Meskipun tergolong fiksi, karya cerita pendek atau novel sekalipun, sebetulnya tidak bisa dijauhkan dari realitas sesungguhnya alias fakta di masyarakat.
Karya cerpen atau novel disebut fiksi karena seting tokoh, waktu dan tempat memang diciptakan oleh penulisnya. Hanya saja ruh atau jiwa dari cerita fiksi itu seringkali menyeruak dari fakta di lingkungan yang disundul oleh penulisnya. Fakta yang kemudian hidup dan menafasi sebuah cerita itu begitu banyak di lingkungan kita, baik di rumah, tempat bekerja, sekolah atau di kompleks tempat tinggal komunal yang biasa disebut perumahan.
Berangkat dari paradigma berpikir itulah, maka buku kumpulan cerpen "Bulan Ziarah Kenangan" yang ditulis oleh Sapta Arif ini bisa dikatakan sebagai "potret" dari kenyataan sosial di masyarakat kita mengenai ketidakadilan gender. Sebagaimana lazimnya, bicara ketimpangan gender, perempuan selalu diposisikan di pihak yang kalah.
Sebagaimana "surat cinta" khusus dari Sapta untuk para pembaca karyanya yang dilampirkan dalam buku ini, diungkapkan bahwa bagi dia menulis buku adalah mengabadikan ingatan.
Baca juga: Penulis muda Surabaya luncurkan buku kumpulan cerpen "Revolusi Nuklir"
Sapta, alumnus Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang kini menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, Jawa Timur, ini mengakui bahwa ia kerap mendapatkan ide menulis cerpen dari peristiwa-peristiwa terdekat, mulai yang dia alami sendiri maupun dengan menguping dari penuturan orang lain.
Realitas ketidakadilan gender yang dipotret Sapta dalam kumpulan cerita ini, antara lain dapat kita simak di cerpen berjudul "Bulan Ziarah Kenangan" yang kemudian dipilih menjadi judul buku.
Cerpen itu menceritakan kehidupan di Dublin dengan ikon taman kotanya. Ada lonceng di taman yang digunakan sebagai "palu pengadilan" mengenai perawan tidaknya seorang perempuan yang memanfaatkan taman untuk sekadar menghabiskan waktu pada sore atau malam hari.
Meski berlindung dalam kata "mungkin saja" untuk menjustifikasi bahwa jika lonceng di taman itu berhenti berdendang saat seorang perempuan berjalan di dekatnya menandakan bahwa si perempuan itu sudah tidak perawan, itu adalah bentuk kesimpulan halus bagaimana vonis keperawanan seseorang diserahkan pada jam mekanik yang tidak punya pengetahuan apa-apa tentang dunia manusia, apalagi hingga ke urusan terkoyaknya selaput dara seorang anak perempuan. Betapa kejamnya dunia laki-laki yang tema dalam cerpen itu dikuatkann oleh cerita teman Sapta dari Irlandia. Ah, biarlah urusan lonceng itu, Sapta sedang menceritakan kekonyolan masyarakat di luar negeri sana.
Eh, jangan bangga dulu, di negeri kita, urusan relasi kuasa laki-laki atas perempuan justru tidak akan kekurangan fakta. Mau bukti di buku kumpulkan cerpen ini? Kita simak cerpen "Bingkisan Bunga". Laela, dalam tokoh cerita ini, yang dikenal sebagai penulis hebat, bahkan digadang-gadang sebagai calon peraih nobel dari negera kita, "dikadali" oleh suaminya, Haryo, yang seorang intelektual, dosen dan motivator. Laela ternyata terjebak dalam "kurungan" sebagai istri kedua dan status itu diketahui setelah si Haryo meninggal.
Mari kita baca juga cerpen "Sulastri". Cerpen ini rupanya lahir dari rahim sosial di Ponorogo tempat penulisnya tinggal bersama istri dan satu anaknya. Sulastri, tokoh dalam cerpen ini, dikesankan sebagai perempuan bermasalah karena kecantikan dan bentuk tubuhnya yang aduhai ditambah statusnya sebagai janda.
Bengunjing tentang janda Sulstri, agaknya menjadi penghangat malam para laki-laki di perumahan yang sedang betugas ronda. Seperti virus, kabar miring mengenai Sulastri itu sangat mudah beranak-pinak di lingkungan perumahan. Suatu malam, tiga orang petugas ronda, tokoh aku, Jarot dan Fajar, tidak kuasa menahan rasa isengnya. Mereka menuju dan mampir pada tengah malam ke rumah Sulastri. Mereka ingin membuktikan kecantikan tersisa di wajah janda itu, termasuk kemolekan tubuhnya.
Baca juga: Siswa Finlandia terbitkan buku cerita bersama siswa Indonesia
Di tengah menikmati suguhan mi instan dan kopi panas dari Sulastri, ketiga lelaki itu, dengan pikiran masih-masing, tengah membuahi rahim kecurigaan dan sak wasangka pada Sulastri. Apalagi, saat Sulastri diketahui menerima panggilan telepon di tengah malam buta di atas pukul 24 WIB itu.
Mereka terkejut dan sadar telah terkecoh oleh "budi daya" prasangka sosial yang tidak berdasar setelah di ruangan sebelah, Sulastri menjawab telepon dan berkata, "Iya, bangun. Ibu sebentar lagi istirahat, jangan lupa shalat tahajud ya Lee." Kapok, mungkin begitulah kata yang pas untuk ketiga lelaki iseng itu.
Kalau dalam Sulstri bercerita tentang praduga, beda lagi dengan "Menerobos Lengkara". Ini bercerita tentang bagaimana perempuan tidak boleh memilih atas calon pasangan hidupnya dan sudah tentu dengan masa depannya. Astri, tokoh utama dalam cerpen ini, bernasib mirip dengan Siti Nurabaya dalam cerita rakyat di budaya Minangkabau.
Baca juga: Endang Tirtana persembahkan buku bertajuk "Jokowi Manusia Arena"
Astri adalah representasi dari Siti Nurbaya, sedangkan Syamsul Bahri dalam cerpen ini bernama Wage. Orang tua Astri yang seorang jaksa terkenal ingin menjodohkan anaknya dengan seorang dokter, sehingga menolak pemuda bernama Wage. Meskipun lelaki itu sedang menempuh pendidikan S2, ia hanya bekerja sebagai guru teater di beberapa sekolah.
Ulasan mengenai refleksi ketidakadilan gender dalam kumpulan cerpen ini bukan hendak menghakimi penulisnya dengan divonis membela kaum laki-laki. Sapta tentu terbebas dari "hukuman" bahwa ia mendukung kekuasaan laki-laki atas perempuan, karena ia hanya memotret realitas di masyarakat.
Hal lain di luar tema cerpen-cerpen yang ditulis Sapta ini adalah penggarapannya yang menggoda pembaca untuk berkesimpulan. Sapta lebih banyak memilih ceritanya untuk "diselesaikan" oleh pembacanya dengan memberi kunci-kunci bahwa arah akhir dari satu cerita adalah begini atau begitu. Sapta selalu "mengerjai" pembacanya untuk ikut berpikir dengan menyimpulkan sendiri, bukan hanya menjadi penikmat. Kok enak tidak ikut mikir?.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Karya cerpen atau novel disebut fiksi karena seting tokoh, waktu dan tempat memang diciptakan oleh penulisnya. Hanya saja ruh atau jiwa dari cerita fiksi itu seringkali menyeruak dari fakta di lingkungan yang disundul oleh penulisnya. Fakta yang kemudian hidup dan menafasi sebuah cerita itu begitu banyak di lingkungan kita, baik di rumah, tempat bekerja, sekolah atau di kompleks tempat tinggal komunal yang biasa disebut perumahan.
Berangkat dari paradigma berpikir itulah, maka buku kumpulan cerpen "Bulan Ziarah Kenangan" yang ditulis oleh Sapta Arif ini bisa dikatakan sebagai "potret" dari kenyataan sosial di masyarakat kita mengenai ketidakadilan gender. Sebagaimana lazimnya, bicara ketimpangan gender, perempuan selalu diposisikan di pihak yang kalah.
Sebagaimana "surat cinta" khusus dari Sapta untuk para pembaca karyanya yang dilampirkan dalam buku ini, diungkapkan bahwa bagi dia menulis buku adalah mengabadikan ingatan.
Baca juga: Penulis muda Surabaya luncurkan buku kumpulan cerpen "Revolusi Nuklir"
Sapta, alumnus Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang kini menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, Jawa Timur, ini mengakui bahwa ia kerap mendapatkan ide menulis cerpen dari peristiwa-peristiwa terdekat, mulai yang dia alami sendiri maupun dengan menguping dari penuturan orang lain.
Realitas ketidakadilan gender yang dipotret Sapta dalam kumpulan cerita ini, antara lain dapat kita simak di cerpen berjudul "Bulan Ziarah Kenangan" yang kemudian dipilih menjadi judul buku.
Cerpen itu menceritakan kehidupan di Dublin dengan ikon taman kotanya. Ada lonceng di taman yang digunakan sebagai "palu pengadilan" mengenai perawan tidaknya seorang perempuan yang memanfaatkan taman untuk sekadar menghabiskan waktu pada sore atau malam hari.
Meski berlindung dalam kata "mungkin saja" untuk menjustifikasi bahwa jika lonceng di taman itu berhenti berdendang saat seorang perempuan berjalan di dekatnya menandakan bahwa si perempuan itu sudah tidak perawan, itu adalah bentuk kesimpulan halus bagaimana vonis keperawanan seseorang diserahkan pada jam mekanik yang tidak punya pengetahuan apa-apa tentang dunia manusia, apalagi hingga ke urusan terkoyaknya selaput dara seorang anak perempuan. Betapa kejamnya dunia laki-laki yang tema dalam cerpen itu dikuatkann oleh cerita teman Sapta dari Irlandia. Ah, biarlah urusan lonceng itu, Sapta sedang menceritakan kekonyolan masyarakat di luar negeri sana.
Eh, jangan bangga dulu, di negeri kita, urusan relasi kuasa laki-laki atas perempuan justru tidak akan kekurangan fakta. Mau bukti di buku kumpulkan cerpen ini? Kita simak cerpen "Bingkisan Bunga". Laela, dalam tokoh cerita ini, yang dikenal sebagai penulis hebat, bahkan digadang-gadang sebagai calon peraih nobel dari negera kita, "dikadali" oleh suaminya, Haryo, yang seorang intelektual, dosen dan motivator. Laela ternyata terjebak dalam "kurungan" sebagai istri kedua dan status itu diketahui setelah si Haryo meninggal.
Mari kita baca juga cerpen "Sulastri". Cerpen ini rupanya lahir dari rahim sosial di Ponorogo tempat penulisnya tinggal bersama istri dan satu anaknya. Sulastri, tokoh dalam cerpen ini, dikesankan sebagai perempuan bermasalah karena kecantikan dan bentuk tubuhnya yang aduhai ditambah statusnya sebagai janda.
Bengunjing tentang janda Sulstri, agaknya menjadi penghangat malam para laki-laki di perumahan yang sedang betugas ronda. Seperti virus, kabar miring mengenai Sulastri itu sangat mudah beranak-pinak di lingkungan perumahan. Suatu malam, tiga orang petugas ronda, tokoh aku, Jarot dan Fajar, tidak kuasa menahan rasa isengnya. Mereka menuju dan mampir pada tengah malam ke rumah Sulastri. Mereka ingin membuktikan kecantikan tersisa di wajah janda itu, termasuk kemolekan tubuhnya.
Baca juga: Siswa Finlandia terbitkan buku cerita bersama siswa Indonesia
Di tengah menikmati suguhan mi instan dan kopi panas dari Sulastri, ketiga lelaki itu, dengan pikiran masih-masing, tengah membuahi rahim kecurigaan dan sak wasangka pada Sulastri. Apalagi, saat Sulastri diketahui menerima panggilan telepon di tengah malam buta di atas pukul 24 WIB itu.
Mereka terkejut dan sadar telah terkecoh oleh "budi daya" prasangka sosial yang tidak berdasar setelah di ruangan sebelah, Sulastri menjawab telepon dan berkata, "Iya, bangun. Ibu sebentar lagi istirahat, jangan lupa shalat tahajud ya Lee." Kapok, mungkin begitulah kata yang pas untuk ketiga lelaki iseng itu.
Kalau dalam Sulstri bercerita tentang praduga, beda lagi dengan "Menerobos Lengkara". Ini bercerita tentang bagaimana perempuan tidak boleh memilih atas calon pasangan hidupnya dan sudah tentu dengan masa depannya. Astri, tokoh utama dalam cerpen ini, bernasib mirip dengan Siti Nurabaya dalam cerita rakyat di budaya Minangkabau.
Baca juga: Endang Tirtana persembahkan buku bertajuk "Jokowi Manusia Arena"
Astri adalah representasi dari Siti Nurbaya, sedangkan Syamsul Bahri dalam cerpen ini bernama Wage. Orang tua Astri yang seorang jaksa terkenal ingin menjodohkan anaknya dengan seorang dokter, sehingga menolak pemuda bernama Wage. Meskipun lelaki itu sedang menempuh pendidikan S2, ia hanya bekerja sebagai guru teater di beberapa sekolah.
Ulasan mengenai refleksi ketidakadilan gender dalam kumpulan cerpen ini bukan hendak menghakimi penulisnya dengan divonis membela kaum laki-laki. Sapta tentu terbebas dari "hukuman" bahwa ia mendukung kekuasaan laki-laki atas perempuan, karena ia hanya memotret realitas di masyarakat.
Hal lain di luar tema cerpen-cerpen yang ditulis Sapta ini adalah penggarapannya yang menggoda pembaca untuk berkesimpulan. Sapta lebih banyak memilih ceritanya untuk "diselesaikan" oleh pembacanya dengan memberi kunci-kunci bahwa arah akhir dari satu cerita adalah begini atau begitu. Sapta selalu "mengerjai" pembacanya untuk ikut berpikir dengan menyimpulkan sendiri, bukan hanya menjadi penikmat. Kok enak tidak ikut mikir?.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022