yang berebut keluar. Yang saya lakukan hanya mendekap anak dan cucu saya agar tidak sampai terinjak dan terjatuh," ucap Misno sambil mengusap air matanya. Ya, saat kejadian dan peristiwa yang merenggut delapan nyawa itu, Misno termasuk satu di antara 63 pasien yang menderita luka parah. Diduga kuat, tulang tangannya patah karena menahan desakan. Yang ironis, istrinya, Sulikha, harus terpisah darinya dan keluarga selama-selamanya. Ketika maut menjemput sang istri, Misno hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada Sang Maha Pencipta. "Mau bagaimana lagi, takdir sudah menggariskan seperti ini. Saya ingin sekali menggapai tangan dan menolong istri, tapi kondisi saya juga tidak memungkinkan dan turut terinjak. Syukurlah, anak dan cucu saya bisa selamat," tutur pria asal Desa Karang Duren, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember tersebut. Anak dan cucu Misno masih bocah. Anaknya bernama Anggi Effendi (8) bocah kelas II SD, dan cucunya bernama Ida (3,5). Keduanya didekap erat saat desak-desakan terjadi. "Asalkan mereka selamat, apapun akan saya lakukan, meski harus terinjak-injak," ucapnya sambil terus memeluk dan menciumi kedua bocah itu di RS PHC Tanjung Perak, Surabaya. Dikisahkannya, Misno beserta tujuh anggota keluarganya hendak ke Batulicin, Kalimantan Selatan. Selain ia, istri beserta anak dan cucunya, Misno juga membawa serta anak dan menantunya, Ninik trisnawati (25) dan Jumanan (35). Tujuannya hendak bekerja bersama dan menetap di sebuah rumah di kawasan Batulicin. Di sana, Misno bekerja sebagai pekerja pembuat batu bata/merah. Mereka ditemani satu kerabat lainnya, Amiruddin (40), yang mengalami retak di tumit kirinya. Sebenarnya, Misno dan keluarganya sudah lama bekerja di Batulicin. Namun saat Idul Fitri 1432 H atau akhir Agustus 2011, mereka mudik dan kembali sementara ke Jember. "Nah, hari ini saya dan keluarga mau balik ke Batulicin. Kami datang di Tanjung Perak pada Selasa (27/9) malam, kemudian naik kapal pada Rabu (28/9) Subuh," tukasnya. Masih belum genap dua jam berada di atas kapal, tepatnya saat mereka selesai menyantap tiga bungkus sate dan kopi di ruang tunggu kapal lantai tiga, suara dan teriakan kebakaran terdengar di telinga. Tentu saja, Misno dan keluarganya berusaha mencari tahu peristiwa sebenarnya. Bahkan belum habis sate itu dimakannya, Misno lari tunggang langgang menyelamatkan diri setelah melihat kepulan asap dari dek belakang atau tempat parkir kendaraan. Barang-barang bawaan sudah tak dihiraukannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana cara keluar dan menyelamatkan keluarga, terutama cucu dan anaknya yang masih kecil. Tanpa pikir panjang, mereka mencari pintu keluar atau tangga darurat. Teriakan ratusan penumpang lain tak diindahkannya. Kedua tangannya mendekap Ida dan Anggi agar tidak terlepas. "Saya tak peduli barang-barang bawaan. Saat itu pikiran hanya bagaimana cara keluar dan menyelamatkan diri, serta tidak jadi korban terinjak-injak," ceritanya. Namun apa hendak dikata, gandengan tangannya lepas dengan sang istri. Ketika hendak keluar, Sulikha terjatuh ketika berhimpitan. Akibatnya, ratusan pasang kaki menginjak-injak tubuhnya. Suara minta tolong nyaris tak terdengar dibandingkan dengan teriakan yang disesaki kepanikan situasi. Setelah kepanikan sedikit usai, Misno mengaku hanya terpaku dan lemas tak berdaya. Ia melihat tubuh istrinya sudah terbujur kaku. Tak ada rintihan tangis lagi di wajah Sulikha. Hingga akhirnya, menantunya, Jumanan, menggotong tubuh mertuanya yang kemungkinan sudah meninggal dunia hingga ke dermaga. Bantuan medis pun segera membawa Sulikha ke rumah sakit. Namun, sebelum sempat mendapat perawatan, ibu empat anak itu ternyata sudah menghembuskan napas terakhir. Saat itu juga, pecah tangisan Misno beserta keluarga maupun kerabatnya. Peristiwa kebakaran di KM Kirana IX jurusan Balikpapan terbakar di Dermaga Gapura Surya, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, 28 September 2011 sekitar pukul 06.00 WIB. Sebanyak delapan penumpang meninggal dunia, termasuk Sulikha, menjadi korban akibat peristiwa terbakarnya kapal milik PT Dharma Lautan Utama (DLU) tersebut. Semua korban meninggal dunia bukan karena luka bakar, namun karena tergencet serta terinjak-injak ribuan penumpang yang berusaha keluar dan berebut menyelamatkan diri. Direktur Jenderal Perhubungan Laut Leon Muhammad mengucapkan belasungkawa kepada semua korban meninggal dunia tragedi kebakaran di atas KM Kirana IX. Ia meminta kepada keluarga yang ditinggalkan untuk ikhlas dan tabah menghadapi cobaan ini. "Kami atas nama pemerintah turut berduka cita sedalam-dalamnya terhadap para korban. Serta kepada keluarga korban yang ditinggalkan, semoga tetap sabar dan ikhlas menghadapinya," paparnya di sela menjenguk korban luka-luka di RS PHC, Tanjung Perak, Surabaya. Direktur Utama PT DLU, Bambang Harjo mengatakan, pihaknya akan memberikan santunan bagi semua korban, baik luka-luka maupun meninggal dunia. "Semua penumpang juga berhak atas klaim Asuransi Jasa Raharja, dan semuanya masih dalam proses. Atas nama PT DLU, kami juga minta maaf serta duka cita sedalam-dalamnya bagi korban meninggal dunia," tutur Bambang Harjo. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011