Surabaya - Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan ormas lain adalah organisasi yang berbeda. Ibarat siang dan malam. Hisab dan rukyat dalam penentuan awal kalender juga metode yang berbeda. Ibarat matahari dan rembulan. Oleh karena itu, memaksa NU, Muhammadiyah, dan ormas lain menjadi sama ibarat menyatukan siang dan malam. Atau, memaksa hisab dan rukyat menjadi satu adalah ibarat menyamakan matahari dan rembulan. Tentu, upaya itu akan mustahil, meski banyak kalangan menilai perbedaan itu membingungkan, tapi perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Ibarat, bumi dan langit. Sebelumnya, banyak kalangan yang juga memprotes, karena Lebaran di Mekkah dan Madinah berbeda dengan di Indonesia. Selain itu, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin, juga menyoal metode lama dalam hisab dan rukyat saat ini. "Masih digunakannya metode lama dalam hisab dan rukyat itu menyebabkan terjadi penyimpangan dari kelaziman astronomi modern. Metode lama ini misalnya, hisab urfi hanya dengan periode tetap, dengan pasang air laut, serta metode wujudul hilal," katanya di Jakarta (30/8). Pakar astronomi ini menilai perbedaan Idul Fitri itu akan terjadi beruntun di sepanjang 2011 hingga 2014, yakni ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk. "Metode Imkan Rukyat adalah tren baru astronomi yang berupaya menyelaraskan dengan dalil syar'i dan metode itu mudah dilakukan dengan bantuan perangkat lunak astronomi," ujar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Agaknya, saran untuk menggunakan Imkan Rukyat sebagai "jalan tengah" antara Hisab Wujudul Hilal dan Rukyatul Hilal juga tidak akan serta merta "menyatukan" metode Hisab-Rukyat itu. Hal itu karena Muhammadiyah meyakini Hisab Wujudul Hilal sebagai metode yang tepat, sedangkan NU meyakini Rukyatul Hilal lebih tepat sesuai dengan Hadits Nabi yakni "Shuumu li Rukyati" (Berpuasalah dengan melihat hilal). Apalagi, di kalangan ahli rukyat dan ahli hisab sendiri juga memiliki beragam metode, sehingga perbedaan semakin kompleks. Misalnya, di kalangan ahli rukyat, NU menggunakan rukyatul hilal dengan "matlak", sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggunakan "rukyat global." Artinya, Lebaran di Arab Saudi dengan Indonesia akan sama (global). Sementara itu, rukyatul hilal di kalangan NU membagi bumi dalam dua belahan waktu dunia yakni belahan bumi I (dari Saudi Arabia ditarik ke barat sampai Pantai Timur Amerika) dan belahan bumi II (dari Pantai Barat Amerika sampai Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, dan sekitarnya). Politisasi perbedaan Agaknya, perbedaan antar-ormas dan perbedaan antar-metode dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu semakin runyam dengan penyikapan secara politis dengan "mengarahkan" perbedaan itu sebagai kesalahan dan bukan keniscayaan. Sosiolog Islam Prof H Zainuddin Maliki menilai cara masyarakat awam menyikapi perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang berjalan sebagai hal yang normal dan tidak sampai memutuskan tali silaturrahmi antarmasyarakat. "Perbedaan awal Lebaran tidak membuat masyarakat enggan bersilaturrahmi dengan tetangganya saat Idul Fitri datang, karena mereka merasa percaya dengan argumentasi masing-masing. Mereka tidak saling menyalahkan," kata Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu. Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) itu menyatakan masyarakat sudah menyadari bahwa awal Ramadhan dan Idul Fitri itu tidak mungkin dipaksakan untuk sama atau disatukan, kecuali hasil ijtihad dari para tokoh agama yang dianutnya memang sama. "Kalau Idul Fitri memang berbeda, ya tidak mungkin dipaksakan untuk sama, karena ada argumentasi masing-masing dan ada ijtihad masing-masing. Kalau dipaksakan menjadi satu justru tidak akan berjalan wajar," ujarnya. Apalagi, Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan bencana, bahkan perbedaan itu bisa bernilai ibadah bila diniati ibadah, bahkan kondisi nyaman yang sangat sederhana saja bisa berbeda dalam pandangan setiap orang. "Perbedaan itu jangan dijadikan hambatan untuk mewujudkan silaturrahmi atau ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah Islamiyah (sesama Islam), wathoniyah (sesama bangsa), dan basyariyah (sesama insan/manusia)," katanya. Oleh karena itu, perbedaan hendaknya tidak dijadikan sarana untuk saling mengejek dan salingmenyalahkan, karena itu masyarakat hendaknya mewaspadai upaya dari elit yang memanfaatkan "perbedaan" Lebaran atau lainnya untuk "politisasi perbedaan" demi kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan senada juga diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsudin. "Perbedaan itu seyogianya disikapi dengan toleransi dan saling menghargai, karena penetapan awal Syawal didasari oleh keyakinan keagamaan masing-masing," katanya setelah Shalat Idul Fitri 1432 Hijriah di Alun-alun Utara Yogyakarta (30/8). Menurut dia, dalam Islam perbedaan itu diakui selama berdasarkan dalil keagamaan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan dan sama-sama mendapatkan pahala dalam perbedaan penetapan 1 Syawal 1432 Hijriah, sehingga perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan dan dibesar-besarkan. "Keputusan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriah itu bukan mengada-ada, tetapi berdasarkan keyakinan keagamaan. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8), karena ijtima atau konjungsi matahari, bulan, dan bumi sudah terjadi pada Senin (29/8)," katanya. Meskipun terjadi perbedaan dalam penetapan awal Syawal, umat Islam harus tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan meningkatkan silaturahmi. "Perbedaan awal Syawal itu tidak hanya terjadi pada tahun ini, tetapi juga pada beberapa tahun lalu. Perbedaan itu rahmat yang indah dan semestinya menumbuhkan toleransi antar-sesama, bukan justru dibesar-besarkan untuk saling menyalahkan," katanya.

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011