Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kota Surabaya, Jawa Timur, yang dinilai tidak efektif atau kurang optimal bakal dilebur atau dimerger menjadi satu.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi kepada wartawan di Surabaya, Kamis, mengatakan, dalam catatannya ada sejumlah BUMD yang dinilai kurang efektif sehingga perlu dilakukan penggabungan.
"Ketika ada BUMD-BUMD yang memang tidak efektif yang bisa dilebur," kata Eri.
Menurut dia, penggabungan tersebut bagian dari langkah taktis dan efisiensi untuk menyehatkan kembali BUMD yang dinilai kurang efektif.
Bahkan Mantan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya ini mengatakan penggabungan tersebut sudah tidak menjadi wacana karena saat ini pemkot telah mengajukan peraturan daerah (perda) terkait BUMD kepada DPRD Surabaya.
Hanya saja, Eri tidak berkenan menyebutkan BUMD mana saja yang bakal dilebur karena pihaknya masih menunggu rampungnya pembahasan perda terkait BUMD tersebut. "Nunggu perda-nya dulu, ini masih di DPRD," kata dia.
Sementara itu, seperti diberitakan sebelumnya banyak BUMD milik Pemkot Surabaya yang tengah mengalami kerugian. Hal tersebut terungkap dalam Laporan Kegiatan Pertanggung Jawaban (LKPJ) APBD Surabaya 2021 yang digelar di Komisi B DPRD Kota Surabaya beberapa hari lalu.
Ketua Komisi B DPRD Surabaya Lutfiyah meminta Bagian Perekonomian Pemkot Surabaya mengubah strategi yang tepat sasaran, dalam pengawasan untuk menata BUMD menjadi lebih baik.
"BUMD harus sehat, sehingga memperoleh laba dan bisa ada dividen. Sehingga sesuai harapan masyarakat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Surabaya Anas Karno sebelumnya juga menyoroti salah satu BUMD Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian Surabaya yang merugi karena tarif jasa potong terlalu murah yakni Rp50 ribu untuk setiap pemotongan satu hewan berupa sapi.
"Ini murah, kalau dibiarkan dan diteruskan, saya yakin RPH tidak akan berkembang dan mencapai target pendapatan surplus," kata dia.
Direktur PD RPH Surabaya Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan biaya operasional PD RPH Surabaya lebih besar dari pada pendapatan. Sejumlah komponen yang memicu kerugian diantaranya tanggungan tunggakan pajak dan tarif jasa potong hewan yang murah.
"Selama ini RPH menerapkan manajemen rumah potong tradisional. Jagal hanya dikenakan tarif jasa potong sebesar Rp50 ribu. Kemudian semua pekerjaan mulai dari pemotongan hingga pengemasan dilakukan oleh tim mereka," kata dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi kepada wartawan di Surabaya, Kamis, mengatakan, dalam catatannya ada sejumlah BUMD yang dinilai kurang efektif sehingga perlu dilakukan penggabungan.
"Ketika ada BUMD-BUMD yang memang tidak efektif yang bisa dilebur," kata Eri.
Menurut dia, penggabungan tersebut bagian dari langkah taktis dan efisiensi untuk menyehatkan kembali BUMD yang dinilai kurang efektif.
Bahkan Mantan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya ini mengatakan penggabungan tersebut sudah tidak menjadi wacana karena saat ini pemkot telah mengajukan peraturan daerah (perda) terkait BUMD kepada DPRD Surabaya.
Hanya saja, Eri tidak berkenan menyebutkan BUMD mana saja yang bakal dilebur karena pihaknya masih menunggu rampungnya pembahasan perda terkait BUMD tersebut. "Nunggu perda-nya dulu, ini masih di DPRD," kata dia.
Sementara itu, seperti diberitakan sebelumnya banyak BUMD milik Pemkot Surabaya yang tengah mengalami kerugian. Hal tersebut terungkap dalam Laporan Kegiatan Pertanggung Jawaban (LKPJ) APBD Surabaya 2021 yang digelar di Komisi B DPRD Kota Surabaya beberapa hari lalu.
Ketua Komisi B DPRD Surabaya Lutfiyah meminta Bagian Perekonomian Pemkot Surabaya mengubah strategi yang tepat sasaran, dalam pengawasan untuk menata BUMD menjadi lebih baik.
"BUMD harus sehat, sehingga memperoleh laba dan bisa ada dividen. Sehingga sesuai harapan masyarakat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Surabaya Anas Karno sebelumnya juga menyoroti salah satu BUMD Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian Surabaya yang merugi karena tarif jasa potong terlalu murah yakni Rp50 ribu untuk setiap pemotongan satu hewan berupa sapi.
"Ini murah, kalau dibiarkan dan diteruskan, saya yakin RPH tidak akan berkembang dan mencapai target pendapatan surplus," kata dia.
Direktur PD RPH Surabaya Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan biaya operasional PD RPH Surabaya lebih besar dari pada pendapatan. Sejumlah komponen yang memicu kerugian diantaranya tanggungan tunggakan pajak dan tarif jasa potong hewan yang murah.
"Selama ini RPH menerapkan manajemen rumah potong tradisional. Jagal hanya dikenakan tarif jasa potong sebesar Rp50 ribu. Kemudian semua pekerjaan mulai dari pemotongan hingga pengemasan dilakukan oleh tim mereka," kata dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022